Sukses

Membaca Keterlibatan Perempuan dan Anak dalam Aksi Teror di Surabaya

Peran perempuan dalam aksi terorisme biasanya adalah bagian dari supporting system atau orang kedua.

Liputan6.com, Jakarta - Aksi teror dengan modus bom bunuh diri di Surabaya cukup mengejutkan. Sebab, aksi tersebut melibatkan satu keluarga, termasuk istri dan anak para teroris. Perempuan dan anak tidak lagi berada di garis belakang aksi teror. Mereka tidak lagi menjadi korban atau pelaku pasif aksi yang melukai banyak orang, tapi martir dalam terorisme.

Lalu, bagaimana keterlibatan perempuan dan anak ini dalam kacamata akademik dan psikologi praktis?

Doktor Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah dari kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, mengatakan peran perempuan dalam aksi terorisme biasanya adalah bagian dari supporting system atau orang kedua.

"Sehingga banyak praktik teroris penting dilihat bagaimana relasi dia dengan suaminya, relasi dia dengan ustadnya, realasi dengan keluarganya. Sehingga perempuan pelaku teroris melakukan tindakan teroris harus melakukan tindakan tersebut tanpa kesadaran tapi karena tekanan atau keharusan," kata Iklilah dalam di Focus Grup Discussion 'Pelibatan Perempuan dan Anak dalam Aksi Terorisme', di SKSG UI, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (31/5/2018).

"Tidak ada faktor tunggal yang menjelaskan penyebab perempuan menjadi pelaku teror," Iklilah melanjutkan.

Sementara itu, Guru besar Uiversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Asep Usman Ismail, mengatakan para teroris melakukan aksinya bukan atas dasar paksaan. "Mereka melakukannya sadar dan niat, penuh perhitungan dan rasional menurut logika mereka," kata Syarif.

Psikologi yang gelisah dan konflik; ketidakadilan, penyimpangan, dan sebagainya kemudian dirumuskan dalam sepenggal ayat kitab suci dan sepotong dipahami.

"Maka pertama konsep yang muncul itu kafir. Dalam pikiran mereka orang-orang keluar dari Islam, darahnya, kehormatannya dan hartanya boleh diambil. Kemudian yang menghalangi tindakan mereka disebut thogut." kata Asep di tempat sama.

Dalam kondisi saat ini, kalangan teroris mengangap situasi damai sekarang adalah bagian dari perang.

"Mereka menganggap ini keadaan perang, polisi adalah thogut karena menghalang-halangi. Ketika dalam keadaan perang tidak sebanding, gimana caranya supaya mereka tahu kita ada perang," kata Asep.

Asep berharap ada kerjasama dengan stakeholder terkait dalam menangani keterlibatan perempuan dan anak dalam terorisme. "BNPT, Polri, Universitas dan segala stakeholders harus bekerjasama dan terbuka menangani kasus ini, kalau tidak nanti banyak tanda tanya atau spekulasi," kata Asep.

Dia berharap ada pendataan keluarga teroris, napi teroris, dan lain sebagainya. "Kita perlu bekerja bersama sampai pelaksana teknik, bukan konspirasi kok, ini real ideologi. Ada di basis pendidikan, maka perlu ada tindakan preventif mulai dari guru hingga organsasi masjid. Itu benar-benar terjadi bahkan di UIN dan Majelis Taklim. Perlu ada koordinasi antar pihak," ujar Asep.

Saksikan video pilihan di bawah ini

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.