Sukses

Warga Jepang Dinilai Kurang Romantis, Apa Pengaruhi Angka Kelahiran yang Rendah?

Liputan6.com, Jakarta - Populasi negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia, Jepang, terus menurun selama beberapa tahun terakhir, dengan rekor penurunan 644.000 pada 2020-2021, menurut data pemerintah. Populasi Jepang diperkirakan akan anjlok dari 125 juta menjadi sekitar 88 juta jiwa pada tahun 2065.

Politisi di Jepang menyebut angka pernikahan serta kelahiran di Jepang yang anjlok tak cuma karena biaya mengasuh anak yang tinggi. Politisi ini menilai karena warga di sana kurang bisa romantis.

Politisi yang merupakan anggota Partai Demokrat Liberal (LDP) Jepang dari Majelis Prefektur Mie Narise Ishida menyatakan bahwa pemerintah harus melakukan survei untuk mengetahui "kemampuan romantis" masyarakatnya.

Kendati demikian, dia tidak menjelaskan secara detail bagaimana data ini dapat mendorong seseorang untuk memiliki anak, dikutip dari koran Mainichi.

"Angka kelahiran tidak menurun karena tingginya biaya yang dibutuhkan untuk punya anak. Masalahnya adalah bahwa asmara sudah menjadi hal yang tabu sebelum menikah," ujar Ishida menurut Firstpost.

Benar Begitu?

Pendapat Ishida disebut ada benarnya.

Makoto Watanabe, profesor media dan komunikasi di Hokkaido Bunkyo University di Sapporo mengatakan pendapat Ishida ada beberapa yang benar. Namun, Watanabe juga melihat bahwa teknologi sebenarnya mempermudah anak-anak muda sekarang menunjukkan keromantisan lewat cara terbaru. 

Makoto menambahkan, "Di antara murid-murid saya, saya melihat mereka terus-menerus menunjukkan 'kemampuan romantis' melalui teknologi modern, yang mungkin menjadi alasan mengapa Ishida tidak melihatnya."

Namun, mengingat bahwa Jepang sebagian besar masih merupakan negara konservatif, yang membuat pendapat Ishida jadi masuk akal. Tak sedikit warga Jepang yang enggan menunjukkan keromantisan sebab merasa malu akan orang lain.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Malu Menunjukkan Momen Romantis

Salah satunya seorang siswa berusia 20 tahun dari Yokohama bernama Emi. Dia menyebut bahwa menunjukkan keromantisan di tempat umum membuatnya malu.

"Saya pikir memalukan untuk terlihat romantis di tempat umum karena orang lain akan melihat Anda dan beberapa orang tidak suka akan hal itu."

"Kami melihat orang-orang di negara lain berpegangan tangan, berpelukan atau berciuman di depan umum di film atau di televisi, tetapi saya akan sangat tidak nyaman jika pacar saya melakukan itu kepada saya di depan umum," tambahnya.

Pernikahan Bukan Lagi Tujuan Hidup

Selain itu, tidak banyak wanita Jepang yang melihat pernikahan sebagai tujuan hidup sekarang. Banyak wanita muda Jepang yang lebih memilih untuk bekerja daripada menikah dan memiliki anak.

Sejak akhir 1980-an, jumlah pendaftar S1 wanita di berbagai perguruan tinggi telah mengalami peningkatan. Pada 2020, angkanya mencapai 51 persen.

Sementara itu, partisipasi tenaga kerja perempuan berusia antara 25-29 tahun naik dari 45 persen pada 1970 menjadi 87 persen pada 2020.

3 dari 4 halaman

Upaya Pemerintah Jepang

Guna menangani angka kelahiran yang rendah, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengumumkan rencana untuk menggunakan dua kali lipat anggaran pertahanan negara demi mendukung pasangan muda yang ingin memiliki bayi dalam upaya untuk mengatasi penurunan populasi Jepang yang meresahkan.

Angka kelahiran di Jepang diperkirakan telah anjlok hingga di bawah 800.000 tahun lalu.

Untuk itu, Kishida mengatakan akan menghabiskan 20 triliun Yen untuk program kelahiran bayi. Termasuk mendanai petugas yang menawarkan bantuan dan konseling kepada pasangan, menurut Telegraph.

"Jepang berada di ambang batas apakah kita dapat terus berfungsi sebagai masyarakat atau tidak," kata Fumio Kishida, seraya menambahkan bahwa mengatasi angka kelahiran yang sangat rendah tidak bisa menunggu dan ditunda.

Dalam pidatonya, ia berbicara secara umum tentang ekonomi sosial anak pertama. Keluarga akan menerima tunjangan anak yang lebih besar dan orang tua yang bekerja akan memiliki akses ke lebih banyak tempat penitipan anak sepulang sekolah.

Selain itu, akan ada reformasi yang memudahkan orang tua untuk mengambil cuti demi merawat keluarga.

4 dari 4 halaman

Kebutuhan Jangka Panjang

Kendati demikian, pidato Kishida tidak spesifik pada tekanan jangka panjang yang membuat pasangan berpikir dua kali untuk memiliki anak.

Misalnya, biaya pendidikan untuk jenjang yang lebih tinggi, meningkatnya biaya hidup dan, pekerjaan dengan bayaran rendah dan tidak stabil untuk pekerja non-reguler, dan jam kerja yang sangat panjang yang membuat kehidupan keluarga yang sehat tidak memungkinkan.

Inilah yang membuat Watanabe sangat tidak setuju dengan pandangan Ishida. Bukan kurang romantis tapi faktor ekonomi yang baik diperlukan bila ingin memiliki anak. 

"Sebenarnya anak muda masih ingin menikah, berkeluarga, memiliki anak lagi, tetapi jika membeli mobil atau rumah saja susah karena masalah ekonomi, sangat sulit untuk memiliki anak," katanya.

Hal ini sejalan dengan yang dikatakan seorang mahasiswa bernama Nao Imai.

"Di Jepang, keluarga dengan anak-anak menanggung beban ekonomi yang berat," katanya dikutip dari The Guardian.

"Tingginya biaya pendidikan menjadi alasan utama mengapa orang tidak memiliki jumlah anak yang ideal. Tunjangan anak membantu keluarga membesarkan anak-anak, tetapi tidak memperbaiki kesenjangan ekonomi."

Realitas ekonomi yang dirasakan para orang muda Jepang menjadi penyebab munculnya keengganan berumah tangga.

 

(Adelina Wahyu Martanti)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini