Sukses

Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Asia Capai Level Mengkhawatirkan di Masa Pandemi Covid-19

Bentuk kekerasan yang dialami perempuan di Asia beragam, dan semua pada level yang membuat perempuan tak merasa aman.

Liputan6.com, Jakarta - Kampanye 16 Hari Tanpa Kekerasan merupakan momen tepat untuk merefleksikan apa yang dialami para perempuan di Asia. Sebuah laporan yang dirilis oleh Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional di minggu ini, kekerasan berbasis gender meningkat di masa pandemi Covid-19.

Penyebabnya banyak, termasuk meningkatkan tekanan sosial ekonomi di keluarga dan kuncitara yang memaksa para perempuan tinggal di rumah. Bentuk kekerasan yang dialami pun beragam dan tak sedikit yang mengerikan.

Dikutip dari laman South China Morning Post, Senin (29/11/2021), berikut beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan Asia yang menonjol di masa pandemi:

1. Disiksa, dipenggal, dan dilecehkan

Sejumlah ahli dan advokat di Pakistan menyebut kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di sana mencapai level mengkhawatirkan. Salah satu korbannya adalah Noor Muqaddam (27). Ia disiksa dan dipenggal di Islamabad pada Juli 2021.

Menurut laporan media setempat, tersangka utamanya adalah Zahir Jaffer. Ia menahan Muqaddam selama tiga hari. Ketika perempuan itu mencoba kabur, petugas keamanan dan tukang kebun menutup gerbangnya. Orangtua Jaffer juga dituduh terlibat dalam kejahatan itu karena mereka mengetahui Noor disekap di luar keinginannya, tetapi tidak melaporkannya ke polisi.

Kasus lainnya menimpa Ayesha Ikram, seorang kreator TikTok. Ia dilecehkan dan diraba-raba oleh sekitar 400 lelaki ketika sedang syuting video di Taman Iqbal di Lahore, pada Agustus 2021.

"Kerumunan orang sangat besar dan mereka memanjat pagar dan datang ke arah kami. Mereka lalu mendorong dan menarik saya sampai-sampai pakaian saya robek," katanya dalam sebuah pernyataan polisi, menurut outlet berita lokal Dawn.

Negara maju seperti Singapura juga tak lepas dari masalah itu. Negara itu melaporkan jumlah kekerasan seksual meningkat dalam beberapa tahun terakhir, tetapi 70 persen korban tidak melaporkannya secara formal karena takut tak dipercaya dan mengkhawatirkan reaksi keluarga dan teman-teman mereka.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

2. Terjebak dengan Pasangan yang Kasar hingga Pernikahan Paksa

Hampir sepertiga dari sekitar 736 juta perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan seksual sekali dalam seumur hidup. Tetapi, angka tersebut belum memasukkan pelecehan seksual. Situasi pandemi Covid-19 telah mencuatkan isu ini, khususnya kekerasan dalam rumah tangga.

Juru bicara Harmony House, shelter pertama di Hong Kong yang menampung perempuan korban kekerasan, mengatakan ada 272 keluarga ditampung sejak Januari tahun lalu hingga Februari tahun ini. "Kekerasan dalam rumah tangga merupakan isu yang biasa.. Tetapi, Covid-19 telah meningkatkan kesempatan dan frekuensi terjadinya kekerasan itu, yang berujung pada meningkatnya jumlah kasus yang ditampung di shelter," ujarnya.

Hal yang sama juga diungkapkan Linda S.Y. Wong, Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerhati Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan yang berbasis di Hong Kong. Ia menyebut sejak April 2020 hingga Maret 2021, 2.665 permintaan pendampingan diterima lewat jalur telepon dan layanan chating online. Ini menjadi angka tertinggi dalam empat tahun terakhir.

"Selama beberapa tahun terakhir, meningkatnya waktu tinggal di rumah telah memperburuk masalah emosional dan keluarga yang diperburuk yang dihadapi oleh beberapa korban-penyintas kekerasan seksual, yang meningkatkan kebutuhan mereka akan dukungan emosional," kata dia.

Rendahnya akses pendidikan terhadap perempuan juga meningkatkan risiko pernikahan paksa di masa pandemi yang dihadapi etnis minoritas di Hong Kong dan Inggris Raya. Masalah itu bahkan sudah mengendap lama di India dan Pakistan. Pandemi memperburuk tekanan keuangan, bahkan anak usia 8 tahun dipaksa menikah.

3 dari 4 halaman

3. Ditampar, Diancam, dan Ditekan

Banyak kaum migran menghadapi dinding tak terlihat saat hendak memenuhi kebutuhan dasarnya. Banyak dari mereka juga menunjukkan gejala depresi dan kelelahan, bahkan beberapa mengalami kekerasan fisik. Di Hong Kong, misalnya, seorang pekerja migran mengalami kekerasan lebih dari setahun hingga memicu kemarahan dari 370 ribu pekerja migran lainnya yang kebanyakan berasal dari Filipina dan Indonesia.

Eden Gumba Pales menuduh majikannya telah menganiayanya, termasuk ditampar di wajah, dipukul dengan spatula, dipaksa memakan bubur yang mengandung deterjen, hingga kepalanya dibenturkan ke tempok karena lupa membersihkan mainan anak-anak majikannya.

Pekerja asal Filipina itu juga diancam dibunuh. Ia pun harus bekerja berlebihan dan tidak boleh keluar saat hari liburnya. Majikannya kini ditahan dan sidang pertama direncanakan digelar pada Januari 2022.

4. Tekanan Politik dan Opresi

Ketidakstabilan politik di berbagai kawasan di Asia juga memicu kekerasan terhadap perempuan. Kasus itu dihadapi perempuan dan anak perempuan Afghanistan yang tidak bisa mengakses pendidikan ataupun bekerja sejak Taliban kembali berkuasa pada Agustus 2021. 

Mereka bahkan tidak memiliki kebebasan, termasuk juga mendapat ancaman kekerasan. Salah satu korbannya adalah Frozan Safi, aktivis dan dosen ekonomi berusia 29 tahun yang ditembak mati di utara Afghanistan. 

Di Myanmar, hak para pekerja perempuan untuk mendapatkan gaji yang layak dihilangkan sejak militer berkuasa. Mereka dipaksa membayar uang saat melintasi titik perlintasan militer, beberapa bahkan dilecehkan secara verbal dan seksual.

5. Kamera Pengintai dan Pemerasan

Ancaman pemerasan kepada perempuan juga meningkat selama pandemi Covid-19. Hong Kong, Kamboja, hingga Singapura menyoroti isu ini dengan tajam.

Para korban umumnya diancam akan disebarkan gambar pribadinya saat berhubungan intim yang terekam di kamera pengintai. Itu pula yang terjadi di Korea Selaran.

Pada Oktober 2021, sekelompok pria ditahan di Koresl setelah menyuap pekerja motel untuk memasang kamera pengintai di seluruh kamar tamu. Dengan itu, mereka bisa merekam kegiatan para tamu tanpa persetujuan dan lalu memeras mereka. Pejabat Korsel juga menahan kepala SD bulan lalu yang memasang kamera pengintai di kamar mandi karyawan wanita.

4 dari 4 halaman

Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.