Sukses

Mata Minus pada Anak Sekolah Meningkat hingga 3 Kali Lipat Sejak Pandemi COVID-19

Prevalensi mata minus pada anak sekolah mengalami peningkatan hingga tiga kali lipat sejak pandemi COVID-19 berlangsung.

Liputan6.com, Jakarta Sejak pandemi COVID-19 berlangsung dua tahun lalu, pembatasan aktivitas membuat penggunaan gadget mengalami peningkatan. Hal tersebut dianggap berkontribusi pada peningkatan prevalensi mata minus pada anak.

Pasalnya, data menunjukkan jumlah anak yang mengalami mata minus bertambah hingga tiga kali lipat sejak pandemi COVID-19.

Dokter spesialis mata perwakilan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Mata (PERDAMI), Yeni Lestari mengungkapkan bahwa di Indonesia data terkait mata minus pada anak memang belum terlalu banyak. Namun, data di luar negeri banyak menunjukkan terkait hal satu ini.

"Data internasional banyak sekali menyebutkan bahwa semenjak pandemi ini, angka myopia atau mata minus pada anak sekolah meningkat 1,4 sampai 3 kali lipat dari angka biasanya. Jadi angka sebelum pandemi, sekarang bertambah tiga kali lipat," ujar Yeni dalam acara Hari Penglihatan Sedunia 2022 bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Selasa, (4/10/2022).

Yeni menjelaskan, data pun ikut menunjukkan bahwa penambahan yang terjadi bukan hanya dari segi jumlah, melainkan juga dari segi usia. Ternyata, banyak anak-anak dengan kategori usia lebih muda yang mengalami mata minus sejak pandemi COVID-19.

"Jadi yang tadinya mulai matanya minus seperempat atau setengah itu di kelas-kelas 3 SD, sekarang sudah mulai ke usia yang lebih muda. Kelas 1 atau 2 SD sudah minus. Nah, ini perlu dicermati," kata Yeni.

"Karena kita tahu bahwa progresivitas miopi itu bergantung terhadap durasi. Kalau myopia-nya makin awal, maka dia masih punya waktu yang panjang untuk develop ke arah myopia yang tinggi atau high myopia," tambahnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

High Myopia Butuh Penanganan Serius

Lebih lanjut Yeni mengungkapkan bahwa high myopia sendiri membutuhkan penanganan yang serius, karena dapat menimbulkan banyak komplikasi. Dampak yang ditimbulkan dari high myopia bukan hanya terletak pada gangguan penglihatan.

"Komplikasinya banyak. Jadi bukan komplikasi gangguan penglihatan karena tidak pakai kacamata, tapi komplikasi yang disebabkan oleh high myopia itu ke saraf mata. Jadi saraf matanya lepas, kemudian bisa jadi faktor risiko glaukoma," ujar Yeni.

"Ini yang harus kita cegah. Kalaupun sudah myopia, kita harapkan myopia-nya tidak tinggi, dibawah minus empat saja. Jangan sampai empat lebih karena kalau empat lebih, maka komplikasinya juga akan meningkat."

Yeni mengungkapkan bahwa peningkatan mata minus pada anak memang bisa meningkat akibat sedentary lifestyle dengan menggunakan gadget.

"Belajar tadinya jarak melihat jauh, lebih dari enam meter ke papan tulis, sekarang mesti lihat gadget dari jarak dekat dan waktunya panjang sekali. Permainan pun mereka lakukan di gadget," kata Yeni.

3 dari 4 halaman

Pentingnya Paparan Sinar Matahari dan Olahraga

Terlebih, saat pandemi COVID-19 dan banyak aktivitas dilakukan di dalam rumah, paparan sinar matahari menjadi lebih sedikit. Padahal, melakukan aktivitas di luar rumah dengan adanya paparan sinar matahari punya andil untuk kesehatan mata.

"Paparan sinar matahari berkurang. Padahal kita tahu bahwa exercise di outdoor activities itu salah satu cara untuk mencegah kejadian mata minus. Jadi tentunya dengan pandemi, itu semua tidak bisa dilakukan selama dua tahun ini," ujar Yeni.

Mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup dan melakukan olahraga yang teratur dianggap dapat membantu melancarkan peredaran darah. Dari peredaran darah tersebut, mata bisa mendapatkan nutrisi yang cukup.

Sehingga selain dengan mengurangi paparan gadget, melakukan olahraga dan mendapatkan sinar matahari yang cukup dianggap mampu membantu mengurangi potensi mata minus dan memperburuk kondisi mata minus.

4 dari 4 halaman

Istirahatkan Mata dari Gadget

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum PERDAMI, M Sidik mengungkapkan bahwa kebiasaan melihat gadget selama berjam-jam memang akhirnya berdampak pada kesehatan mata.

"Anak seringkali berjam-jam lihat gadget dan seringkali dikaitkan dengan pendidikannya di sekolah. Kalau dulu lebih dibatasi karena ada jam sekolah, sekarang itu lebih tidak terbatas," ujar Sidik.

"Begitu juga dengan orang-orang di kantor, mereka mengeluh dulu lebih dibatasi oleh jam kantor. Sekarang di rumah pun dikejar, sekarang di rumah pun dikejar lihat terus komputer, dan itu rupanya berpengaruh."

Sehingga menurut Sidik, penting meluangkan waktu untuk mengistirahatkan mata dari gadget. Waktu yang dianjurkan olehnya adalah setiap dua jam sekali. Istirahat yang dilakukan juga harus benar-benar istirahat tanpa adanya paparan gadget.

"Dua jam stop, istirahat seperempat jam. Istirahat jangan melihat gadget juga, itu sama saja. (Jangan) istirahat dari laptop, komputer, kemudian beralih pada gadget lain. Istirahat itu melihat jauh, lebih dari enam meter, itu hal-hal yang bisa mencegah," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.