Sukses

Bersahabat dengan Protein Hewani Sejak Gadis, Cegah Anemia dan Anak Lahir Stunting

Protein hewani bantu wanita mencegah terjadinya anemia yang secara otomatis cegah anak lahir stunting

Liputan6.com, Jakarta - Di 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) adalah masa yang sangat penting guna mencegah stunting. Bila pada masa itu sudah terjadi gangguan, permasalahan gizi kronis yang bikin anak bodoh dan berperawakan pendek ini sulit dielak.

1.000 HPK dimulai sejak masa kehamilan hingga anak berumur dua tahun. Namun, banyak pakar yang juga menyarankan agar pencegahan dilakukan sebelum remaja putri menikah, yaitu dengan memastikan tidak anemia.

"Jadi, remaja putri di Indonesia yang anemia saat ini tinggi. Remaja putri yang anemia sekitar 50 persen dan ibu hamil yang anemia 49,8 persen. Itu tinggi banget," kata ahli gizi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Prof Dr drg Sandra Fikawati MPH.

Dampak dari anemia, yang salah satu penyebabnya karena kurang asupan protein hewani, akan dirasakan saat remaja putri menikah, hamil, melahirkan, hingga menyusui.

Menurut Fika, pertumbuhan janin dari perempuan yang anemia lebih mudah terganggu karena oksigen yang membawa makanan-makanan ke jabang bayi akan tersendat.

"Kemudian juga pada saat menyusui, ini tidak ada yang memerhatikan. Kadang-kadang orang beranggapan bahwa stunting dimulai di umur dua sampai lima tahun, padahal studi menunjukkan di usia enam bulan pun sudah mulai," kata Fika dalam acara temu media yang diselenggarakan JAPFA dalam rangka mengenalkan program Apresiasi Karya Jurnalistik JAPFA (AKJJ) di Jakarta pada Juni 2022.

Dijelaskan Fika, kalau di usia enam bulan saat menyusui bayi sudah kurus, akan sulit untuk menaikkan berat badannya.

Sehingga dengan memertahankan berat badan dan asupan gizi sehari-hari ibu, diharapkan bisa membantunya memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif yang berkualitas.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Cegah Stunting Dilakukan Sejak Muda Sebelum Nikah

Mencegah stunting sebelum menikah juga disarankan endokrinologi Prof Dr dr Jose Rizal Latief Batubara, SpA(K). Menurut pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kalau anemia (hemoglobin atau Hb) ibunya sudah delapan, akan sulit melahirkan seorang anak dengan Hb 10 sampai 12.

"Hb kurang satu saja bisa mengurangi IQ anak sekian, dan kemungkinan untuk bertumbuh dengan bagus akan sulit," kata Jose saat berbincang bersama Health Liputan6.com  di Jakarta Pusat belum lama ini.

Dilanjutkan Jose, pemberian ASI eksklusif pun tidak akan banyak membantu kalau ibu yang anemia tidak minum vitamin, minum susu, atau makan ikan laut yang mengandung vitamin D.

"Nah, kalau vitamin D ibu saja kurang, mana mungkin bisa memberikan vitamin D kepada bayinya," katanya.

"Vitamin D itu penting lho untuk menyerap kalsium yang akan berpengaruh ke tulang anak. Kalau ibu kurang vitamin D, anak kurang vitamin D, bagaimana bisa tubuhnya menyerap kalsium, jadi anaknya enggak bisa tumbuh dengan optimal," ujarnya.

Oleh sebab itu, Kaum Hawa harus memersiapkan diri dengan baik dan memastikan hemoglobin-nya bagus kalau memang merencanakan untuk hamil. Mengonsumsi nutrisi yang seimbang dan tepat harus sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari. 

"Kalau dimulainya sudah bagus dan di-follow up (berat badan tidak naik dan tidak turun dan Hb normal) secara bagus pula, ke depannya akan bagus pula untuk si anak," kata Jose.

Di kesempatan yang sama, Ketua Umum IDAI periode 2021-2024, dr Piprim Basarah Yunarso SpA(K), mengatakan, agar gizi seorang remaja putri bagus, lagi-lagi yang harus diperhatikan betul adalah asupan protein hewaninya.

Dijelaskan Piprim, protein hewani yang dikonsumsi pun tidak harus yang mahal seperti daging merah. Hati ayam, ikan laut, dan telur saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan asupan gizi sehari-hari guna mencegahnya dari kekurangan kadar hemoglobin di dalam darah.

"Hati ayam itu zat besinya sangat tinggi. Daging merah mahal, saya enggak berani (menyarankan), tapi kalau hati ayam, satu itu harganya Rp2.500 di pasar. Di tukang bubur, sate hati ayam harganya murah," kata Piprim kepada Health Liputan6.com.

 

 

3 dari 4 halaman

Fokus ke Protein Hewani Agar ASI Lancar

Piprim menyebut protein hewani sebagai realfood revolution. Dan, dia bilang bahwa edukasi masalah realfood revolution ini tidak hanya berfokus pada bayi merah saja, tapi calon ibu pun harus dipastikan bagus asupan proteinnya.

Tak hanya itu, Piprim juga menjuluki hati ayam sebagai makanan terbaik dan makanan yang sering dianggap remeh (underestimated food), padahal segala macam sumber gizi ada di sana.

"Yang ada di wortel, ada juga di hati ayam. Hati ayam itu zat besinya banyak di situ. Segala sesuatu yang ada di protein hewani lainnya, ada di hati ayam," katanya.

Piprim pun menyayangkan jika perempuan enggan mengonsumsi hati ayam dan sumber protein hewani lainnya dengan alasan takut berat badannya naik.

"Ingat saja bahwa segala persiapan harus dimulai sebelum menikah, hamil, dan menyusui. Kadang-kadang ibu takut, enggak mau makan, biar badannya cepat kurus habis melahirkan, tapi lihat anaknya," kata Piprim.

Dia mengaku cukup sering bertanya kepada calon ibu yang akan segera melahirkan, apakah berniat memberikan ASI eksklusif atau tidak. 

Bila jawabannya iya, Piprim akan memberitahu agar ibu tidak panik saat air susu tidak juga keluar di hari ke-1 dan ke-2 setelah melahirkan. Jangan buru-buru memberi si Kecil sufor. 

"Sebetulnya, biarin saja bayi itu enggak dikasih minum, karena enggak bakal kekurangan gizi," kata Piprim yang kemudian menjelaskan bahwa bayi punya cadangan energi dari lemak cokelatnya. 

Pada saat dua hari pertama nyedotnya kuat, lanjut Piprim di situlah produksi ASI akan mulai banyak di hari ke-3 dan hari ke-4. 

"Nasihat saya ada dua hal, pertama harus minum yang banyak tiga liter minimal. Kedua, makan protein hewani yang banyak. Gadoin ikan, gadoin ayam, gadoin telur, biar ASI-nya berkualitas," katanya. 

"Baru setelah itu sayur. Jangan kebalik. Jangan yang difokuskan pertama ke daun katuk agar ASI-nya begini, begitu. Justru yang harus difokuskan adalah pemberian protein hewani," ujar Piprim.

 

4 dari 4 halaman

Tidak Ada yang Bisa Gantikan Peran Protein untuk Regenerasi Sel Tubuh

Fika sebelumnya juga mengingatkan bahwa tidak ada zat gizi lain yang dapat menggantikan peran protein dalam membantu pertumbuhan serta proses regenerasi sel tubuh.

Sayangnya, lanjut dia, tidak banyak masyarakat yang memahami bahwa pemilihan jenis protein dalam konsumsi harian sangat penting.

Yang mengenaskan, asupan protein hewani pada anak usia tujuh sampai dengan 35 bulan di Indonesia masih sangat rendah.

FIka, mengatakan, berdasarkan data Survei Konsumsi Makanan Individu 2014, jumlah protein hewani berupa susu dan olahan yang dikonsumsi oleh anak berusia tujuh dengan 11 bulan, hanya 1,9 persen.

Sedangkan untuk makanan seperti telur dan olahannya, hanya menyentuh 0,1 persen.

Masih dari data yang dipaparkan Fika, diketahui bahwa anak-anak usia tersebut lebih banyak mendapatkan asupan gizi dari sumber lain seperti serelia (95,8 persen), umbi-umbian 0,6 persen, kacang-kacangan (0,9 persen), serta buah dan olahan (0,6 persen).

Sementara pada anak umur tiga bulan, jumlah asupan protein hewani yang diterima melalui daging dan olahan hanya 0,1 persen, dan yang berasal dari susu serta olahan hanya 0,9 persen.

Menurut Fika, kita sudah tahu kondisi seperti itu sejak 2014, tapi tidak ada program untuk memberikan makanan protein hewani kepada anak-anak.

"Seharusnya kita terketuk. Lihatlah situasi ini, di usia satu sampai tiga tahun justru lebih jelek lagi," katanya.

Lebih lanjut Fika, menjelaskan, pada usia nol s.d enam bulan, data memerlihatkan bahwa sebesar 70 persen asupan protein yang diterima bayi berasal dari ASI eksklusif yang diberikan ibu saat menyusui.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.