Sukses

Kampanye Darurat Polusi Udara, Polusi Air, dan Polusi Tanah Pakai Parfum Beraroma Malapetaka

Hakikat parfum nan harum sebentar ditinggal untuk menyuarakan darurat polusi udara, polusi air, dan polusi tanah. Pasalnya, alih-alih menghadirkan wewangian sedap, Greenpeace Indonesia mengelaborasi sesak udara kotor, serta air dan tanah tercemar melalui rangkaian parfum "Our Earth."

Liputan6.com, Jakarta - Hakikat parfum nan harum sebentar ditinggal untuk menyuarakan darurat polusi udara, polusi air, dan polusi tanah. Pasalnya, alih-alih menghadirkan wewangian sedap, Greenpeace Indonesia mengelaborasi sesak udara kotor, serta air dan tanah tercemar melalui rangkaian parfum "Our Earth."

Juru Kampanye Keadilan Perkotaan Greenpeace Indonesia, Charlie Albajili, bercerita bahwa pihaknya memilih parfum sebagai medium kampanye untuk memberi pengalaman berbeda. "Saya sendiri orang yang bisa mengingat dari bau, dan itu juga diamini teman-teman lain," katanya saat ditemui di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat, 25 Agustus 2023.

Ia menyambung, "Kami ingin memberi pengalaman berkesan untuk bisa dibawa pulang, dan tanpa banyak berkata-kata. Hanya dibaui, kita bisa terbuka akan banyak hal." Charlie juga menyebut, produk ini tidak diproduksi untuk diperjualbelikan, namun semata sebagai medium edukasi.

"Ini merupakan cara lain dan terobosan yang belum pernah dilakukan Greenpeace secara global (memakai parfum sebagai sarana edukasi isu lingkungan). Melalui ini, kami bermaksud mengajak sebesar-besarnya kelompok masyarakat untuk sadar (akan darurat polusi). Parfum ini merupakan tools untuk memulai obrolan lebih mendalam," paparnya.

Sesuai kampanye mereka tentang polusi udara, polusi air, dan polusi tanah, variasi parfum ini terdiri dari The Smokey Air, The Peril Soil, dan The Smelly River. "Merah (di parfum The Smokey Air) itu melambangkan polusi udara dari pembakaran. Biru (di parfum The Smelly River) itu melambangkan elemen air, pun kuning (di parfum The Peril Soil)," ujar dia.

"Esensinya, tanah itu berwarna cokelat kehitaman, namun berubah jadi kekuningan saat tercemar," ia menambahkan. Ketiga parfum ini diformulasi dari bahan-bahan organik oleh ahli kimia senior asal Bogor, Jawa Barat, drs. Dedi Mahpud.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ide Gila

Dedi pun bercerita tentang keterlibatannya membuat seri parfum "Our Earth." "Pas pertama kali ditawari (membuat parfum beraroma polusi), saya pikir ini ide gila, tapi sekaligus menantang, karena selama ini bikin parfum kan yang wangi-wangi saja," ucapnya di kesempatan yang sama.

Selama prosesnya, Dedi menyambung, ia tidak hanya memastikan produk yang dihasilkan berkualitas, tapi juga bisa dipahami masyarakat, karena ini merupakan medium edukasi. Ia berbagi, "Awalnya coba skala kecil dulu. Dari situ saja, ibu (istrinya) sudah protes, tanya, 'Bau apa ini? Bikin parfum apa sih, yah?'"

"Setelah itu, skalanya dinaikkan. Target awal fermentasi sebenarnya tiga minggu, tapi baru satu minggu saja baunya sudah ke mana-mana," sambungnya. Ia menjelaskan bahwa aroma tiga polusi ini didapat dari berbagai bahan organik yang kemudian diproses melalui fermentasi air dan udara.

The Peril Soil, Dedi menjelaskan, dibuat dari bahan-bahan, termasuk tempe, pepaya, dan pakcoy. Kemudian, The Smelly River diformulasikannya dari bahan-bahan, seperti daging sapi, ikan, ampas kelapa, dan pakcoy. Tidak ketinggalan, The Smokey Air dibuat dari daun-daun kering, ranting-ranting kering, dan kertas.

3 dari 4 halaman

Aroma Malapetaka

Hadir pula di kesempatan itu adalah Chitra Subyakto, founder, sekaligus direktur kreatif label tekstil Sejauh Mata Memandang. Ia menyebut bahwa aksi lingkungan sekarang sudah merupakan "aksi untuk bertahan hidup."

Karena itu, ia mengajak lebih banyak orang untuk bersama menyelamatkan Bumi. "Seperti sekarang ini," katanya. "Parfum, yang merupakan produk fashion and beauty yang biasanya semu, menutupi sesuatu, justru hadir tanpa kamuflase."

"Saya sendiri sudah cium aromanya, dan itu sangat mewakili. Aroma malapetaka," sebut dia. "Yang kuning (The Peril Soil) menurut saya yang paling malapetaka."

Itu diamini Dedi dan Charlie. Keduanya kompak menyebut bahwa seri The Peril Soil dan The Smelly River adalah yang "paling mengganggu." Ketika Liputan6.com membaui dua varian parfum tersebut, saya paham mengapa mereka berkomentar demikian.

Aroma keduanya lebih menyengat daripada The Smokey Air yang tercium seperti asap bakaran. Saking mengganggu, saya sampai harus menyemprot parfum pribadi untuk mengusir baunya. Tapi, sampai beberapa saat, saya seperti masih mencium aroma air dan tanah tercemar.

 

4 dari 4 halaman

Tertarik Membaui Langsung?

Pameran koleksi parfum ini masih akan berlangsung di CGV Cinema Grand Indonesia, Jakarta, sampai pukul 21.00 hari ini, Sabtu (26/8/2023). Anda dapat langsung mencoba mencium aromanya jika penasaran, dan memberi dukungan pada kampanye Greenpeace Indonesia dengan mengakses act.gp/OurEarth.

"(Seri parfum ini) tentu akan in-line dengan kampanye kami tentang polusi udara, plastik, mobilitas, dan keadilan perkotaan lain. Kami belum bisa memastikan (sampai kapan parfum ini akan dimanfaatkan sebagai medium edukasi). Setidaknya sampai akhir tahun ini ada beberapa kampanye yang masih akan kami jalankan," paparnya.

Sementara peluncuran parfum beraroma polusi jadi langkah terbaru, disebutkan bahwa Greenpeace Indonesia telah menempuh banyak cara berbeda agar pemerintah, korporasi, maupun masyarakat luas segera menghentikan aktivitas negatif yang mengancam kelangsungan hidup ibu Bumi.

Kampanye pihaknya sangat beragam, mulai dari turun ke jalan, memberi peringatan pada pemangku kepentingan, hingga mengajukan gugatan ke pengadilan yang putusannya diharapkan keluar bulan depan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini