Sukses

Ancaman Ganda untuk Perokok Konvensional Juga Elektronik

Pengguna rokok elektronik dan konvensional memiliki ancaman kesehatan yang tak main-main

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Agus Dwi Susanto menjelaskan bahaya yang mengintai pengguna dua jenis rokok (dual user) yakni rokok elektronik dan konvensional.

Menurutnya, penelitian pada 2019 menunjukkan bahwa rokok elektronik meningkatkan risiko penyakit paru termasuk asma 30 persen lebih besar dibandingkan yang tidak pernah merokok baik rokok konvensional maupun elektronik.

“Bahkan risiko itu 2 kali lebih besar pada dual user, ya pakai rokok konvensional ya pakai rokok elektronik,” ujar Agus dalam konferensi pers Komnas Pengendalian Tembakau pada 12 Agustus 2022.

Rokok elektronik juga meningkatkan risiko penyakit paru (termasuk bronkitis kronik, emfisema dan PPOK) 30 persen lebih besar dibanding yang tidak pernah merokok sama sekali. Risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) pun lebih besar pada dua user.

Tak hanya di luar negeri, kasus kasus asma karena rokok elektronik juga ada di Indonesia. Bahkan, pekan lalu Agus menangani kasus serupa.

Menurutnya, pasien laki-laki usia 17 mengeluh sesak napas dan batuk-batuk selama 3 minggu. Ia tidak memiliki riwayat tuberkulosis (TB) maupun asma.

Namun, pasien adalah seorang pengguna vape selama 2 tahun lebih dan kurang dari 2 tahun ke belakang sudah menjadi dual user.

Hasil foto rontgen dada menunjukkan emfisematous dan pasien didiagnosis suspek asma. Pasien pun mendapat obat dan rawat jalan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sama-Sama Bahaya

Agus juga menjelaskan persamaan rokok konvensional dengan rokok elektronik. Menurutnya, kedua jenis rokok tersebut sama-sama mengandung nikotin, bahan karsinogen, dan bahan toksik lainnya.

“Yang berpotensi adiksi dan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan. Jadi tidak benar kalau rokok elektronik itu lebih aman karena mereka sama-sama ada tiga kandungan tersebut. Meski tidak mengandung tar, tapi rokok elektronik mengandung karsinogen.”

Satu hal menarik yang perlu diketahui kata Agus adalah, banyak komponen dari rokok elektronik yang tidak ada dalam rokok konvensional. Sebaliknya, banyak komponen dalam rokok konvensional yang tidak ada dalam rokok elektronik.

“Dua hal inilah yang menyebabkan sebenarnya dua-duanya menimbulkan dampak berbahaya.”

Rokok elektronik yang dianggap sebagian orang sebagai alternatif dari rokok konvensional ternyata memiliki kandungan yang tak kalah berbahaya seperti:

-Nikotin yang menyebabkan adiksi atau ketagihan

-Glycol, gliserol yang menyebabkan iritasi saluran napas dan paru

-Aldehyde, formaldehyde yang menyebabkan inflamasi paru

-Logam dan heavymetal yang menyebabkan inflamasi paru, jantung, sistemik, dan kerusakan sel serta kandungan bahaya lainnya.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Bukan Alat Berhenti Merokok

Agus juga menyampaikan bahwa rokok elektronik tak memenuhi kriteria sebagai alat berhenti merokok. Pasalnya, rokok elektronik malah menambah risiko timbulnya masalah kesehatan menjadi lebih besar.

Ada delapan prinsip suatu produk dapat dipakai untuk berhenti merokok. Di mana prinsip-prinsip ini tidak dapat dipenuhi oleh rokok elektronik.

Prinsi-prinsip tersebut yakni:

-Harus murni menghentikan kebiasaan merokok ketika produknya dipakai, pada kenyataannya, rokok elektronik malah membuat perokok konvensional menjadi dual user

“Di UI ada risetnya, 51 sampai 61 persen remaja-remaja kita menjadi dual user.”

-Harus bisa mengurangi gejala putus rokok, sedangkan rokok elektronik hanya dipakai untuk kenyamanan bukan mengurangi gejala

-Terbukti dapat membantu berhenti merokok

“WHO mengatakan rokok elektronik tidak membantu berhenti merokok.”

-Tidak menimbulkan risiko baru. Sedangkan, rokok elektronik menimbulkan masalah baru

-Mengurangi risiko penyakit terkait rokok, tapi rokok elektronik malah menambah risiko

-Harus disupervisi

“Jadi kalau mau produk dipakai untuk berhenti merokok maka harus disupervisi oleh tenaga medis. Sedangkan rokok elektronik digunakan tanpa supervisi untuk berhenti merokok.”

4 dari 4 halaman

Selanjutnya

Prinsip selanjutnya suatu produk bisa digunakan sebagai alat berhenti merokok yakni:

-Harus ada penurunan dosis, faktanya, pada rokok elektronik tidak ada penurunan dosis

-Jika sudah sudah berhenti dari rokok konvensional, maka penggunaan rokok elektroniknya pun perlu disetop. Namun, sebagian besar malah menggunakan rokok elektronik seterusnya walaupun rokok konvensionalnya sudah berhenti.

“Ini prinsip yang paling penting, jadi setop rokok elektronik apabila ingin setop rokok konvensional.”

Dalam kesempatan yang sama, Agus mengatakan bahwa pengendalian konsumsi rokok elektronik harus dalam revisi Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109/2012).

"Hal ini menjadi penting karena masifnya produk baru zat adiktif ini," kata Agus.

Pengendalian penggunaan rokok elektronik memang harus dibuat aturannya bila melihat peningkatan signifikan pengguna vaping di Indonesia. Bila pada 2011 ada 0,3 persen pengguna vaping lalu pada 2018 sudah menjadi 10,9 persen.

"Betapa tinggi pengguna rokok elektronik ini kan," tegasnya.

Lewat aturan pengendalian rokok elektronik dari pemerintah, maka diharapkan bisa mengurangi pengguna vaping.

"Jadi kita mau menunggu korban makin banyak atau mau mengatur akibat rokok elektronik menjadi lebih sedikit?"

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.