Sukses

Pengiriman Pesawat Boeing-747 Terakhir, Selamat Tinggal Sang Ratu Langit

Pesawat Boeing-747 terakhir dikirimkan untuk memenuhi pesanan Atlas Air.

Liputan6.com, Jakarta - Perjalanan Boeing-747 hampir menyentuh garis finish. Perusahaan pesawat terbang yang berbasis di Amerika Serikat itu baru saja mengucapkan selamat tinggal kepada pesawat yang berjuluk Queen of The Skies alias Si Ratu Langit pada Selasa, 31 Januari 2023, waktu setempat.

Dikutip dari AP, Rabu (1/2/2023), Boeing-747 terakhir adalah pesawat ke-1.574 yang dibangun di area Puget Sound di negara bagian Washington, Amerika Serikat. Ribuan pekerja bergabung dengan Boeing dan para eksekutif lainnya dari seluruh dunia, termasuk aktor dan pilot John Travolta yang telah menerbangkan 747 dalam upacara di pabrik besar perusahaan di utara Seattle.

Hal itu menandai pengiriman yang terakhir untuk pesawat kargo Atlas Air. "Jika Anda menyukai bisnis ini, Anda mengkhawatirkan momen ini," kata analis penerbangan lama Richard Aboulafia. "Tidak ada yang menginginkan pesawat bermesin empat lagi, tapi itu tidak menghilangkan kontribusi luar biasa yang telah dibuat pesawat tersebut untuk pengembangan industri atau warisannya yang luar biasa."

Boeing bertahan selama 55 tahun terakhir. Ide pembuatan pesawat Boeing-747 muncul setelah perusahaan pesawat itu kehilangan kontrak pembuatan angkutan militer besar, C-5A. Mereka memanfaatkan mesin baru yang dikembangkan untuk transportasi, yakni mesin turbofan bypass tinggi yang membakar lebih sedikit bahan bakar dengan melewatkan udara di sekitar inti mesin. Mesin juga memungkinkan jangkauan penerbangan yang lebih jauh dan menggunakannya untuk pesawat sipil yang baru dibayangkan.

Sejak penerbangan pertamanya pada 1969, pesawat berbadan lebar itu telah berfungsi sebagai pesawat kargo, pesawat komersial yang mampu membawa hampir 500 penumpang, transportasi untuk pesawat ulang-alik NASA, hingga menjadi pesawat kepresidenan AS, Air Force One. Kemunculannya dinilai merevolusi industri perjalanan, menghubungkan kota-kota internasional, menghubungkan kota-kota internasional yang belum pernah memiliki rute langsung dan membantu mendemokratisasi penerbangan penumpang.

Namun, keberadaannya perlahan tergantikan sekitar 15 tahun terakhir. Saat itu, Boeing dan Airbus, saingannya dari Eropa, memperkenalkan pesawat berbadan lebar yang lebih menguntungkan dan hemat bahan bakar dengan menggunakan dua mesin, bukan empat mesin seperti 747.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pembuatan 747 Pertama

Dibutuhkan lebih dari 50.000 pekerja Boeing untuk memproduksi 747 pertama dalam waktu kurang dari 16 bulan. Upaya besar mereka bahkan sampai dijuluki "The Incredibles". Sebuah pabrik besar dibangun di Everett, utara Seattle, untuk menampung produksi jet jumbo tersebut, yang disebut sebagai bangunan terbesar di dunia berdasarkan volumenya. Bangunan pabrik bahkan masih setengah jadi ketika pesawat pertama selesai dibuat.

Di antara mereka yang hadir adalah Desi Evans (92) yang bergabung dengan Boeing di pabriknya di Renton, selatan Seattle, pada 1957. Ia menghabiskan 38 tahun di perusahaan tersebut sebelum pensiun. Suatu hari pada 1967, bosnya memberi tahu dia akan bergabung dengan program 747 di Everett - keesokan paginya.

"Mereka mengatakan kepada saya, 'Pakai sepatu bot karet, topi keras, dan pakaian hangat, karena ini adalah lautan lumpur,'" kenang Evans. "Dan itu - mereka sedang bersiap-siap untuk pendirian pabrik."

Dia ditugaskan sebagai pengawas untuk membantu mencari tahu bagaimana interior kabin penumpang akan dipasang dan kemudian mengawasi kru yang bekerja menyegel dan mengecat pesawat.

"Ketika 747 pertama diluncurkan, itu adalah waktu yang luar biasa," katanya sambil berdiri di depan pesawat terakhir, yang diparkir di luar pabrik. "Anda merasa gembira - seperti sedang membuat sejarah. Anda adalah bagian dari sesuatu yang besar, dan itu tetap besar, meskipun ini yang terakhir."

3 dari 4 halaman

Debut yang Buruk

Badan pesawat memiliki panjang 225 kaki (68,5 meter) dan ekornya berdiri setinggi bangunan enam lantai. Desain pesawat termasuk dek kedua yang memanjang dari kokpit ke belakang hingga sepertiga pertama pesawat, memberikan punuk yang khas dan menginspirasi nama panggilan, Paus. Lebih romantis lagi, 747 dikenal sebagai Queen of the Skies.

Beberapa maskapai mengubah dek kedua menjadi ruang koktail kelas satu, bahkan dek bawah terkadang menampilkan lounge atau bar piano. Satu 747 yang pernah dioperasikan oleh Singapore Airlines pada 1976 telah dirombak menjadi hotel dengan 33 kamar di dekat bandara di Stockholm.

"Itu adalah maskapai besar pertama, pesawat berbadan lebar pertama, sehingga menetapkan standar baru bagi maskapai penerbangan untuk mencari tahu apa yang harus dilakukan dengannya, dan bagaimana cara mengisinya," kata Guillaume de Syon, profesor sejarah di Albright College di Pennsylvania yang berspesialisasi dalam penerbangan dan mobilitas.

"Itu menjadi inti dari perjalanan udara massal, Anda tidak dapat mengisinya dengan orang yang membayar harga penuh, jadi Anda perlu menurunkan harga untuk membuat orang naik. Itu berkontribusi pada apa yang terjadi pada akhir 1970-an dengan deregulasi perjalanan udara."

Pesawat 747 pertama menjadi maskapai komersial pertama pada 1970 dengan rute Pan Am New York - London. Menurut Aboulafia, pengaturan waktunya saat itu sangat buruk. Debut layanan menggunakan pesawat itu terjadi tak lama sebelum krisis minyak pada 1973, di tengah resesi yang membuat lapangan kerja Boeing turun dari 100.800 karyawan pada 1967 menjadi 38.690 pada April 1971.

"Boeing bust" terkenal ditandai dengan papan iklan di dekat Bandara Internasional Seattle-Tacoma yang berbunyi, "Akankah orang terakhir yang meninggalkan SEATTLE -- Mematikan lampu."

4 dari 4 halaman

Masih Akan Terbang Bertahun-tahun Lagi

Namun, model yang sudah diperbarui, seri 747-400, dirilis pada akhir 1980an. Aboulafia mengatakan, pesawat itu mendapatkan momentum yang lebih baik karena bertepatan dengan ledakan ekonomi Asia pada awal 1990-an. Dia naik Cathay Pacific 747 dari Los Angeles ke Hong Kong sebagai backpacker berusia 20an pada 1991.

"Bahkan orang seperti saya bisa pergi melihat Asia," kata Aboulafia. "Sebelumnya, Anda harus berhenti untuk mengisi bahan bakar di Alaska atau Hawaii dan harganya jauh lebih mahal. Ini adalah pukulan langsung - dan harga terjangkau."

Delta adalah maskapai AS terakhir yang menggunakan 747 untuk penerbangan penumpang, yang berakhir pada 2017. Namun, beberapa maskapai internasional lainnya terus menerbangkannya, termasuk maskapai Jerman Lufthansa.

CEO Lufthansa Carsten Spohr mengenang bepergian dengan 747 sebagai siswa pertukaran muda. Ketika dia menyadari akan bepergian ke Pantai Barat AS untuk acara tersebut, hanya ada satu cara untuk pergi, yakni naik kelas satu di hidung Lufthansa 747 dari Frankfurt ke San Francisco. Dia berjanji kepada orang banyak Lufthansa akan terus menerbangkan 747 selama bertahun-tahun yang akan datang.

"Kami sangat menyukai pesawatnya," katanya.

Atlas Air memesan empat pesawat kargo 747-8 awal tahun lalu. Pesawat terakhir yang dihiasi gambar Joe Sutter, insinyur yang mengawasi tim desain asli 747, dikirimkan pada Selasa, 31 Januari 2023. CEO Atlas John Dietrich menyebut 747 sebagai kapal kargo udara terhebat, sebagian berkat kapasitasnya yang unik untuk memuat barang melalui kerucut hidung.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.