Sukses

Perbedaan Fakir dan Miskin yang Wajib Disimak Umat Muslim, Pahami Golongannya

Fakir adalah mereka yang secara sadar memilih gaya hidup sederhana dalam upaya mencapai kedamaian batin, sedangkan miskin adalah individu atau kelompok yang menghadapi keterbatasan finansial yang sering kali diakibatkan oleh faktor eksternal.

Liputan6.com, Jakarta Perbedaan fakir dan miskin terletak pada niat dan pilihan hidup, di mana fakir adalah mereka yang secara sadar memilih gaya hidup sederhana dalam upaya mencapai kedamaian batin, sedangkan miskin adalah individu atau kelompok yang menghadapi keterbatasan finansial yang sering kali diakibatkan oleh faktor eksternal.

Perbedaan fakir dan miskin sangat penting dipahami oleh umat muslim, di mana fakir adalah istilah yang merujuk pada individu yang secara sukarela memilih gaya hidup sederhana dan rendah hati. Adapun pilihan hidup mereka didasarkan pada tujuan spiritual dan pencarian kedamaian batin. Sedangkan miskin mengacu pada individu atau kelompok yang mengalami keterbatasan finansial, dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makanan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidaksetaraan ekonomi, kurangnya peluang pendidikan atau pekerjaan, perubahan ekonomi yang merugikan, serta faktor-faktor sosial dan struktural lainnya. Miskin sering kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya, dan layanan yang diperlukan untuk menjalani kehidupan yang layak. Berikut ini perbedaan fakir dan miskin yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (14/8/2023). 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Penjelasan dan Perbedaan

Definisi miskin telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

“Orang miskin bukan hanya yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain” (HR. Bukhari no. 1479, Muslim no. 1039).

Yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis di atas adalah orang miskin yang muta’affif (menjaga kehormatan). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain,

 إنَّما المِسْكِينُ الذي يَتَعَفَّفُ، واقْرَؤُوا إنْ شِئْتُمْ يَعْنِي قَوْلَهُ: {لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إلْحَافًا}

“Sesungguhnya orang miskin adalah yang menjaga kehormatannya. Bacalah firman Allah Ta’ala, [mereka tidak meminta-minta kepada manusia dengan memaksa] (QS. Al-Baqarah: 273)” (HR. Bukhari no. 4539).

Dalam riwayat lain,

ولَكنَّ المسْكينَ المتعفِّفُ وفي زيادةٍ ليسَ لَهُ ما يستغني بِهِ الَّذي لا يسألُ ولا يُعلمُ بحاجتِهِ فيتصدَّقَ عليْهِ

“Orang miskin yang muta’affif (menjaga kehormatan) adalah yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak meminta-minta, tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya” (HR. Abu Daud no. 1632, didha’ifkan oleh Al-Albani dalam Dha’if Abu Daud).

Namun ‘ala kulli haal, dari hadis ini, para ulama menyimpulkan kaidah umum tentang patokan miskin, yaitu orang yang penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Disebutkan dalam Mu’jam Al-Wasith,

المِسْكِينُ : من ليس عنده ما يكفي عياله، أَو الفقير

“Miskin adalah orang yang tidak mendapati penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Disebut juga dengan fakir”.

 Untuk penjelasan tentang perbedaan fakir dan miskin ada beberapa diantaranya: 

1. Fakir

  1. Fakir adalah individu yang secara sadar memilih untuk menjalani gaya hidup yang sangat sederhana, dan mengejar tujuan spiritual. Mereka melihat materi sebagai distraksi dari pencapaian kedamaian batin. Motivasi mereka adalah mencapai transformasi diri melalui pemurnian pikiran dan jiwa.
  2. Fakir secara aktif menolak keterikatan terhadap harta benda. Ini dapat berarti hidup dengan barang-barang yang sangat minimal atau bahkan mengandalkan sumbangan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
  3. Fakir mengejar kedamaian batin dan pemahaman mendalam tentang eksistensi. Mereka memusatkan perhatian pada pencapaian pencerahan dan penghapusan keinginan duniawi.
  4. Dalam beberapa budaya, fakir dianggap sebagai contoh hidup yang layak dihormati. Masyarakat menghargai dedikasi mereka terhadap tujuan spiritual dan pengabdian terhadap jalan spiritual.

2. Miskin

  1. Miskin adalah individu atau kelompok yang mengalami keterbatasan finansial yang serius. Mereka tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya dan layanan yang diperlukan untuk menjalani hidup yang layak.
  2. Miskin cenderung menghadapi hambatan akses terhadap pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang memadai, perumahan yang layak, dan peluang pekerjaan yang layak. Ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk lokasi geografis, diskriminasi, atau kurangnya peluang ekonomi.
  3. Miskin umumnya berusaha untuk meningkatkan kondisi finansial mereka dan keluar dari lingkaran kemiskinan. Mereka mungkin berinvestasi dalam pendidikan, berpartisipasi dalam program pelatihan kerja, atau mencari peluang usaha kecil sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka.
  4. Miskin lebih rentan terhadap fluktuasi ekonomi dan perubahan dalam struktur ekonomi. Kondisi yang tidak stabil seperti pengangguran, inflasi, atau perubahan harga komoditas dapat memiliki dampak lebih besar pada mereka yang sudah dalam kondisi ekonomi yang rapuh.
3 dari 4 halaman

Mengenal Fakir Miskin

Dalam Bahasa Indonesia seringkali kita mendengar kata fakir digandengkan dengan kata lain yang semakna yakni miskin, sehingga menjadi fakir miskin. Dalam bahasa Arab, kata faaqir berasal dari kata faqr  yang berarti ‘tulang punggung’ dan yang pertama (faaqir) berarti ‘orang yang patah tulang punggungnya’ karena demikian berat beban yang dipikulnya. Sedangkan kata ‘miskin’ berasal dari kata sakana yang dalam bahasa Arab berarti ‘diam’ atau ‘tenang’.

Mengutip dari laman Zakat.or.id, Dalam Al Quran definisi kata Fakir dan Miskin tidak dijelaskan secara gamblang. Kendati kedua kata tersebut dengan berbagai akar katanya terdapat dalam Al Quran lebih dari 14 kali untuk kata faqr dan lebih dari 33 kali untuk kata miskin.

”Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekafiran, kekurangan, dan kehinaan dan aku berlindung kepada-Mu dari (kondisi) didzalimi dan mendzalimi orang lain.”

(HR Ibnu Majjah dan Hakim dari Abu Hurairah)

Dalam sebuah riwayat ditemukan doa Rasulullah SAW yang memohon perlindungan kepada Allah SWT dari kefakiran. Sebagaimana tertuang pada riwayat di atas serta memohon ‘kehidupan dan kematian’ dalam kondisi miskin. Sebagaimana sabdanya, ”Ya Allah, hidupkanlah aku dalam kondisi miskin, dan wafatkanlah aku (juga) dalam kondisi miskin.”

Ada sesuatu yang menarik dari doa Rasulullah di atas. Yakni kondisi atau sifat ‘fakir’ merupakan kondisi yang sangat buruk, yang disejajarkan dengan kekufuran, kekurangan, dan kehinaan. Sehingga Rasul memberi contoh umatnya untuk memohon perlindungan kepada Allah dari beberapa kondisi tersebut. Dengan demikian, pantas bila Ali bin Abi Thalib RA dalam salah satu atsar-nya menyebutkan, ”Hampir-hampir kondisi kefakiran itu membawa seseorang pada kekufuran.”

Sedangkan melansir dari laman bmh.or.id, hingga kini sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa fakir dan miskin adalah sebuah kesamaan. Ketika melihat seseorang atau sekelompok orang yang hidup dalam keterbatasan ekonomi, istilah fakir miskin masih sering dilekatkan. Padahal jika ditinjau dari bahasa dan agama, kedua istilah tersebut berbeda dan berdiri sendiri.

Dengan demikian tidak mengherankan jika Allah Ta’ala menyebut masing-masing  status tersebut dalam firmanNya. Sebagai agama yang sempurna, Islam memperhatikan keadaan mereka sebagai penerima zakat dalam Surat At-Taubah ayat 60:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

“ Sesungguhnya zakat itu hanya bagi orang fakir, orang miskin, amil zakat, muallaf, untuk hamba sahaya, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan. Sebagai sebuah kewajiban dari Allah Ta’ala. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”

4 dari 4 halaman

Golongan yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Dalam agama Islam, terdapat beberapa golongan yang tidak berhak menerima zakat berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam sumber-sumber hukum Islam, seperti Al-Qur'an dan Hadis. Berikut adalah 7 golongan yang tidak berhak menerima zakat beserta dalilnya:

1. Orang kaya yang cukup mampu

Dalam Al-Qur'an, surat At-Taubah ayat 60 menerangkan bahwa : "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana."

2. Ahli keluarga Nabi

 Dalam Hadis riwayat Al-Bukhari: "Sesungguhnya zakat adalah harta yang diambil dari orang kaya di antara kamu, lalu diambil dan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya." Dalam hadis ini, tidak disebutkan bahwa zakat boleh diberikan kepada ahli keluarga Nabi Muhammad SAW atau keluarga para sahabat sebagai penerima zakat.

3. Ahli waris 

Berdasarkan Hadis riwayat Muslim: "Sesungguhnya kita, ahli waris, tidak mewarisi zakat. Zakat itu adalah sesuatu yang wajib diambil dari harta orang kaya di antara kita, kemudian diberikan kepada orang yang berhak menerimanya."

4. Orang yang mampu bekerja namun enggan bekerja 

Hal ini didasarkan akan Hadis riwayat Abu Daud: "Tidak berhak menerima zakat orang yang memiliki kendaraan atau hewan ternak yang mencukupi untuk bekerja, tetapi ia tidak bekerja, tidak menjalankan usaha, dan tidak berusaha untuk mencari nafkah."

5. Orang yang masih memiliki hutang piutang yang harus dibayar 

Dalam Hadis riwayat Abu Daud: "Tidak halal bagi seseorang yang memiliki harta yang cukup untuk membayar hutangnya, menerima zakat." Sehingga, orang yang masih memiliki hutang piutang yang cukup untuk membayar hutangnya tidak berhak menerima zakat.

6. Orang yang memiliki harta yang diharamkan 

Berdasarkan Al-Qur'an, Surat Al-Baqarah ayat 267: "Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan untuk kamu dari bumi. Dan janganlah kamu memilih yang jelek untuk dikeluarkan (sebagai sedekahmu) padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan menutup mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji."

7. Orang yang tidak beragama Islam 

Dalam Al-Qur'an, surat At-Taubah ayat 28 menerangkan : "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka itu menghampiri Masjidil Haram atau masjid-masjid yang didirikan di sekitarnya sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir mengalami kesempitan (akibat perang), maka Allah akan menjadikan kemurahan-Nya kepadamu, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.