Sukses

Tenun Ikat Maumere, Serba-serbi Proses Produksi Kain Sarat Makna

Salah satu kekayaan budaya Indonesia dapat ditengok dari keindahan kain tenun ikat Maumere di pameran kain tradisional di Sarinah, Jakarta Pusat.

Liputan6.com, Jakarta - Menuju waktu makan siang, salah satu sudut di lantai upper ground pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat disesaki orang-orang yang didominasi perempuan. Ada yang mengenakan seragam kerja hingga busana dengan sentuhan kain tradisional.

Mereka sibuk mengabadikan momen di pameran kain tradisional besutan Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI). Satu di antaranya bergantian berpose bersama seorang penenun tenun ikat yang didatangkan langsung dari Maumere dan sempat viral di media sosial.

Maria Martina, namanya. Sembari menenun, ia tak henti menebar senyum pada siapa saja yang mengajak foto bersama. Dengan bahasa Indonesia yang terbatas, Martina menjawab pertanyaan dan sapaan para pengunjung.

"(Belajar menenun) dari kecil, umur 15 tahun. (Dulu belajar bersama) nenek-nenek. (Waktu itu yang susah) Menenun motif kecil," kata Martina pada Liputan6.com di Sarinah, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019).

Martina tak datang sendiri. Ia bersama Cletus Beru, seorang penggagas Sanggar Doka Tawa Tana diundang langsung oleh KCBI untuk turut ambil bagian dalam pameran yang akan berakhir pada Kamis, 31 Oktober 2019 tersebut.

Sembari sibuk menjawab pertanyaan dan melayani pengunjung, Cletus sempat berbagi sepenggal kisah mengenai kain tenun ikat khas daerahnya.

"Pelestarian tenun Maumere ini, saya bergerak sudah 10 tahun. Awalnya dari orangtua saya almarhum mengawali ini. Dulu saya tinggal di Batam sempat di PHK, saya pulang kampung melihat situasi dan kondisi, tingkah laku anak muda yang tidak punya pekerjaan," kata Cletus.

Kain tenun sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara Timur, tak terkecuali di Maumere. Cletus menyebut, tenun ikat digunakan, baik oleh orang yang masih hidup maupun mereka yang telah tiada.

"Saudaraku yang Muslim kalau tidak pakai kafan (saat meninggal) kan lucu, orang Flores meninggal tidak pakai kain tenun itu memalukan. Jadi, jangan sampai itu punah, lalu ini kalau tidak diwariskan nanti habis di tangan kita," lanjutnya.

Selama satu dekade, Cletus bolak-balik Batam-Maumere untuk melestarikan budaya asal daerahnya. Ia pun menghidupkan kembali tarian tradisional, musik, tenun ikat, kapas lokal ditanam kembali, dan pewarna alam, yang semua dimulai dari alam.

"Saya punya sanggar dengan orang-orang satu desa, desa itu jadi desa wisata Uma Uta, kampung adat Dokar, sanggar Doka Tawa Tana. Pemerintah mengajak ini pariwisata berbasis ekonomi kreatif. Jadi, kita bisa jual jadi paket wisata, orang wisata ke kampung dan bisa melihat proses tenun, makan makanan tradisional," tambahnya.

Lewat upaya menghidupkan budaya, Cletus dan sanggar yang ia bina dilibatkan dalam penyambutan sederet tokoh negeri seperti Mufidah Jusuf Kalla ketika masih jadi Ibu Negara, Megawati, hingga para menteri.

"Akhirnya 5 Desember 2018 kami diberi penghargaan Community Based Tourism terbaik tingkat nasional oleh Kementerian Pariwisata untuk sanggar yang saya bina. Kegiatan sanggar adalah menenun, pewarnaan alam, bercocok tanam, musik dan tarian tradisional," jelas Cletus.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Di Balik Kain Tenun Ikat Maumere

Cletus menjelaskan, istilah kain di Maumere sendiri ada sebutan utan welak dan utan hawatan. Pemakaian kain dibedakan berdasarkan tingkat produktivitas para warga di sana.

"Utan welak itu yang memakai mereka yang tidak produktif lagi, tidak melahirkan, orang tua. Kalau yang tengah ini bisa dipakai mereka yang masih produktif," ungkap Cletus.

Selain itu, ada pula pembeda dari sisi jenis kelamin. "Ada beda kain laki-laki dan perempuan. karena dari tingkah laku, tutur kata, gerak gerik. Maksud orang tua itu lelaki dan perempuan itu memang saling membutuhkan, tapi mereka harus dibedakan untuk menjaga kesopanan dan moralitas," tambahnya.

Ia menyambung, untuk kain yang digunakan perempuan memiliki banyak motif. Sementara, kain untuk para pria kebanyakan polos atau hanya bermotif kotak-kotak.

"Kain-kain untuk orang tua dan tetua adat warnanya tidak terlalu mencolok, yang kaum muda yang mencolok," tuturnya.

3 dari 3 halaman

Proses Pembuatan

Untuk jadi satu lembar kain tenun ikat, ada proses panjang yang menyertai. Secara garis besar, Cletus menyebutkan proses dimulai dengan menyiapkan benang hingga ditenun.

"Harus menyiapkan benang dulu, mengeluarkan biji kapas, memintal, mengikat motif, setelah itu celup, ditata kembali, baru ditenun," katanya.

Mencelup, kata Cletus, merupakan proses paling memakan waktu. Proses ini bergantung pada cuaca dan ketersediaan penyediaan bahan pewarna alam. Jika kemarau panjang, akan sulit mendapatkannya.

"Kalau warna kuning kita pakai kunyit, merah itu mengkudu, biru itu indigo, kalau hijau ada sejenis kacang hutan yang ada di Maumere. Hitam karena indigo kita celup berulang kali jadi pekat," jelas Cletus.

Proses pembuatan kain adat membutuhkan waktu hingga satu tahun, sedangkan untuk kain utan hawatan dengan warna cerah dibuat sekitar empat hingga lima bulan. Kain adat utan welak dijual seharga Rp10 juta dan utan hawatan dijual Rp5 juta.

Setelah pameran di Sarinah, Jakarta Pusat, Cletus juga akan mengikuti pameran di Singapura selama tiga hari. Baru dilanjutkan pameran di Batam hingga kembali lagi ke Maumere.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.