Sukses

Mandatory Spending Dicoret di UU Kesehatan Baru, Peneliti Kesehatan: Ini Kemunduran

RUU Kesehatan sah menjadi undang-undang, yang berarti tak ada mandatory spending atau tidak dicantumkan lagi alokasi wajib anggaran.

Liputan6.com, Jakarta Peneliti Global Health Security Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan lenyapnya mandatory spending atau alokasi wajib anggaran 10 persen dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru merupakan sebuah kemunduran.

"Jelas ini suatu kemunduran bukan kemajuan. Bahkan, memasuki era yang lebih membutuhkan anggaran besar, respons pemerintah malah mengalami kemunduran," kata Dicky.

Tidak dicantumkan besaran anggaran wajib kesehatan dalam RUU Kesehatan yang sudah disahkan pada 11 Juli 2023 juga menunjukkan komitmen pemerintah yang lemah dalam pembangunan kesehatan.

"Ini mengundang masalah, artinya komitmen melemah dalam pembangunan kesehatan, apa pun alasannya," kata Dicky tegas dalam pesan suara ke Health-Liputan6.com ditulis Rabu (12/7/2023).

Padahal, World Health Organization (Badan Kesehatan Dunia) menyarankan bahwa setidaknya ada alokasi minimal pada negara-negara berkembang sebesar 5-10 persen dari total anggaran untuk kesehatan.

"Ini kata WHO. Hal tersebut disampaikan atas beragam kajian," kata Dicky lagi.

Sementara itu, negara kurang mampu yang tidak mematok anggaran wajib kesehatan.

"Hanya negara-negara dengan keterbatasan fiskal dan keterbatasan dana pembangunan saja yang tidak mematok," katanya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tidak Ada Mandatory Spending, Kerugian Lebih Banyak

Menurut Dicky, ketika suatu negara tidak ada mandatory spending, maka bakal lebih banyak dampak negatif. Ketiadaan mandatory spending berdampak pada program-program kesehatan tak lagi mendapatkan kecukupan dana di tengah ancaman yang makin besar.

Sementara itu, aspek positifnya hanya pada anggaran yang menjadi fleksibel karena keterbatasan atau sedikitnya dana.

"Secara tidak langsung, menempatkan sebagai negara yang tidak berkomitmen kuat dalam alokasi pembangunan kesehatan," katanya.

Dicky memprediksi penghapusan mandatory spending yang tidak berbasis sains dan data ini memang tidak langsung terasa dampaknya. Kemungkinan di rezim selanjutnya.

"Sejarah selalu membuktikan bahwa kesalahan keputusan akhirnya dialami dampaknya oleh generasi mendatang," kata Dicky.

3 dari 3 halaman

Alasan Menkes Tak Ada Mandatory Spending dalam RUU Kesehatan Baru

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa seharusnya tidak memfokuskan diri pada mandatory spending. Sebaliknya, yang perlu menjadi perhatian adalah fokus ke hasil (output). 

“Fokusnya jangan ke spending, fokusnya harus ke program, ke hasilnya. Jangan ke input, tapi ke output, itu yang ingin kita didik ke masyarakat,” terang Budi Gunadi usai Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa, 11 Juli 2023.

Fokus terhadap output ini, Budi Gunadi melihat besaran anggaran kesehatan terhadap rata-rata usia hidup di beberapa negara di dunia. 

“Kita mempelajari di seluruh dunia mengenai spending kesehatan. Negara paling besar spending-nya tuh Amerika. Kenapa orang spend buat kesehatan? Ingin sehat, kenapa ingin sehat?” jelas Budi Gunadi.

“Karena enggak mau meninggalnya cepat. Di Amerika rata-rata usia hidup 80 tahun. Jadi, rata-rata usia hidup itu dipakai sebagai patokan.”

Selanjutnya, bandingkan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang termasuk tinggi rata-rata usia hidupnya 80-an tahun. Spending ketiga ini justru di bawah Amerika. 

“Apa yang kita pelajari dari situ? Satu, besarnya spending tidak menentukan kualitas dari outcome (dampak/manfaat),” terang Budi Gunadi.

“Tidak ada data yang membuktikan semakin besar spending, derajat kesehatannya makin baik.” 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini