Sukses

Lumba-Lumba Langka di Sungai Yangtze China Terancam Punah Akibat Perubahan Iklim

Lumba-lumba Sungai Yangtze di China sangat langka, sehingga dipercaya membawa keberuntungan dan perlindungan bagi nelayan setempat.

Liputan6.com, Jakarta - Lumba-lumba Sungai Yangtze di China kerap disebut sebagai "Dewi Yangtze." Makhluk yang sangat langka ini dipercaya membawa keberuntungan dan perlindungan bagi nelayan setempat dan orang yang cukup beruntung untuk melihatnya.

Tapi, dikutip dari CNN, Rabu, 21 September 2022, penangkapan ikan yang berlebihan dan aktivitas manusia mendorongnya ke ambang kepunahan. Lumba-lumba Sungai Yangtze belum pernah terlihat dalam beberapa dekade.

"Baiji, atau lumba-lumba Sungai Yangtze, adalah makhluk yang unik dan indah ini, tidak ada yang seperti itu," kata Samuel Turvey, ahli zoologi dan konservasionis Inggris yang menghabiskan lebih dari dua dekade di China untuk mencoba melacak keberadaan hewan tersebut.

Turvey melanjutkan bahwa lumba-lumba Sungai Yangtze ada selama puluhan juta tahun. "Ada lumba-lumba sungai lain di dunia, tapi yang ini sangat berbeda. Jadi, tidak ada hubungannya dengan yang lain," jelasnya.

"Kepunahannya lebih dari sekadar tragedi spesies lain. Itu adalah hilangnya keanekaragaman sungai yang sangat besar dalam hal betapa uniknya sungai itu dan meninggalkan lubang besar di ekosistem," tambah Turvey.

Para ahli telah menyatakan keprihatinan yang mendalam bahwa spesies hewan dan tumbuhan asli Sungai Yangtze yang langka lainnya kemungkinan akan mengalami nasib yang sama dengan lumba-lumba sungai baiji.

Hal ini dikarenakan memburuknya perubahan iklim dan kondisi cuaca ekstrem yang berdampak pada sungai terpanjang di Asia itu. China telah bergulat dengan gelombang panas terburuk dalam catatan sejarah, dan Yangtze, sungai terpanjang ketiga di dunia, mengering.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kondisi Kritis

Dengan curah hujan di bawah rata-rata sejak Juli 2022, ketinggian air Sungai Yangtze telah jatuh ke rekor terendah 50 persen dari tingkat normalnya sepanjang tahun ini, memperlihatkan dasar sungai yang retak, bahkan mengungkap pulau-pulau yang terendam. Kekeringan telah berdampak buruk pada sungai paling penting di China, yang membentang sekitar 6.300 kilometer dari dataran tinggi Tibet ke Laut China Timur dekat Shanghai.

Sungai ini menyediakan air, makanan, transportasi, dan pembangkit listrik tenaga air untuk lebih dari 400 juta orang. Dampak manusia sangat besar. Pabrik-pabrik ditutup untuk melestarikan listrik dan pasokan air untuk puluhan ribu orang telah terpengaruh.

Para ahli menyebut, dampak lingkungan yang diakibatkan perubahan iklim dan peristiwa cuaca ekstrem terkait pada ratusan satwa liar dan spesies tumbuhan yang dilindungi dan terancam yang hidup di dalam dan sekitar sungai kurang dibicarakan.

"Yangtze adalah salah satu sungai yang paling kritis secara ekologis di dunia untuk keanekaragaman hayati dan ekosistem air tawar, dan kami masih menemukan spesies baru setiap tahun," kata ahli ekologi konservasi Hua Fangyuan, asisten profesor dari Peking University. "Banyak ikan kecil (yang diketahui) dan tidak diketahui, serta spesies air lainnya kemungkinan besar menghadapi risiko kepunahan secara diam-diam dan kami tidak cukup tahu."

3 dari 4 halaman

Ratusan Spesies Terancam

Selama bertahun-tahun, para konservasionis dan ilmuwan telah mengidentifikasi dan mendokumentasikan ratusan spesies hewan dan tumbuhan liar asli Yangtze. Beberapa di antaranya adalah lumba-lumba tanpa sirip Yangtze yang, mirip dengan baiji, menghadapi kepunahan karena aktivitas manusia dan hilangnya habitat. Juga, reptil yang terancam punah seperti buaya China dan kura-kura softshell raksasa Yangtze, diyakini sebagai spesies penyu air tawar terbesar yang masih hidup di dunia.

Para ahli juga memerhatikan penurunan drastis banyak spesies ikan air tawar asli, seperti paddlefish dan sturgeon China yang sekarang sudah punah. Yang berisiko tinggi adalah salamander raksasa Cina, salah satu amfibi terbesar di dunia.

Populasi liar telah tumbang. Turvey mengatakan, spesies itu "sekarang di ambang kepunahan." "Meski mereka adalah spesies yang dilindungi, salamander raksasa China berada di bawah ancaman yang lebih besar dari perubahan iklim, peningkatan suhu global dan kekeringan pasti tidak akan ada gunanya ketika sudah sangat rentan," kata Turvey.

4 dari 4 halaman

Titik Nadir

"Mereka telah lama menghadapi ancaman seperti perburuan, hilangnya habitat, dan polusi, tetapi ketika Anda menambahkan perubahan iklim ke dalamnya, peluang mereka bertahan hidup menjadi sangat tipis," kata Turvey. "Mereka hanya bisa hidup di lingkungan air tawar dan permukaan air yang lebih rendah pasti akan memberi tekanan lebih besar pada jumlah mereka di seluruh China."

Kelompok konservasi alam seperti World Wildlife Fund (WWF) mengatakan, penderitaan Yangtze menjadi perhatian utama, tidak hanya bagi masyarakat dan pemerintah China, tetapi juga masyarakat internasional. "Sungai-sungai di seluruh dunia, dari Eropa hingga Amerika Serikat, telah menurun ke tingkat aliran rendah secara historis yang berdampak negatif pada ekosistem," kata pemimpin ilmuwan Jeff Opperman.

"Pengurangan aliran sungai dan air yang lebih hangat di Yangtze merupakan ancaman bagi spesies air tawar dan meningkatkan tekanan pada hewan yang sudah terancam punah seperti lumba-lumba tanpa sirip Yangtze yang tersisa dan buaya Cina yang tersisa di alam liar. Permukaan sungai yang lebih rendah juga berdampak pada kesehatan danau (di dekatnya) dan lahan basah, yang penting bagi jutaan burung yang bermigrasi di sepanjang Jalur Terbang Asia Timur," tambahnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.