Sukses

Makan Sate Kambing Sepuasnya pada Idul Adha, Ini Pandangan Dokter dan Islam

Kebiasaan masyarakat kita saat Idul Adha semacam pesta sate, selain di konsumsi, sate juga penting difoto lalu diposting di media sosial

Liputan6.com, Jakarta - Pada hari raya Idul Adha, bisa dipastikan daging akan berlimpah tak terkecuali dengan daging kambing. Sebagian masyarakat akan pesta sate.

Sate lezat dibumbu sambal kacang, atau pakai sambal kecap pun sudah cukup. Lebih afdol lagi dipadupadankan dengan nasi hangat irisan bawang merah dan tomat.

Lalu bagaimana jika mengonsumsi sate terlalu banyak? bahayakah bagi tubuh dan bagaimana pandagannya dalam Islam?

Dari sisi medis, dokter ynag bertugas di RSI Banjarnegara Jawa Tengah dr Tegar Jati Kusuma mengingatkan agar saat Idul Adha jangan sampai berlebihan dalam mengonsumsi sate kambing. Sebab, hidangan daging ini dapat membuat kadar kolesterol dalam tubuh melonjak.

"Kalau dilihat sisi nutrisi daging kambing punya banyak kandungan nutrisi yang dibutuhkan tubuh, seperti protein, zat besi, kalium, zinc, kalsium, lemak, selenium, fosfor, folat, serta vitamin K, B, dan E. Namun, daging tersebut juga mengandung lemak jenuh, yang jika dikonsumsi berlebihan bisa meningkatkan kadar kolesterol jahat (LDL) dalam tubuh," ujar Tegar.

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Daging kambing Kandungan Kolesterolnya Paling Rendah

Menurut dr Tegar, istilah Kolesterol jahat yang melonjak kadarnya dapat memicu berbagai gangguan kesehatan, seperti penumpukan plak pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis). Jika penumpukan plak tersebut terjadi pada pembuluh darah jantung dan otak, tentunya dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke.

Soal kandungan kolesterol, dr Tegar menyebutkan jika dibandingkan jenis daging lainnya, daging kambing lebih rendah kolesterol, yaitu hanya sekitar 75 miligram per 100 gramnya.

Jumlah ini lebih kecil dibanding daging sapi dengan kandungan 90 miligram, domba 110 miligram, dan ayam yang kandungan kolesterolnya 85-135 miligram, dengan takaran berat yang sama.

Tubuh manusia pun sebenarnya butuh kolesterol untuk membangun dinding sel, mendukung metabolisme, dan membantu produksi berbagai hormon. Selama tidak berlebihan, boleh saja mengonsumsi daging kambing atau daging lainnya.

3 dari 4 halaman

Dokter Bagikan Tips Sehat Makan Sate Kambing

Untuk bisa terhindar dari kolesterol tinggi setelah makan sate kambing, hal yang perlu diperhatiakan ialah cara mengolah dan jumlah konsumsinya. Jika diolah dengan cara yang kurang sehat atau dikonsumsi berlebihan, bukan tidak mungkin jika kolesterol jadi melonjak setelah makan sate kambing.

Berikut beberapa tips agar bisa makan sate kambing dengan lebih sehat:

Buang bagian lemak pada daging, ketika sedang mengolahnya. Hindari penggunaan margarin atau mentega sebagai olesan ketika membakar sate kambing, karena hanya akan menambah kadar lemak dalam daging. Makanlah sate kambing bersama sayur-sayuran dan buah-buahan. Selain dapat mengurangi jumlah kolesterol yang diserap tubuh, sayur dan buah juga tinggi serat, sehingga bisa membantu pencernaan daging kambing yang tidak mengandung serat.

Hindari Makan Berlebihan

dr Tegar menegaskan jika dikonsumsi secara proposional, maka sebenarnya merupakan pilihan daging yang lebih sehat daripada daging merah lainnya. Karena daging kambing mampu meningkatkan kesehatan jantung.

"Kalau konsumsinya sesuai porsi tidak berlebihan, daging kambing merupakan pilihan daging yang baik untuk kesehatan jantung karena mengandung lebih sedikit lemak jenuh dan lebih banyak lemak tak jenuh daripada daging merah lainnya. Mengonsumsi makanan tersebut juga bisa membantu menurunkan kolesterol jahat dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular. Meningkatkan metabolisme, kekebalan. Membantu menurunkan berat badan serta mampu mencegah anemia saat kehamilan," tandasnya.

 

4 dari 4 halaman

Makan Berlebih dalam Islam

Sementara dari sisi Islam, mereka yang makan berlebihan disebut dengan tindakan ‘Isrâf’, sebuah tindakan yang berarti: “berlebih-lebihan atau melebihi batas kewajaran”, yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian pada dirinya.

Mengutip dari Suaramuhammadiyah.id, Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ, berfirman dalam Qs Al-An’âm/6: 141, “… Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Dalam keseharian kita, seharusnya kita menyadari, bahwa diri kita hanya membutuhkan sesuatu yang ‘serba-terbatas’. Sementara itu, tidak sedikit ‘orang’ yang dengan sangat rakus berkeinginan untuk memenuhi hampir semua kebutuhan sekunder dan tersiernya, karena merasa berkemampuan untuk memenuhinya. Perhatikan, misalnya, ‘pesta-pesta kuliner’ yang sangat berlebihan. Mereka dengan lahapnya menyantap hampir semua hidangan, tanpa menyadari bahwa apa yang mereka ‘santap’ adalah sesuatu yang sebenarnya sudah tidak mereka butuhkan lagi. Akhirnya, bisa saksikan dengan mata, berapa orang yang telah terjangkiti beragam penyakit karena (dampak) asupan makanan (dan juga minuman) yang berlebihan itu.

Kini, perilaku Isrâf yang telah mereka jalani tinggallah sebagai ‘sebuah penyesalan’. Makan dan minum yang berlebihan yang telah mereka jalani telah mengakibatkan dampak buruk bukan hanya bagi dirinya. Tetapi, ‘keluarga’ mereka pun juga akan terkena dampak negatifnya, karena harus merawat seseorang yang ‘terbaring sakit’ karena perilaku isrâf itu. Dan yang perlu juga diwaspadai, bahwa perilaku isrâf tidak hanya berkaitan dengan makan-minum. Kita pun dilarang untuk ‘berbicara’ secara berlebihan.

Akhirnya, kita harus menyadari, bahwa perilaku isrâf –dalam banyak hal– disebabkan oleh ketidakmampuan orang untuk mengendalikan ‘keinginan’. Dan ‘kita’ seringkali tidak menyadari kemungkinan buruk yang bisa terjadi sebagai akibat dari perbuatan kita. Padahal setiap seorang seharusnya bisa melakukan sesuatu berdasar ‘kebutuhannya’. Di saat kebutuhannya sudah tercukupi, seharusnya dia berhenti untuk melakukan apa pun yang terkait dengan ‘keinginannya’. Karena yang tidak diperlukan untuk dikerjakan, seharusnya tidak dikerjakan, “apa pun, di mana pun, kapan pun, dan oleh siapa pun.”

Penulis: Nugroho Purbo

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.