Sukses

Aturan Tunda Pemilu dalam Undang-undang, Pernah Terjadi di Indonesia

Keputusan untuk tunda pemilu tidak dapat diambil sembarangan dan bukan merupakan kewenangan kepala daerah.

Liputan6.com, Jakarta Tunda pemilu mungkin terjadi sebagai langkah yang diperlukan dalam situasi-situasi tertentu yang menghambat pelaksanaan tahapan pemilu. Pihak yang memiliki wewenang penuh untuk menentukan penundaan pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk pemilihan kepala daerah (pilkada).

Pemilu lanjutan dan pemilu susulan menjadi opsi yang dapat diambil oleh KPU/KPUD sebagai respons terhadap hambatan-hambatan yang mungkin terjadi hingga menyebabkan tunda pemilu. Pemilu lanjutan akan dilakukan untuk melanjutkan tahapan-tahapan yang terhenti atau tidak dapat dilaksanakan, sementara pemilu susulan direncanakan untuk menjalankan kembali seluruh tahapan yang tidak dapat dilaksanakan sebelumnya.

Keputusan untuk tunda pemilu tidak dapat diambil sembarangan dan bukan merupakan kewenangan kepala daerah. Penetapan penundaan pemilu sepenuhnya bergantung pada wewenang KPU/KPUD yang diamanahkan untuk memastikan proses pemilu berjalan sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan. Berikut ulasan lebih lanjut tentang tunda pemilu dan aturannya dalam undang-undang yang berlaku, dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (11/1/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Penundaan Pemilu dalam Undang-undang

Aturan penundaan pemilu dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Pemilihan Umum memberikan landasan hukum yang jelas terkait pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia. Pasal 22E UUD 1945 menetapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan Pemilu yang harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Dalam hal pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota), Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis. Kewenangan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, termasuk menetapkan tahapan pemilu, diberikan kepada KPU dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk tingkat provinsi, kabupaten, atau kota.

Pemilu lanjutan dan pemilu susulan menjadi pilihan yang sah dalam UU 8/2012 sebagai respons terhadap berbagai situasi yang dapat menghambat pelaksanaan pemilu. Pemilu lanjutan dilaksanakan ketika terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan. Pemilu susulan, di sisi lain, digelar jika seluruh tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan.

Penetapan tunda pemilu berada di tangan KPU/KPUD, bukan kepala daerah petahana. Aturan tersebut menggarisbawahi bahwa penundaan dapat dilakukan setelah adanya usul dari tingkat yang lebih rendah, misalnya PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan.

UU 8/2012 memberikan kewenangan kepada KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, atau KPU (tingkat nasional) untuk mengusulkan penundaan sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Selain itu, kepolisian juga memiliki peran dalam memberikan usulan penundaan jika terdapat pertimbangan gangguan keamanan.

Meskipun UU 8/2012 menyebutkan kondisi-kondisi force majeure, perlu diperhatikan bahwa tidak ada penjelasan rinci mengenai maksud dan ruang lingkup dari setiap kondisi tersebut. Oleh karena itu, interpretasi teknis dan pengambilan keputusan tetap mengacu pada peraturan yang lebih spesifik, seperti Peraturan KPU 12/2016.

3 dari 3 halaman

Tunda Pemilu yang Pernah Terjadi di Indonesia

Isu penundaan pemilu sempat mencuat di Indonesia menjelang Pemilu 2024. Beredarnya isu ini mengingatkan pada sejarah politik di Indonesia di masa lampau. Sebenarnya, penundaan pemilu bukanlah hal baru di Indonesia. Sejarah mencatat empat kali penundaan pemilu.

Penundaan pemilu petama terjadi pada tahun 1946, segera setelah kemerdekaan Indonesia. Meskipun pemerintah telah merencanakan pemilu pada November 1945, wacana tersebut tidak terealisasi. Faktor internal seperti belum adanya Undang-Undang terkait pemilu dan rendahnya stabilitas keamanan negara menjadi alasan utama, ditambah adanya invasi asing yang melibatkan Indonesia dalam perang.

Pemilu selanjutnya yang mengalami penundaan terjadi pada tahun 1962 dan 1968. Pada 1962, pemilu yang dijanjikan "gaya baru" oleh Presiden Soekarno tidak terealisasi karena kesibukan konfrontasi dengan Malaysia dan perebutan Irian Barat. Sementara pada 1968, pemilu yang direncanakan pada 5 Juli 1968 ditunda karena perdebatan panjang mengenai perincian-perincian UU Pemilu yang baru dan kekurangan antusiasme pemerintah saat itu.

Era Reformasi yang dimulai sejak 1998 menyaksikan penundaan pemilu hanya sekali, yaitu pada Pilkada 2020. Penyebaran pandemi COVID-19 menjadi alasan KPU untuk mengeluarkan keputusan penundaan tahapan pilkada selama tiga bulan, yang kemudian diselenggarakan pada 9 Desember 2020 di 270 wilayah di Indonesia.

Sejarah penundaan pemilu di Indonesia mencerminkan kompleksitas dalam penyelenggaraan proses demokrasi. Faktor-faktor internal dan eksternal, seperti kondisi keamanan, konfrontasi dengan negara tetangga, dan pandemi, menjadi tantangan yang perlu diatasi untuk menjaga integritas dan keberlanjutan sistem demokrasi di Indonesia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.