Sukses

Potensi Terkena Campak Jadi Lebih Tinggi Jika Tak Lakukan 1 Hal Ini

Campak sebenarnya bisa dicegah dan diturunkan potensi terkenanya hanya dengan satu hal yakni imunisasi.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI melaporkan, kasus campak mengalami kenaikan sepanjang 2022. Data hingga 20 Januari 2023 menemukan adanya 55 KLB Campak di 34 kabupaten/kota di Indonesia.

Kenaikan kasus campak ini pun mungkin membingungkan. Pasalnya, campak sebenarnya bisa dicegah dan diturunkan potensi terkenanya hanya dengan satu hal yakni imunisasi.

Ketua Unit Kerja Koordinasi Penyakit Infeksi Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr dr Anggraini Alam, SpA(K) mengungkapkan bahwa dahulu setelah imunisasi campak diperkenalkan tahun 1968, dunia hampir tidak menemukan penyakit campak mengalami peningkatan lagi.

"Kita tuh hampir enggak ketemu lagi penyakit campak. Ini gara-gara imunisasi itu sangat spesial. Meningkatkan kesehatan, bisa sampai ke pelosok dirasakan kita semua, menyelamatkan kehidupan," kata dokter yang akrab disapa Anggi tersebut dalam media briefing bersama IDAI ditulis Sabtu, (21/1/2023).

"Jadi tidak heran, begitu diperkenalkan vaksin campak tahun 68, sejak itu kita hampir enggak jumpa campak," jelasnya.

Anggi menjelaskan, campak memang merupakan penyakit yang faktor risikonya rendah bila sudah melakukan imunisasi. Sehingga bila seorang anak terkena, maka penyebab utamanya berkaitan dengan imunisasi yang belum dilakukan.

"Satu-satunya kena campak itu ya karena enggak divaksin (imunisasi). Begitu stop vaksin, kita akan ketemu penyakit itu," ujar Anggi.

Itulah yang saat ini tengah terjadi di Indonesia. Kasus campak mengalami kenaikan karena menurut Anggi, ada kaitannya dengan cakupan imunisasi yang menurun.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Menurunnya Cakupan Imunisasi Campak

Anggi mengungkapkan bahwa peningkatan kasus campak kemungkinan besar terjadi karena menurunnya cakupan imunisasi anak selama pandemi COVID-19.

"Indonesia ini diperlihatkan sejak tahun 2015 cakupan DPT (difteri, pertusis, dan tetanus), atau kita tahu anak-anak mendapatkan pentavalen, itu sudah mulai turun. Lebih menurun lagi di 2020," ujar Anggi.

"Artinya, memang cakupan kita se-Indonesia sudah rendah. Mulai kapan? Mulai di 2015 utamanya, apalagi ditambah adanya COVID-19. Secara global memang imunisasi menjadi turun cakupannya," tambahnya.

Terlebih lagi Anggi mengungkapkan bahwa penyakit campak kerap kali disepelekan. Sehingga banyak pula yang melewatkan imunisasi campak begitu saja.

"Ditambah dengan karena kita lihat, 'Ah campak, sudah enggak pernah lihat kok. Itu sih zaman dulu'. Kalaupun juga ada campak, ini jarang lihat. Kalau ada dianggap ringan," kata Anggi.

3 dari 4 halaman

Komplikasi Akibat Campak

Padahal, campak merupakan salah satu penyakit yang punya risiko komplikasi luas. Komplikasi itu kemudian bisa turut menyebabkan pneumonia.

"Komplikasi campak itu kemana-mana. Mulai dari mata, bisa ke jantung, paling sering pneumonia. Kemudian mulutnya luka, belum lagi dia ada diarenya," kata Anggi.

"Karena bayangkan kalau dia merah-merah di kulit kayak begitu, di saluran cerna ususnya juga seperti itu, dan juga bisa ke otak. Bisa keluar cairan juga dari telinganya," tambahnya.

Anggi menambahkan, campak sebenarnya juga bisa menyebabkan kematian. Terutama jika yang terinfeksi mengalami penyebaran virus hingga ke paru, dan mengalami pneumonia.

"Kematian tertinggi apabila campak itu sampai ke paru, ini menyebabkan kematian. Lebih dari 50 persen mendekati 90 persen kematian campak akibat pneumonia," kata Anggi.

4 dari 4 halaman

Bisa Juga Sebabkan Kerusakan Otak

Lebih lanjut Anggi mengungkapkan bahwa campak pun bisa menyebabkan kerusakan pada otak anak. Kerusakan itu bisa terjadi dalam waktu beberapa minggu setelah terinfeksi.

"Yang paling menyedihkan dari campak yang suka dianggap enteng, dari seribu yang kena campak satu diantaranya otaknya rusak. Kapan kejadiannya? Beberapa hari sampai beberapa minggu setelah campak," kata Anggi.

"Dalam setahun, ini virus campaknya bisa ditemukan di otak. Tentu ini menyebabkan kematian dan yang paling sedih dari 10-100 ribu, satu diantaranya akan mengalami subacute sclerosing panencephalitis (SSPE)," jelasnya.

SSPE tersebut bisa mulai muncul beberapa tahun setelah terkena campak, yang biasanya ditandai dengan menurunnya kemampuan fungsi otak.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.