Sukses

HEADLINE: Haters dan Hoaks Marak Jelang Pilpres 2019, Wajar atau Settingan?

Menjelang Pilpres 2019, berita palsu atau hoaks bertebaran, informasi lama kembali mencuat, disebar seolah-olah kabar baru dengan segala bumbu.

Liputan6.com, Jakarta - Menjelang Pilpres 2019, fenomena haters dan hoaks bermunculan. Korbannya pun menyasar calon presiden dan calon wakil presiden yang akan bertarung di pesta demokrasi lima tahunan itu, baik Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Berita palsu bertebaran, informasi lama kembali mencuat, disebar seolah-olah kabar baru dengan segala bumbu yang menipu.

Misalnya yang pernah menargetkan Jokowi yang adalah petahana. Sebuah tautan berita dengan judul "Astaghfirullah, Para Pejabat di Era Jokowi Sosialisasi Manfaat Miras" marak beredar di media sosial. 

Dalam berita tersebut, terpampang gambar Joko Widodo bersama beberapa menteri dan tamu lainnya bersulang mengangkat gelas masing-masing.

Berita tersebut mengabarkan istana negara dan kantor-kantor menteri sudah bebas menyajikan minuman beralkohol yang disuplai dari minimarket terdekat. Dicantumkan juga kutipan yang berasal dari Ketua Progres 98 Faizal Assegaf. Faizal disebut mengakui bahwa ada tradisi baru di lingkungan pemerintahan yaitu tradisi minum miras.

"Tradisi mabuk alias teler berat akan menjadi budaya baru bagi pejabat negara dan hal itu mau ditularkan kepada rakyat," ungkap Faizal dalam berita itu.

Berita tersebut sudah terkonfirmasi hoax. Ketua Progres 98, Faizal Assegaf yang namanya dicatut membantah dirinya pernah memberikan pernyataan seperti tertulis dalam artikel tersebut. Kabar serupa ternyata juga pernah tersebar pada 2015 lalu.

Cek Fakta - Sosialisasi Miras

Berita hoaks juga diarahkan ke calon wakil presiden Sandiaga Uno. Sebuah akun Facebook membagikan sebuah gambar tangkapan layar yang menampilkan sebuah berita dari Liputan6.com dengan judul "Sandiaga: Atlet Pribumi Kita Fisiknya Lemah, IQ-nya Rendah, Indonesia Gak Bakal Juara Asian Games 2018".

Bersama gambar itu, penulisnya mengatakan, "Jangan pilih orang pesimis ini menjadi seorang pemimpin. Orang pesimis ini menghina bangsanya sendiri".

Cek Fakta - Sandiaga Uno

Unggahan itu lantas menarik perhatian banyak orang. Padahal, tak ada artikel berjudul seperti itu di Liputan6.com.

Gambar tangkapan layar terbukti telah dimanipulasi dengan mengganti judul berita. Apalagi, font huruf dalam berita manipulasi tersebut tak sama dengan yang digunakan Liputan6.com.

Wasisto Raharjo Jati, staf peneliti di Puslit Politik LIPI menilai, fenomena haters dan hoaks akan terus meningkat menjelang Pilpres 2019. Salah satu alasannya karena berkaitan naiknya elektabilitas Jokowi sebagai incumbent dan sikap politik terhadap Prabowo Subianto.

"Haters ini kebanyakan partisan, namun mereka menggunakan plafform nonpartai yang menurut saya bisa berpotensi besar nanti, karena tak terikat oleh organisasi. Hanya sekedar sikap massa," kata Wasisto kepada Liputan6.com, Rabu (5/9/2018).

Dia menilai, karena sifat haters adalah nonpartai maka tidak terkontrol. Mereka bisa berkembang tidak hanya di level masyarakat, tapi di level lain seperti kalangan politikus, tokoh masyarakat, dan mereka yang memungkinkan memobilisasi massa.

Wasisto mengatakan, karena para pembenci ini loyalis, maka kemungkinan dua dari pasangan calon bisa jadi sasaran kebencian. Namun, intesitas lebih mengarah ke petahana daripada kompetitor. "Karena elektabilitas, figur, ekspektasi publik ke petahana lebih tinggi," ujar dia.

Serangan terhadap kubu Prabowo, kemungkinan akan mengarah kepada sosoknya di masa lalu, seperti isu pelanggaran hak asasi manusia hingga kesendiriannya. "Yang sering saya lihat, isu untuk Prabowo lebih pada isu pribadi, dan isu Jokowi ke arah elektablitasnya," kata Wasisto.

Dia mengatakan, haters berpotensi untuk mengkonstruksi perilaku pemilih. Mereka berperan besar bagaimana mem-brainstroming pemilih memilih calon yang dikehendaki. Para pembenci ini akan menjadi semacam aktor kampanye yang tersembunyi.

Untuk menghadapi haters, kedua tim sukses dari pasangan capres-cawapres harus menguatkan citra pada jagoannya. Namun, jangan sampai citra yang ditampilkan tidak relevan dengan hasil yang capai. "Ini titik masuk jadi hater. Seringkali haters yang nyinyir seringkali menyerang kelemahanan calon. Maksudnya, penguatan performa sebagai paslon sebagai calon dikuatkan sehingga para pembenci tak bisa masuk.

"Haters muncul karena kepentingan pribadi dan kelompok, kemudian sentimen identitas. Seringali haters menyerang agama, etnis. Mereka tidak punya akses ke sumber kekuatan, sehingga memobilisasi massa dengan kebencian tertentu," kata Wasisto.

 

Saksikan video soal maraknya haters jelang Pilpres 2019 berikut ini: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Jurus Jitu Hadapi Haters dan Hoaks

Masyarakat harus cerdas untuk membedakan hoaks atau fakta, mana kritik atau ujaran kebencian semata. Dan, sebagai pihak yang berkepentingan, tim kampanye masing-masing calon punya jurus untuk membentengi diri dari kabar bohong. 

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin Abdul Kadir Karding mengatakan, ada sejumlah cara yang harus dilakukan untuk menghadapi haters dan hoaks, terutama saat Pilpres 2019.

Pertama, Menkominfo dan kepolisian harus turun tangan, jangan membiarkan hoaks itu memecah persatuan, memecah belah masyarakat, dan membuat rusuh masyarakat, hingga saling membenci gara-gara hoaks.

"Jadi peran-peran pemerintah dalam konteks ini, Menkominfo dan Kepolisian itu penting. Termasuk juga menurut saya keterlibatan teman-teman media untuk tidak memberi kanal kepada mereka," kata Karding kepada Liputan6.com, Rabu (5/9/2018).

Kedua, tim kampanye nasional, mau tidak mau bekerja keras mengidentifikasi sekaligus menghalau berita hoax. Kemudian, menjelaskan bahwa informasi yang diterima masyarakat itu hoaks.

Dia pun mengatakan, pihaknya memilki tim untuk menangani haters dan hoaks di media sosial. "Sudah-sudah. Direktur Kominfo. Pasti ada yang menangani khusus," kata dia.

Karding menambahkan, sejumlah berita hoax kerap mendarat di pihak Jokowi-Ma'ruf Amin. Apalagi, sebagai calon incumbent.

"Misalnya isu-isu yang bertentangan dengan fakta, ekonomi dibandingkan dengan tahun 1998. Itu kan enggak bisa. Misalnya ganti Presiden, terus persekusi," Karding menandaskan.

Sementara itu, Wasekjen Gerindra Andre Rosiade mengatakan, untuk menyikapi haters dan penyebaran hoax, pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga terus bekerja meyakinkan rakyat.

"Bahwa Indonesia butuh perubahan. Di mana Pak Prabowo dan Bang Sandi terus menyampaikan agenda perbaikan ekonomi," kata Andre kepada Liputan6.com.

Dia mengatakan, keduanya pun memaklumi adanya haters pada saat Pilpres ini. Andre menuturkan, hingga kini belum ada tim dari Prabowo-Sandiaga yang khusus menangani para pembenci dan berita hoaks.

Andre menambahkan, serangan hoax dan haters kepada Prabowo-Sandiaga lebih banyak ditujukan mengenai pribadi calon yang didukung empat partai itu, Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat.

3 dari 4 halaman

Penyebab Munculnya Haters

Pengamat dan Peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ardian Sopa mengatakan, untuk menghadapi hoax dan haters harus dimulai dari masing-masing calon yang bersangkutan.

Baik Jokowi-Ma'ruf Amin maupun Prabowo-Sandiaga harus mengimbau kepada masing pendukungnya untuk tidak menyebarkan hate speech, fitnah, hoax dan hal-hal yang bisa memecahkan persatuan.

"Itu memang harus ada pernyataan dari keduanya. Sehingga nanti dari keduanya pun, pendukung-pendukung ini akan tidak menggunakan hal itu. Sehingga nanti ke depan pertarungan lebih pada pertarungan gagasan. Apa keunggulan dari Pak Jokowi silakan dimunculkan, apa keunggulan dari Pak M'aruf Amin silakan dimunculkan, termasuk apa keunggulan dari Pak Prabowo juga dimunculkan termasuk juga keunggulan dari Bang Sandi ya dimunculkan," kata Ardian kepada Liputan6.com, Rabu (5/9/2018).

Dengan demikian, masyarakat pada akhirnya disuguhkan kelebihan kelebihan bukan kekurangan. Kekurangan juga perlu ditampilkan, akan tetapi jangan sampai menjadi hiperrealitas dan memunculkan fitnah, hoax, dan sebagainya.

"Kalau misalnya tetap fitnah dan hoax yang dimunculkan, mungkin satu dua kali terpuaskan sisi dari keingintahuan publik, tapi lama kelamaan ini akan memecah belah," kata dia. Dia menambahkan, kalau hal negatif terus ditonjolkan, bukan tidak mungkin juga bisa terjadi pertarungan di dunia nyata.

Ardian mengatakan, media sosial hal yang liar karena tidak bisa dikontrol sepenuhnya. Setiap orang bisa menjadi penulis, editor, media sendiri, dan menyebarluaskannya. Karena itu, tim siber dari kepolisian perlu ditingkatkan kembali. Sehingga ke depan tidak ada lagi hoax yang membahayakan.

Dia menilai, peluang hoax menjadi penentu pemenangan di Pilpres tidak besar. Pada awal-awal info hoaks mungkin akan mempengaruhi masyarakat, akan tetapi ketika membaca beberapa kali berita bohong, akan menjadi jengah. Hingga pada akhirnya akan meninggalkan pelaku-pelakunya.

"Sebelum nanti ditinggalkan masyarakat, cepat cepatlah tobat. sehingga memang masyarakat masih menjadikan media sosial sebagai media informasinya, karena nanti kalau sudah tidak dipercaya, mereka akan meninggalkan ini," kata Adrian.

Apa Saja Penyebab Haters Muncul?

Haters tak hanya bisa menjamur karena membenci satu karakter, seperti selebritas atau tokoh politik tertentu. Psikolog Universitas Indonesia Hamdi Muluk menilai, haters juga bisa muncul karena impitan ekonomi.

"Selain orang yang membenci satu karakter, ada juga kalangan yang awalnya bukan haters, bisa ikut gerakan pelintiran kebencian karena impitan ekonomi," ujar Hamdi kepada Tekno Liputan6.com via sambungan telepon, Selasa 4 September 2018.

Gawatnya, dengan bisnis pelintiran kebencian ini, orang yang mulanya hanya memiliki kadar kebencian setengah menjadi full alias benar-benar benci kepada selebritas atau tokoh politik tertentu.

"Ada juga orang yang secara ekonomi berada di taraf bawah, tapi terpaksa jadi haters beneran karena ada tawaran pelintiran isu. Kebencian mereka biasanya didasari terhadap kelompok luar," ucap pria yang juga berprofesi sebagai guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.

Hamdi Muluk menyebut, prakondisi itu adalah orang-orang yang mudah sekali membenci kelompok luar dan menumbuhkan intoleransi dan prasangka. Biasanya, orang-orang macam ini masa kecilnya mendapat didikan secara otoriter. Dalam psikologi, hal ini disebut authoritarian personality.

Umumnya, karakteristik tersebut suka menjangkiti orang-orang sayap kanan konservatif atau disebut right wing authoritarian. Hamdi menilai, biasanya mereka mudah dijangkiti kebencian.

"Orang-orang fanatis, dogmatis, terlalu curiga dengan hal-hal yang berbau kebebasan. Mereka juga sangat rigid, pandangannya kaku, apalagi terhadap agama," ucapnya memaparkan.

Terkadang, kata Hamdi, orang dengan authoritarian personality itu tak langsung kelihatan. Biasanya mereka hanya di dunia online.

"Ada momen di mana kelompok itu terkadang merasa terancam. Di dunia offline kemungkinan berekspresi terbatas, jadi dia enggak bisa beringas di dunia nyata. Sementara di dunia maya kadang identitasnya disamarkan, jadi mereka bisa 'ngegas' dan menumpahkan energi negatif. Bisa jauh lebih brutal dari dunia offline," Hamdi menjelaskan.

Ia menilai, dunia maya penuh dengan anonimitas, menyebabkan orang yang tadinya tidak percaya diri jadi percaya diri, yang tadinya tidak "brutal" jadi lebih sadis.

4 dari 4 halaman

Pertarungan Jokowi-Prabowo di Medsos

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil survei terkait pertarungan Pilpres 2019 di media sosial antara Joko Widodo atau Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Peneliti dari LSI Denny JA, Ardian Sopa mengatakan pasangan Jokowi-Ma'ruf unggul di kalangan media sosial, namun keunggulannya lebih kecil.

"Jokowi-Ma'ruf 48,3 persen sedangkan Prabowo-Sandiaga 39,5 persen. Selisih dua pasangan tersebut sebesar 8,8 persen," kata Ardian di Gedung Dua Rajawali, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (5/9/2018).

Dia menjelaskan untuk pengguna media sosial segmen terbesar berasal dari kalangan pendidikan menengah ke atas dari usia 17 hingga 49 tahun. Ardian menyebut Jokowi-Ma'ruf unggul dalam kategori umur 20 tahun ke atas, sedangkan pemilih semula umur 17-19 tahun memilih Prabowo-Sandiaga.

"Untuk segmen pendidikan, Jokowi-Ma'ruf unggul di tiga kategori yaitu pendidikan SD, SMP, SMA sedangkan perguruan tinggi unggul Prabowo-Sandiaga," ucapya.

Ardian Sopa juga menyatakan pasangan Jokowi-Ma'ruf unggul tipis atas Prabowo-Sandiaga dalam segmen pemilih umat Islam untuk pengguna media sosial.

Dia menyebut umat Islam yang menggunakan medsos sebesar 90,4 persen dan 45,6 persen memilih Jokowi-Ma'ruf. Sedangkan 41,4 persen mendukung Prabowo-Sandiaga.

Untuk kalangan non muslim untuk pengguna medsos sekitar 9,6 persen. Kata Ardian sebesar 72,7 persen memilih Jokowi-Ma'ruf dan 21,2 persen memilih Prabowo-Sandiaga.

"Jadi ini pasangan Jokowi-Ma'ruf lebih unggul di semua segmen agama," kata Ardian.

Dia mengatakan, ada tiga alasan mengapa pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin unggul tipis dari Prabowo-Sandiaga di pengguna media sosial atau medsos.

"Jadi informasi lebih cepat bila dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakan media sosial," kata Ardian. Selanjutnya, ketidakpuasan pengguna medsos lebih tinggi terhadap pemerintahan Jokowi dibandingkan bukan pengguna medsos.

Selain itu, tagar #2019gantipresiden lebih banyak disukai oleh pengguna medsos dibandingkan mereka yang bukan pengguna medsos. "Sebesar 63,2 persen pengguna sosial menyukai tagline #2019gantipresiden dibandingkan yang tidak menggunakan medsos sebesar 51,8 persen," ucapnya.

Survei LSI ini dilakukan dengan metode multistage random sampling pada 1.200 responden sejak 12-19 Agustus 2018. Metode wawancara tatap muka dengan margin of error kurang lebih 2,9 persen.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.