Sukses

Tidak Selalu Januari, Tahun Baru Ternyata Pernah Jatuh di Bulan Maret

Kisah perjalanan bulan Januari sebagai awal tahun baru melibatkan salah perhitungan astronomi, penyesuaian politik, dan kebingungan kalender

Liputan6.com, Jakarta - Januari tidak selalu jadi awal tahun baru, benarkah demikian? Dinamai dari Janus, dewa waktu, transisi, dan permulaan, Januari adalah penemuan orang Romawi kuno. Perjalanan liar bulan ini jadi awal tahun baru melibatkan salah perhitungan astronomi, penyesuaian politik, dan kebingungan kalender, seperti dikutip dari National Geographic, Minggu (2/1/2022).

Manusia telah menandai waktu di kalender setidaknya selama 10 ribu tahun, tapi metode yang digunakan bervariasi. Orang-orang Mesolitik di Inggris melacak fase bulan. Orang Mesir kuno memandang ke matahari. Sementara orang China menggabungkan kedua metode tersebut jadi kalender lunisolar yang masih digunakan sampai sekarang.

Kalender modern yang digunakan di sebagian besar dunia berkembang selama Republik Romawi. Meski dikaitkan dengan Romulus, pendiri pemerintahan dan raja pertama, kalender tersebut kemungkinan dikembangkan dari sistem penanggalan lain yang dirancang Babilonia, Etruria, dan Yunani kuno.

Ketika pengetahuan ilmiah dan struktur sosial Romawi berubah dari waktu ke waktu, itu memengaruhi kalender mereka. Bangsa Romawi mengubah kalender resmi mereka beberapa kali sejak pendirian republik pada 509 sebelum masehi sampai pembubarannya pada 27 sebelum masehi.

Perubahan pertama hanya berlangsung kurang dari 10 bulan dan memberi penghormatan pada apa yang diperhitungkan dalam masyarakat Romawi awal: pertanian dan ritual keagamaan. Tahun kalender 304 hari dimulai pada Maret (Martius), dinamai menurut dewa Romawi Mars. Itu berlanjut sampai Desember, yang merupakan waktu panen di Roma yang beriklim sedang.

Bangsa Romawi menghubungkan setiap tahun dengan tanggal pendirian kota. Jadi, tahun modern 753 sebelum masehi dianggap tahun pertama di Roma kuno. Kalender awal mencakup enam bulan dengan 30 hari dan empat bulan dengan 31 hari.

Empat bulan pertama dinamai dari dewa-dewa seperti Juno (Juni), sedangkan enam bulan terakhir diberi nomor secara berurutan dalam bahasa Latin, sehingga memunculkan nama bulan seperti September (bulan ke-7, dinamai menurut kata Latin untuk tujuh, septem). Ketika panen berakhir, begitu pula kalender.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Perubahan Bulan

Pada abad ke-7 sebelum masehi, di sekitar masa pemerintahan raja kedua Roma, Numa Pompilius, kalender menerima perubahan bulan. Revisi melibatkan penambahan 50 hari dan meminjam satu hari dari masing-masing 10 bulan yang ada untuk menciptakan dua bulan baru selama 28 hari: Ianuarius (menghormati dewa Janus) dan Februarius (menghormati Februa, festival pemurnian Romawi).

Tapi, karena orang Romawi percaya angka ganjil adalah keberuntungan, mereka berusaha membagi tahun jadi bulan-bulan dengan angka ganjil. Satu-satunya pengecualian adalah Februari, yang merupakan akhir tahun dan dianggap sial.

Ada masalah lain, yakni kalender bergantung pada bulan, bukan matahari. Karena siklus bulan adalah 29,5 hari, kalender secara teratur tidak sinkron dengan musim yang dimaksudkan untuk ditandai.

Mengatasi kebingungan itu, Roma mengamati satu bulan tambahan, yang disebut Mercedonius, setiap dua atau tiga tahun. Tapi, itu tidak diterapkan secara konsisten, dan sejumlah penguasa menambah kebingungan dengan mengganti nama bulan.

"Situasinya jadi lebih buruk karena kalender bukanlah dokumen yang tersedia untuk umum," tulis sejarawan Robert A. Hatch. "Itu dijaga oleh para imam yang menentukan tanggal hari raya keagamaan, festival, dan hari-hari ketika bisnis bisa dan tidak bisa dilakukan."

3 dari 4 halaman

Budaya Berbeda Mengakui Tanggal Berbeda

Akhirnya, pada tahun 45 sebelum masehi, Julius Caesar menuntut versi reformasi yang kemudian dikenal sebagai kalender Julian. Ini dirancang oleh Sosigenes dari Alexandria, seorang astronom dan ahli matematika yang mengusulkan kalender 365 hari dengan tahun kabisat setiap empat tahun.

Meski ia telah melebih-lebihkan panjang tahun sekitar 11 menit, kalender sekarang sebagian besar sinkron dengan matahari. Kalender baru ini memiliki inovasi lain berupa tahun baru yang dimulai pada 1 Januari.

Meski kalender Julian bertahan selama berabad-abad, tanggal tahun barunya tidak selalu dihormati para pengadopsinya. Sebaliknya, orang Kristen merayakan tahun baru pada berbagai hari raya.

Selain beberapa penyesuaian oleh penguasa Romawi lain, kalender Julian sebagian besar tetap sama sampai tahun 1582, ketika Paus Gregorius XIII menyesuaikan kalender agar lebih akurat mencerminkan jumlah waktu yang dibutuhkan Bumi untuk mengelilingi matahari.

Kalender lama telah berumur 365,25 hari, sementara kalender baru mencatat 365,2425 hari. Kalender baru juga menggeser tanggal, yang telah bergeser sekitar dua minggu, kembali sinkron dengan pergeseran musiman.

Melalui reformasi Gregory tahun 1582, 1 Januari benar-benar dianggap sebagai awal tahun baru bagi banyak orang. Tapi, tidak semua orang beralih ke kalender Gregorian yang baru, dan akibatnya liburan Natal jatuh pada bulan Januari untuk anggota gereja-gereja Ortodoks Timur.

Sementara dunia modern menyinkronkan waktu ke kalender Gregorian, kalender lain tetap hidup. Akibatnya, budaya yang berbeda mengakui tanggal yang berbeda sebagai awal tahun baru, dan memiliki festival, ritual, serta hari libur, seperti Nowruz, Rosh Hashanah, dan Tahun Baru Imlek untuk dirayakan.

4 dari 4 halaman

Infografis Tips Mewujudkan Resolusi di Tahun Baru

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.