Sukses

Mitos Wanita Lebih Emosional adalah Stereotip Patriarki yang Merugikan Semua Orang

Mitos bahwa wanita lebih emosional dibanding pria hanyalah stereotip patriarki. Cari tahu bagaimana narasi ini merugikan semua orang dan menghambat kesetaraan gender.

Diterbitkan 15 September 2025, 09:00 WIB
Share
Copy Link
Batalkan

Liputan6.com, Jakarta - Narasi ‘pria lebih logis dan wanita lebih emosional’ mungkin bukanlah sebuah hal yang asing di telinga kita, sebab kalimat tersebut sering keluar pada momen-momen di mana keputusan harus dibuat. 

Namun, yang jadi masalah adalah label ‘emosional’ yang ditempelkan pada wanita, karena cenderung dipandang sebagai hal negatif dan menjadi justifikasi untuk mendorong mereka keluar dari ruang-ruang penting, membatasi peran, hingga meremehkan suara yang sebenarnya sah untuk didengar.  

Stereotip yang melekat ini menggambarkan wanita seolah-olah makhluk yang “irasional”, “terlalu dramatis”, dan “sensitif”. Namun, jika pria memberikan respons yang serupa, mereka dianggap “tanggapan yang baik” atau “masukan yang diterima”.

Dilansir dari verry well mind, stereotip yang sudah mengakar ini memberi pengaruh buruk terhadap bagaimana perempuan diperlakukan, baik di hubungan pribadi, lingkungan kerja, maupun kehidupan sosial. 

Akibatnya, banyak wanita akhirnya merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dan bersikap dengan cara yang sebenarnya tidak alami. 

“Menggambarkan perempuan dan laki-laki sebagai sosok yang secara inheren mengikuti peran gender stereotip sebagai sesuatu yang ‘alami’ atau ‘bawaan’ melanggengkan mitos peran gender yang salah, stereotip, dan seksisme,” kata Catherine Mckinley, profesor madya di Tulane University School of Social Work. 

 

2 dari 3 halaman

Sebuah Narasi Patriarki

Meskipun masih dibutuhkan banyak penelitian lebih lanjut di bidang ini, namun sejauh ini gagasan bahwa perbedaan emosional berdasarkan jenis kelamin adalah mitos. 

McKinley menyebut, anggapan bahwa perempuan lebih emosional itu salah besar. Ia menyebut, baik disadari maupun tidak, setiap manusia selalu memiliki emosi.

Pada sebuah penelitian tahun 2021 yang dipublikasikan dalan Scientific Reports menunjukkan hasil bahwa emosi pria ternyata berfluktuasi sama besarnya dengan emosi wanita. 

Hasil tersebut menunjukkan perubahan signifikan dari bagaimana emosi dilekatkan antara pada pria dan wanita. 

Menurut McKinley, konstruksi gender yang kaku dalam budaya patriarki masih menempatkan pria sebagai sosok yang dianggap tidak beremosi, sedangkan perempuan justru dilekatkan dengan label emosional.

“Karena patriarki menggambarkan pria lebih superior daripada wanita, sifat-sifat stereotip yang dikaitkan dengan wanita dan feminitas diremehkan, didiskreditkan, dan didelegitimasi,” ujar McKinley.

 

3 dari 3 halaman

Dampak Negatif Stereotip Emosional

Narasi yang dilanggengkan oleh budaya patriarki tersebut menyebabkan kerugian bagi semua orang. Menurut Liz Coleclough, pekerja sosial dan spesialis terapi trauma, semua orang memiliki emosi dan membutuhkan koneksi, sehingga tidak ada orang yang cocok dengan batasan tersebut. 

“Mereka mungkin menampilkan diri, berperilaku, dan mengidentifikasikan diri dengan berbagai cara di luar stereotip yang mereka tetapkan saat lahir. Namun, karakteristik dan perilaku yang melampaui ekspektasi gender ini dapat menimbulkan penolakan, pengucilan, bahkan bahaya,” jelas Coleclough. 

Ia menyebut, ketika seseorang mencoba membentuk diri untuk masuk ke ruang tersebut, itu hanya akan membatasi kemampuan mereka untuk tumbuh dan mengekspresikan diri. 

Lebih lanjut, Coleclough mengungkapkan, wanita memang ‘diizinkan’ untuk berikap emosional, tetapi tetap pada tingkat emosional yang tepat. Wanita boleh menangis, tapi tidak dengan marah. 

Gagasan terkait apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh masing-masing gender juga dapat melanggengkang kekerasan. Menurut Koalisi Nasional Melawan Kekerasa Dalam Rumah Tangga, Amerika Serikat, satu dari tiga perempuan akan mengalami kekerasan dalam rumah tangga seumur hidup mereka.

“Di dunia yang telah menentukan perempuan untuk tidak berdaya dan laki-laki untuk berkuasa dan merasa berhak, tidak mengherankan jika jenis kekerasan ini beigut umum,” kata Coleclough.

“Tentu saja, untuk bisa dianggap sebagai ‘korban’, seseorang tetap harus sesuai dengan deskripsi feminin. Seringkali, tanggung jawab atas kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan seksual masih dibebankan pada seseorang yang keluar dari batasannya,” tambahnya. 

Produksi Liputan6.com