Sukses

Cara Kurangi Sampah Makanan yang Makin Banyak di Ramadan Versi KLHK: Makan Tanpa Sisa dan Komposkan

Siapa yang sudah bersiap perang takjil hari ini? Jangan sampai makanan yang dibeli mubazir jadi sampah makan lantara tak kuat dihabiskan.

Liputan6.com, Jakarta - Sampah makanan bukan persoalan enteng. Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar menegaskan dengan komposisi sampah makanan 41,7 persen dari total sampah yang dihasilkan atau sekitar 30 juta ton per tahun, Indonesia termasuk negara penghasil sampah makanan terbesar di dunia.

Jumlahnya bahkan meningkat di saat bulan Ramadan yang semestinya ajang mengendalikan hawa nafsu. "Di bulan puasa, terdapat peningkatan 10--20 persen sisa makanan," ujarnya dalam program Climate Talk secara livestreaming, Jumat, 22 Maret 2024.

Menurut Novrizal, hal itu dipicu kebiasaan berbelanja makanan orang Indonesia. Jelang berbuka, orang ada kecenderungan untuk menumpuk makanan lebih banyak. Dari yang biasa hanya makan secukupnya, jadi membeli lebih dari yang dibutuhkan gara-gara lapar mata. Belum lagi banyak penjual makanan dan minuman dadakan yang muncul hanya saat Ramadan.

"Kalau buka puasa, siapkan takjilnya, kolaknya, minumannya, kolang-kalingnya, sampai makanan berat. Yang disiapkan bisa sepuluh menu, misalnya, tapi begitu menu ketiga sudah kenyang... Akhirnya, tujuh menu sisanya yang enggak kemakan, kebuang," tuturnya.

Padahal, langkah pertama untuk mengatasi masalah sampah makanan adalah tidak menyisakan makanan di piring. Karena itu, salah satu gerakan yang dikampanyekan KLHK adalah habiskan makanan atau makan tanpa sisa. "Berikutnya kalau ada sisa makanan di rumah, komposkan," sambung dia.

Ia menjelaskan komposting penting dilakukan oleh setiap rumah tangga agar mayoritas masalah persampahan di berbagai tempat di Indonesia bisa diselesaikan. "Kalau poin kelima ini (komposting) bisa secara konsisten dilakukan, 90--95 persen masalah sampah bisa diselesaikan sendiri. Lima persennya bisa minta sistem persampahan kota untuk selesaikan," kata Novrizal.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sumbang Emisi Gas Rumah Kaca Lewat Gas Metana

Namun, hampir 100 persen rumah tangga di Indonesia memilih menyerahkan pengelolaan sampah rumah tangga, khususnya sampah organik, ke pemerintah daerah. Oleh sistem persampahan konvensional, sampah makanan dibuang begitu saja ke TPA, bercampur dengan sampah anorganik.

Tumpukan itu pada akhirnya menghasilkan gas metana. "1 ton gas metan itu setara dengan 28 ton gas CO2. Ini bukan persoalan ringan karena gas metan menghasilkan emisi gas rumah kaca 28 kali lipat dari gas CO2, yang sebabkan perubahan iklim," ujar Novrizal.

Dengan kontribusi signifikan pada masalah perubahan iklim, diperlukan langkah radikal untuk mengatasi persoalan sampah makanan. Jika dibiarkan, suhu Bumi akan terus meningkat dan peradaban manusia secara umum juga terancam. Efeknya sudah terasa sejak sekarang. Cuaca ekstrem terjadi berulang kali, berpengaruh pada sektor pertanian di Indonesia yang sebagian besar masih bergantung pada kondisi alam.

"Akan hancur peradaban kalau suhu Bumi naik 2 persen. Ini persoalan serius. Mari mulai dari diri kita sendiri, mulai habiskan makanan, dan makan tanpa sisa," ucapnya lagi.

3 dari 4 halaman

Perbaiki Pola Pikir

Novrizal mengaku bahwa tantangan terbesar mengatasi persoalan sampah, termasuk sampah makanan, di Indonesia adalah rendahnya kesadaran masyarakat. Perilaku mengentengkan sampah masih dianut kebanyakan orang. Karena itu, pihaknya sedang membangun komunikasi publik secara masif terkait gerakan minim sampah.

Di sisi lain, ia menyadari sebagian pihak, khususnya generasi milenial dan Gen Z, yang mulai bergerak mencari solusi. Salah satu indikasinya adalah berkembangnya social ecopreneur, seperti Surplus. Mereka berangkat dari idealisme dan memanfaatkan teknologi untuk mencegah makanan terbuang percuma.

"Pemerintah memberikan ruang kepada teman-teman (social ecopreneur) supaya tumbuh lebih baik, supaya jadi backbone pengelolaan sampah ini. Kalau sekarang masih menjadi determinan," kata dia.

Surplus merupakan platform yang memungkinkan masyarakat membeli makanan yang ovestock dari katering, hotel, atau restoran dengan harga diskon di jam-jam tertentu. Mereka memanfaatkan konsep FOMO demi mencegah makanan layak konsumsi terbuang jadi sampah.

"Kalau enggak bisa diolah dengan teknologi, bisa mereduksinya dengan black soldier fly atau komposting. Mari dorong bersama-sama agar semakin banyak generasi milenial yang punya solusi," ucapnya.

4 dari 4 halaman

Sampah Organik Tidak Boleh Masuk TPA

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK Rosa Vivien Ratnawati menyatakan bahwa pemerintah tak akan lagi membangun tempat pembuangan akhir (TPA) sampah baru pada 2030. Langkah itu diambil untuk mengurangi polusi gas metana dari sampah dan limbah yang memengaruhi iklim.

Mengutip Antara, Vivien mengatakan di Jakarta, Selasa, 23 Januari 2024, "Bapak-ibu (kepala daerah) kalau mau punya TPA harus buru-buru dibangun minta kepada PUPR, bangun sekarang atau daerahnya menganggarkan."

Vivien menjelaskan bahwa Indonesia mengutamakan penambangan lahan urug zona tidak aktif atau landfill mining untuk mengatasi sampah yang menumpuk dan menggunung di TPA pada 2030. Selain menghentikan pembangunan TPA baru, KLHK juga memperkuat aturan pembakaran liar sampah agar tidak ada lagi masyarakat ataupun badan usaha yang melakukan pembakaran sampah pada 2030.

Pihaknya juga mengapreasiasi upaya Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang melarang warga di  Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Kota Cimahi membuang sampah organik ke TPA Sarimukti. Pasalnya, sampah organik yang menghasilkan gas metana adalah pemicu banyaknya kasus kebakaran di TPA sepanjang 2023. Kebakaran paling besar terjadi pada TPA Sarimukti yang berlokasi di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat, yang membutuhkan waktu pemadaman hingga satu bulan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.