Sukses

BWI: Sah Wakaf dari Orang Non-Muslim

Acuan wakaf adalah sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga wakaf non-muslim untuk masjid adalah sah, sebab dalam pandangan Islam itu dianggap sebagai qurbah.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Divisi Badan Wakaf Indonesia (BWI) Samsul Ma'arif mengajak masyarakat untuk berwakaf. Imbauan ini tak hanya ditujukan kepada Umat Islam, namun juga terhadap yang nonmuslim diperbolehkan memberikan wakaf.

Ia merujuk pada Zakariya al-Anshari dalam kitabnya, Fathul Wahhab bi Syarhi Manhajith Thullab, terbitan Bairut-Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H, juz I, halaman 440. Disebutkan bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu harta benda yang diwakafkan, pihak penerima wakaf, pernyataan wakaf, dan pihak yang mewakafkan.

"Dan disyaratakan pihak yang memberi wakaf adalah ia orang yang secara suka-rela memberikannya (mukhtar), dan penjelasan tambahan dari saya dalam hal ini adalah ia merupakan ahlu tabarru’ (orang cakap dalam kebajikan). Karenanya sah wakaf dari orang non-muslim dan walaupun wakaf tersebut untuk masjid," kata Samsul dalam kegiatan workshop jurnalis wakaf 2022 di Bogor, Sabtu 9 April 2022.

Dia menjelaskan, syarat menjadi pewakaf (waqif) tidak jauh berbeda dengan uraian fiqh. Hanya UU 41/2004 menambahkan syarat tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta benda wakaf.

"Dan tidak menyebutkan kata muslim sebagai syarat wakif, sehingga non muslim pun bisa menjadi wakif," tegas dia.

Samsul menambahkan, acuan wakaf adalah sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga wakaf non-muslim untuk masjid adalah sah, sebab dalam pandangan Islam itu dianggap sebagai qurbah.

Berbeda jika ia mewakafkan tanahnya misalnya untuk gereja, jelas tidak sah karena itu bukan termasuk kategori qurbah dalam pandangan Islam.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pendapat Ulama Bolehkan Non-Muslim Berwakaf

Samsul menukil pendapat Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, terbitan Damaskus-Darul Fikr, cetakan ke-XII, juz X, halaman 330.

Dia mengungkapkan:

وَقَالَ الشَّافِعِيَّةُ وَالحْنَاَبِلَةُ: اَلْعِبْرَةُ بِكَوْنِ الْوَقْفِ قُرْبَةً فِي نَظَرِ الْإِسْلَامِ. سَوَاءٌ أَكَانَ قُرْبَةً فِي اعْتِقَادِ الْوَاقِفِ أَمْ لا فَيَصِحُّ وَقْفُ الْكَاِفرِ عَلَى الْمَسْجِدِ؛ لِأَنَّهُ قُرْبَةٌ فِي نَظَرِ الْإِسْلَامِ، وَلَا يَصِحُّ وَقْفُهُ عَلَى كَنِيسَةٍ أَوْ بَيْتِ نَارٍ وَنَحْوِهِمَا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ قُرْبَةً فِي نَظَرِ الْإِسْلَامِ.

“Para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa yang menjadi acuan dalam soal wakaf adalah qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) yang sesuai dengan pandangan Islam, baik itu selaras dengan keyakinan pemberi wakaf atau tidak. Karenanya, sah wakaf non-muslim untuk masjid karena dalam pandangan Islam itu merupakan bentuk dari qurbah. Dan tidak sah wakaf untuk gereja, baitun nar (tempat penyembahan api), atau sejenisnya karena itu bukan merupakan qurbah dalam pandangan Islam.”

 

3 dari 4 halaman

Terkait dengan Nadzir

Sebagai ibadah mendermakan harta (tabarru'), wakaf memang tidak mengharuskan adanya qabul. Hal ini sebagaimana dinyatakan Sayyid Sabiq:

ومتى فعل الواقف ما يدل على الوقف أونطق بالصيغة لزم الوقف بشرط أن يكون الواقف ممن يصح تصرفة بأن يكون كامل الأهلية من العقل والبلوع والحرية والاختيار ولا يحتاج فى انعقاده إلى قبول الموقوف عليه

Artinya: Bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan qabul dari yang diwakafi (Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, tth, 3/309)

Terkait dengan Nadzir, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Nazhir sendiri berarti pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

"Dalam kasus Nazhir non-muslim, UU Nomor 41 Tahun 2004 menegaskan bahwa Nazhir harus muslim, pertimbangan adalah persoalan distribusi yang bermuara pada faktor politis keagamaan, termasuk di dalamnya nadzir yang berbentuk organisasi maupun badan hukum," terang Samsul.

 

4 dari 4 halaman

Porsi Konsumsi Nadzir

Selanjutnya, terkait dengan porsi konsumsi Nadzir terhadap harta benda wakaf. Berdasarkan hadis Umar ibnu Khattab tentang wakaf tanah Khaibar, diperkenankan nadzir mengkonsumsi hasil harta benda wakaf. Hanya saja batasannya adalah tidak berlebih-lebihan, dan tidak ada niat untuk menguasai (mengambil alih status kepemilikan).

"Dalam UU disebutkan porsi konsumsi adalah 10 persen dari hasil dari harta wakaf," kata dia.

Samsul juga mengungkapkan, diperbolehkan bagi orang yang mewakafkan berjumlah satu atau lebih banyak seperti yang telah dijelaskan oleh ulama fikih.

Menurut ulama Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Abu Hanifah, apabila waqif (orang yang mewakafkan) berjumlah dua orang, maka tasharruf (terpisah) salah satu dari keduanya tidak sah ketika terpisah dari yang lain. Karena waqif itu tidak ridho dengan pendapat temannya yang lain.

"Akan tetapi ketika waqif mensyaratkan pada selainnya, maka sah tasharruf setiap dari keduanya secara sendiri," jelas dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.