Sukses

IDI: Gejala XBB Mirip dengan Varian Omicron Lainnya

COVID-19 subvarian XBB sudah terdeteksi di Indonesia dan membawa kekhawatiran baru. Ini merupakan subvarian dari Omicron yang pertama kali terdeteksi di India.

Liputan6.com, Jakarta COVID-19 subvarian XBB sudah terdeteksi di Indonesia dan membawa kekhawatiran baru. Ini merupakan subvarian dari Omicron yang pertama kali terdeteksi di India.

Menurut Ketua Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Erlina Burhan, gejala yang ditimbulkan oleh subvarian XBB cenderung mirip dengan gejala COVID-19 varian Omicron secara umum.

“Hingga saat ini, gejala XBB mirip dengan gejala COVID Omicron secara umum, jadi ada demam, batuk, lemas, sesak, nyeri kepala, nyeri tenggorok, pilek, mual, muntah, dan diare,” ujar Erlina dalam konferensi pers daring, Kamis (3/11/2022).

Sejauh ini, lanjut Erlina, belum ada laporan resmi yang mengatakan bahwa XBB menyebabkan COVID-19 dengan gejala yang lebih berat.

“Belum ada laporan ilmiah resmi yang menyatakan XBB menyebabkan COVID-19 dengan gejala yang lebih berat. Hingga saat ini masih dikatakan mirip dengan Omicron yang lain.”

Erlina juga menyampaikan bahwa di Singapura, XBB banyak menyerang kelompok usia muda 20 hingga 39 tahun. Namun, yang dirawat adalah orang-orang dari kelompok usia di atas 70 tahun atau lanjut usia.

“Jadi yang muda-muda walaupun banyak terserang dengan XBB, tapi mereka lebih aman dan tidak perlu perawatan. Yang dirawat adalah yang di atas 70 tahun karena mungkin memang imunitasnya turun atau juga banyak komorbid.”

Meski secara umum subvarian XBB ini kasusnya ringan, tapi jika menyerang lansia maka perawatan di rumah sakit akan diperlukan, tambahnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tidak Terdeteksi Antigen?

Dalam kesempatan itu, Erlina turut mengomentari soal info simpang siur yang menyebar di grup WA.

Pesan ini terkait anggapan bahwa subvarian XBB tidak terdeteksi oleh tes antigen. Menurut Erlina, hal ini tidak tepat.

“Di WA grup banyak sekali informasi yang kurang valid di antaranya varian XBB tidak terdeteksi saat antigen. Padahal, di rumah sakit kami ada kasus yang antigennya positif, lalu saat PCR positif juga dan whole genome sequencing-nya menunjukkan XBB.”

“Jadi tidak sepenuhnya benar jika dikatakan varian XBB ini tidak terdeteksi saat dilakukan pemeriksaan antigen,” tambahnya.

Di sisi lain, meski kasus XBB sudah terdeteksi di Indonesia, tapi IDI belum ada rencana untuk merekomendasikan penerapan penguncian atau lockdown.

“Tidak ada pembicaraan saat ini dari PB IDI untuk merekomendasikan lockdown karena ini banyak sekali dampaknya, terutama dampak di luar kesehatan. Jadi rekomendasi kami kepada masyarakat adalah silakan beraktivitas tapi ketatkan protokol kesehatan karena COVID masih berlangsung dan terjadi lonjakan kasus.”

3 dari 4 halaman

Lonjakan Kasus

Seperti disampaikan Erlina, lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia memang tengah terjadi bahkan sejak sepekan ke belakang. Pada 2 November kemarin, penambahan kasus positif mencapai 4.873.

Penambahan ini nyaris bersamaan dengan munculnya subvarian XBB di Indonesia. Sehingga, subvarian dari Omicron ini pun dikait-kaitkan dengan lonjakan tersebut.

Namun, Erlina mengatakan bahwa kenaikan kasus saat ini tidak bisa dikatakan karena XBB.

“Kita tidak bisa mengatakan bahwa kenaikan kasus saat ini adalah karena XBB karena jumlah XBB yang baru ditemukan dan dilaporkan masih sedikit, di bawah 20 kasus,” Erlina Mengatakan.

“Tapi kita kan tidak tahu, banyak sekali orang yang batuk, pilek, demam enggak memeriksakan diri hanya isolasi mandiri saja. Kalau melakukan antigen pun tidak diteruskan dengan PCR sehingga kita tidak tahu apakah variannya XBB, BA.4, atau BA.5, kita enggak tahu,” tambahnya.

Namun, yang jelas data di Indonesia menunjukkan bahwa varian yang masih dominan di Indonesia adalah BA.5, katanya.

4 dari 4 halaman

Dugaan Penyebab Lonjakan

Sementara XBB belum bisa disebut sebagai biang keladi dari lonjakan kasus yang cukup signifikan, ada dugaan lain yang memiliki potensi meningkatkan kasus.

“Kenapa kasusnya meningkat? Bisa jadi satu karena kita makin longgar (protokol kesehatan), kedua kita lupa mengawasi atau melindungi orang-orang berisiko tinggi seperti lanjut usia (lansia) dan komorbid. Jadi mungkin karena belakangan kasus menurun, jadi lupa melindungi mereka.”

Di sisi lain, aktivitas kehidupan sudah nyaris normal, lanjut Erlina. Hal ini juga diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya lonjakan kasus COVID-19.

“Orang sudah berkumpul beramai-ramai, kegiatan rapat, kegiatan offline di mana-mana, acara-acara gathering di mana-mana dan lupa dengan protokol kesehatan.”

Mengingat tren kenaikan kasus sedang terjadi, maka Erlina berpesan kepada masyarakat untuk mulai berhati-hati ketika hendak menggelar suatu acara atau kumpul-kumpul menjelang libur Natal dan Tahun Baru.

“Ada baiknya mempertimbangkan untuk mengurangi jumlah orang ketika ingin berkumpul. Kalau kemarin kumpulnya sudah kembali normal, yuk kita kurangi supaya kita bisa mengupayakan terjadinya penurunan kasus.”

Saat kasus melandai, banyak pula orang yang tadinya patuh menerapkan protokol kesehatan menjadi ikut-ikutan longgar, kata Erlina.

“Saya kira protokol longgar ada kontribusinya, tapi kalau karena varian baru itu belum ada bukti karena kasusnya sedikit,” pungkasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.