Sukses

WHO: 600 Ribu Anak di Rafah Terancam Kena Serangan Israel

Ratusan Ribu Anak di Rafah Terancam Hidup dan Mati atas Rencana Serangan Israel

Liputan6.com, Jakarta - Aktivitas militer Israel semakin meningkat di Rafah, sebuah kota yang terletak di bagian paling selatan Jalur Gaza. Di tengah meningkatnya serangan tersebut, sebagian besar warga Gaza terpaksa mengungsi dari Rafah demi keselamatan mereka.

Serangan yang terjadi di Rafah telah menarik perhatian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Menurut perkiraan WHO, sekitar 30 hingga 40 ribu orang telah meninggalkan Rafah menuju Khan Younis dan Deir al-Balah. Namun, lebih dari 1,4 juta orang masih berisiko tinggi menjadi korban serangan di Rafah, termasuk 600 ribu anak.

Dampak dari serangan tersebut juga terasa di sektor kesehatan. Salah salah satu dari tiga rumah sakit di Rafah, yaitu rumah sakit An-Najjar, terpaksa ditutup. Pasien-pasien telah dipindahkan ke tempat lain, dan staf rumah sakit telah mengeluarkan persediaan dan peralatan penting untuk melindungi mereka.

Sementara itu, penyeberangan Rafah dari Mesir ke Gaza tetap ditutup, yang merupakan jalur akses utama untuk pasokan ke Gaza.

Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyatakan dalam briefing media pada Rabu, 8 Mei 2024, bahwa bahan bakar yang diharapkan dapat masuk ke Gaza ternyata tidak diperbolehkan, menyebabkan krisis bahan bakar yang dapat mengancam layanan kesehatan di wilayah selatan hanya dalam waktu tiga hari.

WHO telah menempatkan sejumlah pasokan di gudang dan rumah sakit, tapi tanpa bantuan tambahan yang signifikan, mereka tidak dapat mempertahankan upaya penyelamatan nyawa yang diperlukan untuk membantu warga Gaza yang terdampak serangan Israel.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bantuan Kesehatan untuk Rafah

Meski begitu, Tedros menyatakan bahwa WHO tidak mempunyai niat untuk menarik diri dari Rafah dan akan tetap tinggal dan memberikan bantuan bersama dengan mitra pemberi bantuan lainnya.

WHO mengoordinasikan pekerjaan 20 Tim Medis Darurat di Gaza, yang terdiri dari 179 tim internasional dari 30 negara, bekerja bersama 800 staf lokal.

Tim-tim ini ditempatkan di 10 rumah sakit yang ada, dan telah mendirikan lima rumah sakit lapangan.

Mereka telah memberikan hampir 400 ribu konsultasi, melakukan lebih dari 18 ribu operasi, dan menambah lebih dari 500 tempat tidur rumah sakit tambahan.

3 dari 4 halaman

Minta Jalur Bantuan untuk Warga Rafah Tak Dihalangi

WHO dan para relawan bekerja di semua tingkat layanan, di utara dan selatan, memberikan stabilisasi trauma, membantu persalinan, mendukung peringatan dini wabah penyakit, dan banyak lagi.

Dengan dukungan dari WHO dan staf rumah sakit, Tim Medis Darurat telah membersihkan Kompleks Medis Nasser di Khan Younis menyusul serangan dan pengepungan awal tahun ini.

Mereka telah merekrut tenaga kesehatan dan rumah sakit siap mulai menerima pasien cuci darah hari ini.

Tedros juga menilai bahwa gencatan senjata sangat diperlukan demi kemanusiaan. Pihaknya pun menyerukan penghapusan semua hambatan dalam penyampaian bantuan kemanusiaan mendesak ke dalam dan di seluruh Gaza, pada skala yang diperlukan.

4 dari 4 halaman

AS Tangguhkan Pengiriman Senjata ke Israel

Di hari yang sama, yakni Rabu (8/5) Amerika Serikat mengatakan bahwa pihaknya sedang mempertimbangkan potensi penangguhan senjata lebih lanjut ke Israel.

Sebelumnya, AS juga menghentikan pengiriman bom berkekuatan besar karena kekhawatiran mengenai rencana invasi Rafah.

Berbicara kepada komite kongres, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengkonfirmasi pembekuan bom 907kg dan bom 226kg pekan lalu.

"Kami menghentikan satu pengiriman amunisi muatan tinggi untuk Israel namun belum membuat keputusan akhir tentang bagaimana melanjutkan pengiriman itu," kata Austin mengutip Channel News Asia.

Juru bicara Departemen Luar Negeri, Matthew Miller, mengatakan, Amerika Serikat memiliki keprihatinan yang sangat serius mengenai rencana Israel untuk memasuki Rafah. Mengingat, ini adalah tempat lebih dari satu juta warga Palestina berlindung selama perang.

"Jadi kami telah menghentikan satu pengiriman bantuan jangka pendek dan kami sedang meninjau pengiriman bantuan lainnya," kata Miller.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.