Sukses

Pentingnya Peran Caregiver, Salah Satunya Jadi Penentu Kepatuhan Pasien Kanker Ovarium

Pasien kanker tidak hanya membutuhkan bantuan secara medis dengan obat-obatan. Melainkan juga dukungan emosional orang-orang di sekitarnya.

Liputan6.com, Jakarta - Bagi beberapa orang, memiliki anggota keluarga dekat yang terkena kanker ovarium bisa jadi hal sulit. Terutama bagi mereka yang bertugas langsung untuk merawat atau mengasuh (caregiver) pasien.

Hal tersebut lantaran pasien kanker tidak hanya membutuhkan bantuan secara medis dengan obat-obatan. Melainkan juga dukungan emosional orang-orang di sekitarnya. Terutama saat masa-masa awal seseorang terdiagnosis kanker ovarium.

Ketua Umum Cancer Information and Support Center (CISC), Aryanthi Baramuli Putri, SH, MH mengungkapkan bahwa tahap awal itulah biasanya pasien kanker mengalami beragam perasaan.

"Tahap awal ketika seseorang mendapatkan diagnosis kanker ovarium tentulah mengalami gelisah, galau, sedih sampai terasa hidup ini segera akan berakhir," ujar Aryanthi dalam acara Kampanye 10 Jari Kanker Ovarium bersama AstraZeneca, CISC, dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Sabtu (27/5/2023).

"Sehingga dukungan emosional sangat dibutuhkan supaya pasien dapat mengatasi gangguan psikologis dengan cepat," sambungnya.

CISC sendiri telah lama menjadi salah satu wadah informasi dan dukungan bagi para pasien kanker dan keluarganya. Aryanthi pun berpesan jikalau ada pasien kanker, CISC siap untuk memberi dukungan agar pasien bisa mendapatkan pengobatan kanker ovarium yang bermutu dan tepat.

Kepatuhan Pasien Jalani Pengobatan Kanker

Pendapat selaras diungkapkan oleh apoteker klinis, Yovita Diane Titisari, M.Sc. Menurut Yovita, memang ada banyak faktor yang dapat memengaruhi pasien kanker termasuk dalam hal kepatuhannya.

"Banyak faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien, salah satunya adalah komunikasi yang baik antara pasien dan penyedia layanan kesehatan, serta dukungan dari keluarga atau caregiver," kata Yovita.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kemoterapi Oral untuk Pasien Kanker Ovarium

Lebih lanjut Yovita mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh pasien kanker ovarium maupun caregiver-nya. Terutama saat sedang mengonsumsi obat kemoterapi oral.

"Ada yang berpikir obat kemoterapi oral itu kayak minum parasetamol saja. Padahal beda, karena dia tetap obat kemoterapi. Hanya saja dalam bentuk tablet," kata Yovita.

Yovita menjelaskan, hal pertama yang tidak boleh dilakukan saat menjalani kemoterapi oral adalah caregiver maupun pasien kankernya tidak boleh memegang obat dengan tangan kosong.

"Kalau bisa caregiver itu enggak megang langsung obatnya. Kalau pasiennya, tentu harus cuci tangan dulu. Harus pakai handscoon (sarung tangan) kalau ada. Kalau enggak ada, ya minimal cuci tangan agar masuk ke tubuh kitanya bersih," ujar Yovita.

3 dari 4 halaman

Jangan Gerus Obat Kemoterapi Oral

Selain itu, Yovita turut mengingatkan bahwa penting untuk pasien kanker maupun caregiver-nya tidak menggerus obat sembarangan apalagi menggunakan ulekan sambal dan sebagainya.

Begitupun dengan mengonsumsi bersamaan dengan pisang.

"Enggak semua obat kemoterapi oral bisa digerus, karena apa? Nanti efeknya berkurang. Sayang sudah beli mahal-mahal," ujar Yovita.

"Apalagi kalau makannya pakai pisang, itu juga gak boleh. Kalau gak bisa telan gimana? Tenang, instruksinya bisa dibantu apoteker," tambahnya.

4 dari 4 halaman

Kanker Ovarium Sering Disebut Silent Killer

Dalam kesempatan yang sama, dokter spesialis ginekologi onkologi, Toto Imam Soeparmono sendiri tak menepis jikalau deteksi dini kanker ovarium bisa jadi sulit. Hal tersebut jugalah yang membuat kanker ovarium sering disebut sebagai silent killer.

"Kalau ovarium itu silent killer, susah deteksi (lebih dini)-nya," kata Toto.

Namun, bukan berarti tak ada cara untuk melakukan deteksi dini kanker ovarium. Deteksi kanker ovarium lebih awal bisa dilakukan dengan beberapa cara. Seperti dengan rutin melakukan USG dan pemeriksaan CA 125, misalnya.

"Deteksi yang paling gampang tentunya dengan USG. Indung telur yang normal itu tiga sentimeter. Kalau kalian lihat indung telur menjadi lima sentimeter, ada sesuatu yang tidak beres," kata Toto.

Sedangkan khusus untuk pemeriksaan CA 125 bisa diketahui melalui hasilnya. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan nilai yang melebihi 35 U/mL, maka seseorang dapat dikatakan punya 70 persen risiko terkena kanker ovarium. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.