Sukses

Sejarah Halal bi Halal di Indonesia, Pahami Tujuannya

Sejarah Halal bi Halal di Indonesia, yakni muncul sebagai respons terhadap situasi sosial dan politik yang memerlukan rekonsiliasi dan persatuan.

Liputan6.com, Jakarta - Mengapa sejarah Halal bi Halal di Indonesia perlu diketahui? Tradisi Halal bi Halal memiliki akar yang mendalam di dalam budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia. Memahami sejarahnya, mengantarkan pada pemahaman asal usul serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Ketahui bahwa sejarah Halal bi Halal di Indonesia menggambarkan bagaimana tradisi ini muncul sebagai respons terhadap situasi sosial dan politik yang memerlukan rekonsiliasi dan persatuan.

Sejarah Halal bi Halal di Indonesia, singkatnya menunjukkan peran pentingnya para tokoh agama dan politik dalam memperkenalkan dan mengembangkan tradisi ini. Dicetuskan pertama kali oleh KH Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1948, Halal bi Halal menjadi salah satu instrumen untuk mempererat hubungan antarindividu dan membangun keharmonisan dalam masyarakat.

Tradisi ini terus berkembang dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri di Indonesia sampai saat ini. Tujuan melestarikan tradisi Halal bi Halal di Indonesia mencakup mengeratkan hubungan sosial, menjaga keharmonisan dalam masyarakat, dan merajut kembali hubungan yang retak. Melalui sikap saling memaafkan dan mengampuni, tradisi ini tidak hanya memperkuat ikatan sosial, tetapi juga membentuk budaya persaudaraan yang kokoh.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang sejarah Halal bi Halal di Indonesia lengkap tujuannya, Kamis (28/3/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Sejarah Halal bi Halal di Indonesia

Sejarah Halal bi Halal di Indonesia merupakan warisan budaya yang kini masih terus dilestarikan dalam tradisi Idul Fitri. Istilah tersebut berasal dari bahasa Arab, meskipun tidak umum dipahami oleh masyarakat Arab sendiri.

Menurut penelitian yang dipaparkan dalam buku "Kontemplasi Ramadan" karya Nasaruddin Umar, Halal bi Halal memiliki akar kata halla-yahillu yang berarti mengampuni. Tradisi ini pertama kali dicetuskan oleh seorang ulama ternama, KH Abdul Wahab Hasbullah, dengan tujuan utama untuk mempererat hubungan, mencairkan suasana, dan menyelesaikan konflik.

Sejarah panjang Halal bi Halal di Indonesia memulai babak awalnya pada tahun 1948, ketika negara sedang dilanda gejala disintegrasi bangsa, dilansir dari laman website resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RI).

Saat itu, para elit politik tengah terlibat dalam perselisihan yang mengancam persatuan. Dalam situasi yang tidak sehat tersebut, KH Abdul Wahab Hasbullah memberikan saran kepada Presiden Soekarno untuk menyelenggarakan silaturahmi menjelang Idul Fitri sebagai upaya untuk mengakhiri konflik. Namun, karena istilah "silaturahmi" dianggap biasa, Bung Karno meminta istilah yang lebih tepat.

 

 

3 dari 5 halaman

Usulan Istilah Halal bi Halal oleh KH Abdul Wahab

Pada titik ini, KH Abdul Wahab Hasbullah mengusulkan istilah Halal bi Halal, yang mengandung makna untuk memaafkan kesalahan dan menghilangkan dosa. Dengan mengadopsi istilah ini, Bung Karno mengundang para tokoh politik untuk bersilaturahmi dengan tema Halal Bihalal di istana. Acara tersebut sukses besar dan menjadi langkah awal dalam menerapkan tradisi Halal bi Halal di Indonesia.

Dari situlah, tradisi Halal bi Halal semakin tersebar luas di Indonesia. Melalui instansi pemerintah dan pergerakan masyarakat yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Hasbullah, tradisi tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri di Indonesia.

Halal bi Halal dijadikan sebagai momen untuk mencari penyelesaian masalah, mengampuni kesalahan, dan menjaga keharmonisan hubungan.

Seiring berjalannya waktu, makna Halal bi Halal semakin dalam mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia, terutama di kalangan Muslim. Tradisi ini tidak hanya menjadi ritual sosial semata, tetapi juga memiliki nilai-nilai islami yang mendalam, seperti mengampuni, memaafkan, dan merajut kembali hubungan yang sempat terputus. Sejarah panjang Halal bi Halal di Indonesia menggambarkan betapa pentingnya nilai-nilai persaudaraan, toleransi, dan keharmonisan dalam kehidupan beragama.

4 dari 5 halaman

Tradisi Halal bi Halal di Indonesia

Situasi Halal bi Halal di Indonesia hingga saat ini masih sangat kental dan berakar dalam budaya masyarakat, khususnya pada momen Idul Fitri. Setiap tahun, tradisi ini terus dilestarikan dan dirayakan di berbagai kalangan, baik di tingkat pemerintahan, organisasi, maupun masyarakat umum.

Halal bi Halal tidak hanya menjadi ajang untuk berkumpul dan bersilaturahmi, tetapi juga sebagai wujud dari kearifan lokal yang mampu mempersatukan beragam lapisan masyarakat.

Pentingnya Halal bi Halal dalam kehidupan sosial dan keagamaan membuat tradisi ini tetap dijaga dan dipraktikkan secara konsisten di Indonesia. Setiap tahun, berbagai komunitas dan lembaga mengadakan acara Halal bi Halal sebagai bagian dari upaya mempererat hubungan antarindividu, kelompok, dan komunitas. Tradisi ini menjadi momen yang dinanti-nanti oleh banyak orang karena selain sebagai ajang silaturahmi, juga sebagai kesempatan untuk merajut kembali hubungan yang mungkin sempat renggang.

Namun demikian, situasi Halal bi Halal di Indonesia juga mengalami perkembangan seiring dengan perubahan zaman dan dinamika sosial yang terus berlangsung.

Perayaan Halal bi Halal tidak lagi terbatas pada lingkup keluarga atau komunitas kecil, tetapi juga merambah ke ranah yang lebih luas, termasuk di kalangan pekerja, pelajar, dan masyarakat perkotaan. Hal ini mencerminkan adaptasi tradisi ke dalam konteks modern yang semakin terbuka dan inklusif.

Selain itu, perayaan Halal bi Halal di Indonesia juga semakin dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan media sosial. Bila dulu Halal bi Halal hanya dirayakan secara langsung dengan bertatap muka, kini tradisi ini juga dipermudah dengan adanya saluran komunikasi digital. Masyarakat dapat saling mengucapkan maaf dan memaafkan melalui pesan singkat, telepon, atau media sosial, meskipun jarak dan waktu memisahkan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Halal bi Halal terus relevan dan terus berkembang seiring dengan perubahan zaman.

5 dari 5 halaman

Tujuan Melestarikan Tradisi Halal bi Halal

Melestarikan tradisi Halal bi Halal memiliki beberapa tujuan yang penting dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia, seperti yang dijelaskan dalam buku "Kumpulan Ceramah dan Doa untuk Berbagai Acara" karya Gamal Komandoko. Berikut adalah lima tujuan melestarikan tradisi Halal bi Halal:

  1. Mengeratkan Hubungan Sosial: Salah satu tujuan utama dari melestarikan tradisi Halal bi Halal adalah untuk mengeratkan hubungan sosial antara individu, kelompok, dan komunitas. Melalui kegiatan saling memaafkan dan menghalalkan kesalahan, tradisi ini menjadi sarana untuk mempererat tali persaudaraan dan membangun kedekatan antar sesama.
  2. Menjaga Keharmonisan dalam Masyarakat: Tradisi Halal bi Halal juga bertujuan untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat. Mengedepankan sikap toleransi, pengampunan, dan kerelaan untuk memaafkan, tradisi ini membantu mencegah konflik dan memperkuat ikatan sosial di antara anggota masyarakat.
  3. Merajut Kembali Hubungan yang Retak: Tradisi Halal bi Halal menjadi momen penting untuk merajut kembali hubungan yang mungkin sempat renggang atau terputus. Melalui sikap saling memaafkan dan mengampuni, individu atau kelompok yang terlibat dalam konflik dapat menemukan jalan untuk memulihkan hubungan mereka dan memperbaiki keretakan yang ada.
  4. Menumbuhkan Budaya Persaudaraan: Melestarikan tradisi Halal bi Halal juga bertujuan untuk menumbuhkan budaya persaudaraan di tengah-tengah masyarakat. Dengan mengajarkan nilai-nilai seperti toleransi, pengampunan, dan kerelaan untuk berdamai, tradisi ini membentuk landasan yang kuat bagi terciptanya lingkungan sosial yang harmonis dan penuh kasih sayang.
  5. Membangun Kesadaran Spiritual: Selain aspek sosial, melestarikan tradisi Halal bi Halal juga memiliki tujuan untuk membangun kesadaran spiritual dalam diri setiap individu. Melalui proses memaafkan dan mengampuni, tradisi ini mengajarkan pentingnya introspeksi diri, pengendalian ego, dan peningkatan kualitas batiniah sebagai bagian dari perjalanan spiritual seseorang.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.