Sukses

5 Penyebab Ibu Kehilangan Hak Asuh Anak Setelah Perceraian, Simak Apa Saja

Apa penyebab ibu kehilangan hak asuh anak pasca perceraian? Hak asuh anak dalam kasus perceraian merupakan topik kompleks yang membutuhkan penanganan bijaksana dan adil dari pihak berwenang.

Liputan6.com, Jakarta Apa penyebab ibu kehilangan hak asuh anak pasca perceraian? Hak asuh anak dalam kasus perceraian merupakan topik kompleks yang membutuhkan penanganan bijaksana dan adil dari pihak berwenang. Terdapat beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan.

Salah satunya undang-undang mengutamakan prinsip kepentingan terbaik anak dalam menentukan hak asuh. Ini berarti bahwa keputusan terkait hak asuh harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti kesejahteraan fisik, mental, dan emosional anak, serta hubungan yang baik dengan kedua orangtuanya.

Dalam beberapa kasus, pengadilan dapat memutuskan untuk memberikan hak asuh bersama antara kedua orang tua, di mana keduanya memiliki kewenangan yang setara dalam membuat keputusan penting terkait anak. Namun, jika terdapat alasan yang jelas dan kuat, seperti kekerasan atau pengabaian, hak asuh tunggal kepada satu orang tua mungkin lebih sesuai. Hal ini juga bisa menjadi penyebab ibu kehilangan hak asuh anak. 

Penentuan hak asuh anak juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kemampuan finansial, lingkungan tempat tinggal yang stabil, ketersediaan waktu untuk mengasuh, dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak. Berikut ulasan lebih lanjut tentang penyebab ibu kehilangan hak asuh anak yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (27/3/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Alasan Seorang ibu Kehilangan Hak Asuh atas Anaknya

Penyebab ibu kehilangan hak asuh anak dalam pengadilan seringkali terkait dengan faktor-faktor yang mengancam kesejahteraan dan keamanan anak. Beberapa alasan yang dapat menyebabkan ibu kehilangan hak asuh anak antara lain,

1. Keterlibatan dalam Kebiasaan Buruk yang Merugikan

Jika ibu terlibat dalam kebiasaan seperti pemabuk, pemadat, atau penjudi yang sulit disembuhkan, hal ini dapat menjadi alasan bagi pengadilan untuk meragukan kemampuannya untuk memberikan perawatan yang stabil dan aman bagi anak-anak.

2. Melanggar Peraturan atau Kesepakatan

Jika ibu telah meninggalkan pihak lain (suami dan anak) tanpa izin yang sah atau alasan yang diterima, atau melakukan tindakan yang di luar kemampuannya, hal ini dapat mencerminkan ketidakstabilan atau kurangnya tanggung jawab yang mendasarinya.

3. Hukuman Penjara

Jika ibu dihukum penjara karena tindakan kriminal atau pelanggaran hukum serius lainnya, hal ini dapat mengakibatkan kehilangan hak asuh anak karena ketidaksanggupan untuk memberikan perawatan dan pengawasan yang diperlukan bagi anak.

4. Kekerasan atau Penganiayaan Berat

Jika ibu terlibat dalam tindakan kekerasan atau penganiayaan yang membahayakan pihak lain, termasuk anak-anaknya, ini dapat menjadi alasan yang sangat serius untuk kehilangan hak asuh anak.

5. Kemampuan Menjamin Keselamatan Anak

Pengadilan juga dapat mempertimbangkan kekhawatiran terhadap kemampuan ibu untuk menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak-anaknya. Ini bisa termasuk situasi di mana lingkungan rumah tangga tidak aman atau ibu tidak mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi anak-anaknya.

Dalam semua kasus, keputusan pengadilan untuk mencabut hak asuh ibu harus didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dan konsisten yang menunjukkan bahwa kepentingan dan kesejahteraan anak-anak akan terancam jika hak asuh tetap diberikan kepada ibu. Proses ini haruslah dilakukan dengan kebijaksanaan dan keadilan, serta mempertimbangkan kepentingan terbaik anak sebagai prioritas utama.

3 dari 3 halaman

Aturan Hak Asuh Anak dalam Undang-undang

Undang-undang yang mengatur hak asuh anak pasca perceraian memberikan kerangka hukum yang mengikat bagi kedua orang tua untuk tetap memelihara dan mendidik anak-anak mereka secara baik, meskipun telah bercerai. Merujuk pada Ppsal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedua orang tua memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, termasuk setelah perceraian terjadi. 

Sementara, menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105, anak yang belum mencapai usia mumayyiz atau 12 tahun memiliki hak asuh yang berada di tangan ibunya. Ini menunjukkan bahwa dalam kasus ini, ibu memiliki kewajiban utama untuk memelihara dan merawat anak-anaknya.

Anak yang sudah mencapai usia mumayyiz diberikan kebebasan untuk memilih antara tinggal bersama ayah atau ibunya. Hal ini memberikan kesempatan kepada anak untuk turut serta dalam menentukan keputusan terkait hak asuhnya, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang terbaik bagi dirinya.

Ayah tetap memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya, terlepas dari siapa yang memiliki hak asuh utama. Ini menunjukkan pentingnya aspek keuangan dalam mendukung kehidupan layak anak setelah perceraian.

Meskipun hak asuh anak di bawah usia 12 tahun secara hukum berada di tangan ibu, pengadilan biasanya memberikan kesempatan bagi ayah untuk tetap bertemu dan berinteraksi dengan anak-anaknya. Hal ini bertujuan untuk memastikan hubungan yang sehat antara orang tua dan anak, meskipun dalam konteks perceraian.

Dengan demikian, undang-undang yang mengatur hak asuh anak pasca perceraian memberikan landasan hukum yang jelas terkait dengan tanggung jawab orang tua dalam memelihara, mendidik, dan memberikan nafkah kepada anak-anak mereka. Prinsip kepentingan terbaik anak tetap menjadi panduan utama dalam penanganan kasus hak asuh pasca perceraian.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.