Sukses

HEADLINE: Perjalanan Domestik Tak Perlu Tes COVID-19 Lagi, Dampak Positif dan Negatifnya?

Pelaku perjalanan dalam negeri (PPDN) yang telah mendapatkan vaksinasi dosis kedua atau vaksinasi dosis ketiga (booster) tidak diwajibkan menunjukan hasil negatif tes RT-PCR atau rapid test antigen COVID-19.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah pada Senin siang, 7 Maret 2022 mengumumkan bahwa akan menghapus syarat tes COVID-19 --- baik antigen maupun PCR --- bagi calon pelaku perjalanan dalam negeri (PPDN) atau domestik. Entah itu moda transportasi udara, laut, atau darat, tidak perlu lagi menunjukkan hasil tes COVID negatif. Namun, ada syaratnya.

Dijelaskan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, privilege itu hanya berlaku bagi PPDN yang sudah vaksinasi COVID-19 lengkap.

"Yang sudah melakukan vaksinasi dosis kedua atau lengkap sudah tidak perlu menunjukkan bukti tes antigen maupun PCR negatif," kata Luhut saat Konferensi Pers Hasil Ratas Evaluasi PPKM.

Lebih lanjut Luhut mengatakan, tujuan dihapusnya syarat tes COVID bagi yang akan bepergian di sekitaran Indonesia dalam rangka transisi menuju aktivitas normal.

Kurang dari 24 jam atau Selasa, 8 Maret 2022, Satuan Tugas Penanganan COVID-19 akhirnya mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang secara resmi tidak lagi mewajibkan menunjukkan hasil tes negatif dari Virus Corona ketika akan bepergian.

Hal ini tercantum dalam SE Nomor 11 Tahun 2022 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang ditandatangani Ketua Satgas Penanganan COVID-19, Letjen TNI Suharyanto SSos, MM.

"PPDN yang telah mendapatkan vaksinasi dosis kedua atau vaksinasi dosis ketiga (booster) tidak diwajibkan menunjukan hasil negatif tes RT-PCR atau rapid test antigen," mengutip SE yang berlaku mulai Selasa, 8 Maret 2022.

Sekali lagi ditekankan bahwa hak istimewa hanya untuk kelompok yang sudah memeroleh vaksin Corona sebanyak dua kali. Bagi yang baru satu kali atau bahkan belum sama sekali, tentu ada kewajiban yang harus dipenuhi.

Di dalam SE disebutkan bahwa calon PPDN yang baru mendapat vaksin dosis ke-1, wajib melakukan swab test PCR dengan hasil yang tentu saja harus negatif.

"Sampelnya diambil dalam kurun waktu 3x24 jam," kata Suharyanto.

Merasa tes usap PCR terlalu mahal, Anda dapat melakukan tes antigen dengan hasil negatif COVID-19 yang sampelnya diambil dalam kurun waktu 1x24 jam sebelum keberangkatan.

Aturan yang kurang lebih sama berlaku bagi PPDN yang belum melaksanakan vaksinasi karena alasan kesehatan. Pasien dengan komorbid, misalnya. Pasien dengan komorbid, kata Suharyanto, diwajibkan melakukan tes COVID berupa PCR atau antigen dengan hasil negatif.

Tidak hanya itu, penyandang komorbid wajib juga melampirkan surat keterangan dokter dari rumah sakit pemerintah yang menyatakan bahwa yang bersangkutan belum dan/atau tidak dapat mengikuti vaksinasi COVID-19.

 

Simak Video Menarik Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Publik Terpecah Atas Kebijakan Terbaru Pemerintah

Keputusan pemerintah meniadakan kewajiban tes COVID sebelum bepergian membuat publik terbelah dua. Ada yang setuju dan ada pula yang merasa pemerintah terlalu tergesa-gesa.

Bella, 27 tahun, warga Surabaya yang berprofesi sebagai guru menyebut dirinya 'tim' yang manut pada aturan pemerintah. Dia menyadari bahwa setiap kebijakan tidak akan selalu berbuah yang positif, pasti ada juga negatifnya.

"Positifnya, yang sakit tetap bisa pulang. Negatifnya, mungkin bisa menyebar Virus Corona-nya," kata Bella saat berbincang dengan Health Liputan6.com melalui aplikasi pesan singkat.

Akan tetapi, lanjut Bella, selama protokol kesehatan (prokes) seperti pakai masker tidak kendur dan dengan penuh kesadaran untuk vaksinasi COVID-19 ke-1, ke-2, dan booster, atas izin Yang Maha Kuasa tidak akan terjadi apa-apa.

"Aku dua kali ketemu orang terpapar (sebelum akhirnya tahu). Alhamdulillah enggak papa karena aku pakai masker," katanya.

"Yang seram itu kalau ngentengin. Enggak vaksin, enggak maskeran, terus kementus (sok pintar, sok paham, sok benar)," pungkas Bella.

Hal yang kurang lebih sama dilontarkan Sasha, 40 tahun, yang setuju atas kebijakan meniadakan tes COVID-19 saat hendak bepergiaan. 

Menurut Sasha, pandemi saat ini sudah dalam tahap 'Ayo cari selamat sendiri'.

Artinya, kata Sasha, kita melawan Virus Corona dari diri sendiri saja dengan tetap memakai masker, tetap menjaga jarak bila memungkinkan, menjaga sistem imunitas tubuh, dan menghindari atau sadar untuk isolasi mandiri (isoman) bila kontak erat. 

"Mending uang tes yang tidak murah itu untuk meningkatkan imunitas saja. Tes hanya bila diperlukan setelah kontak erat, ada gejala, dan lain-lain," kata dia. 

Sedangkan Chichi Utami, 36 tahun, mengaku bingung harus pro atau kontra atas kebijakan yang dibuat pemerintah. Dirinya biasa saja saat mengetahui syarat tes COVID-19 harus negatif dihapus.

Chichi mengaku lelah dengan segala kebijakan di negara ini. Sebab, tidak jarang kebijakan yang sudah dibuat dapat berubah tak kurang dari 24 jam. 

"Aku, tuh, dibilang senang, ya, enggak tapi sebal juga engak. Kalau gara-gara itu kasus tinggi lagi, paling berubah lagi," ujarnya.

"Kan habis ini berbondong-bondong mau ke mana-mana, (amit-amit) kasus lalu naik lagi, pasti karena kasus naik diberlakukan lagi PCR. Pasti begitu-begitu saja (kebijakannya)," Chichi menambahkan.

Saat mengumumkan kebijakan baru ini, Luhut Binsar Pandjaitan bilang segala kebijakan yang pemerintah buat atas dasar masukan dari para pakar dan ahli di bidangnya.

Menurutnya, peta jalan atau road map transisi COVID-19 yang dibuat juga tetap diberlakukan dengan prinsip kehati-hatian dan tetap menjunjung tinggi tahapan.

"Seperti yang sering kami sampaikan, yakni (kebijakan transisi) bertahap, bertingkat, dan berlanjut untuk memitigasi hal-hal yang tidak diinginkan. Perlu kami tegaskan bahwa semua kebijakan dalam proses transisi yang akan kita lalui bersama-sama ini bukan dilakukan secara terburu-buru," kata dia.

"Kita sudah harus siap untuk menuju proses transisi secara bertahap dengan menerapkan kebijakan berbasiskan data-data yang ada. Semua upaya yang ada perlu didukung keterlibatan masyarakat yang baik," Luhut menambahkan.

Tidak lupa, pemerintah akan terus melakukan edukasi kepada masyarakat

"Ya, agar 'hidup berdampingan bersama COVID-19' nantinya bukan hanya slogan saja," ujarnya.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Abraham Wirotomo juga menapik bahwa penghapusan syarat tes COVID-19 bagi pelaku perjalanan domestik guna menyegerakan penetapan status pandemi COVID-19 menjadi endemi.

Menurut Abraham, relaksasi testing diberlakukan lantaran situasi pandemi saat ini makin terkendali.

Dia menyebut bahwa data-data kasus, keterisian rumah sakit, dan angka reproduksi efektif COVID-19 menunjukkan bahwa pandemi makin berhasil dikendalikan dengan baik.

"Ini menjadi landasan mengapa level PPKM di beberapa daerah diturunkan dan termasuk relaksasi testing untuk pelaku perjalanan," kata Abraham dikutip dari keterangan resmi yang diterima Liputan6.com hari ini.

Dia juga menepis pendapat jika penghapusan tes antigen dan PCR untuk PPDN menunjukkan pemerintah longgar soal testing COVID-19. Abraham menyebut pemerintah saat ini justru makin spesifik dalam melakukan tes.

Misalnya, lanjut Abraham, dengan menggunakan pendekatan surveillance aktif. Baik secara aktif melakukan penemuan kasus atau Active Case Finding (ACF) maupun testing epidemiologi.

"Sederhananya surveillance aktif itu, dari pemerintah yang aktif ngejar target dengan menyasar area-area tertentu. Seperti ACF di sekolah, secara acak tes akan dilakukan pada siswa dan guru untuk deteksi dini apakah ada kluster atau tidak. Lalu yang namanya testing kontak erat juga masih diteruskan," katanya.

Menurut dia, pemerintah juga semakin melihat data bahwa varian Omicron lebih ringan dibanding Delta. Untuk itu, angka keterisian RS dan kematian menjadi lebih diperhatikan dibanding angka kasus.

 

3 dari 5 halaman

Epidemiolog Berbeda Pendapat

Sementara dua pendapat berbeda disampaikan Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman dan Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono.

Pandu mengaku sepakat atau dengan kata lain mendukung kebijakan pemerintah meniadakan tes COVID-19 bagi PPDN.

Dia mengaku optimistis jika pelonggaran kebijakan dari pemerintah tidak akan memicu ledakan kasus COVID-19 di Indonesia di hari-hari mendatang.

Pandu, mengatakan, langkah yang diambil pemerintah sudah tepat. Dari kacamata Pandu, tidak ada urgensinya lagi mewajibkan tes COVID-19 bagi masyarakat yang ingin bepergian.

Apalagi sampai harus menunggu nol kasus COVID-19 di Indonesia.

"Lihat persyaratan hanya pada yang sudah vaksinasi lengkap. Bulan depan akan ditingkatkan persyaratan, yaitu yang sudah di-booster yang bebas tes," kata Pandu kepada News Liputan6.com melalui sambungan telepon.

Kendati masih ditemukan kasus penularan, Pandu yakin dengan kebijakan ini ke depan COVID-19 tetap akan terkendali.

Ada sejumlah pertimbangan yang membuat Pandu begitu percaya Virus Corona di Indonesia terkendali. Pertama yang terpenting adalah imunitas masyarakat Indonesia sudah tinggi untuk bisa menangkal virus penyebab COVID-19.

"Imunitas penduduk Indonesia sudah tinggi, vaksinasi terus jadi persyaratan wajib," pungkas Pandu.

Sedangkan kata Dicky, baik PCR maupun antigen masih sangat penting dilakukan mengingat situasi COVID-19 di Indonesia belum selesai.

Dia bahkan mengumpamakan tes sebagai mata guna mengetahui pergerakan virus. Tanpa tes yang memadai, jelas Dicky, kita tidak dapat melihat di mana virus atau ke mana arahnya.

Memang saat ini situasi COVID-19 di Indonesia sudah membaik. Akan tetapi masa kritis belum terlewati.

Oleh sebab itu, pelonggaran perlu dilakukan secara bertahap. Tidak dalam waktu yang mendadak, terburu-buru, dan tidak langsung berskala besar.

Menurut Dicky, pelonggaran seperti meniadakan tes COVID bagi pelaku perjalanan domestik dapat dilakukan mulai dari daerah-daerah yang sistem kesehatannya sudah kuat, serta masyarakatnya sudah menerapkan prokes dengan baik.

"Strategi komunikasi risiko kita juga harus terus dijaga jangan sampai ada anggapan masyarakat bahwa pandemi sudah selesai dan bebas. Bisa terjadi perburukan situasi karena yang meninggal akan banyak," kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Selasa, 8 Maret 2022.

Data harian akibat COVID-19 pada Selasa, 8 Maret 2022, menunjukan sebanyak 401 orang meninggal dunia. 

"Dan, ingat, yang namanya COVID-19 ini ketika melandai bukan berarti virus hilang, virus masih ada apalagi dengan kapasitas testing dan tracing yang terbatas, ini yang berbahaya," dia melanjutkan.

Dicky lalu menambahkan bahwa COVID-19 masih menjadi ancaman di Indonesia lantaran fakta menunjukkan bahwa tren angka kematian masih meningkat.

“Masih di atas satu persen. Kemudian test positivity rate di 30 provinsi masih di atas lima persen ditambah kapasitas testing dan tracing kita belum memadai, ini yang harus disadari sehingga tidak membuat kita abai atau overconfidence,” katanya.

Di sisi lain, COVID-19 tidak hanya bisa memberikan dampak jangka pendek tapi juga jangka panjang dengan adanya long COVID.

Dengan long COVID, penyintas dapat mengidap penyakit kardiovaskuler, penurunan fungsi otak, dan penyakit serius lainnya satu atau beberapa tahun kemudian.

“Prinsipnya, mencegah lebih baik daripada terjadi infeksi. Semua aspek pencegahan itu harus diperkuat,” katanya.

Menanggapi keputusan ini, Kementerian Kesehatan RI tidak menampik adanya risiko kenaikan kasus COVID-19.

Walau begitu, Juru Bicara Kemenkes RI, dr Siti Nadia Tarmizi meyakini bahwa pemerintah akan melakukan upaya mitigasi.

"Upaya-upaya memitigasinya dengan kembali menguatkan protokol kesehatan dan tentunya kita berupaya terus mengatasinya. Sehingga tidak menjadi beban layanan kesehatan," kata Nadia menjawab pertanyaan Health Liputan6.com saat konferensi pers Update Perkembangan COVID-19 di Indonesia, Selasa sore.

Senada dengan Pandu, Nadia pun menyebut rasa-rasanya tidak mungkin me-nol-kan kasus COVID-19. Bagaimana juga pada akhirnya semua orang dari seluruh dunia akan hidup berdampingan dengan COVID-19.

Sehingga, kata dia, terpenting adalah ketika terjadi peningkatan kasus, pemerintah bisa mengatasinya dan tidak membebani fasilitas pelayanan kesehatan.

 

4 dari 5 halaman

Penghapusan Syarat Tes COVID-19 Harus Diimbangi dengan Vaksinasi

Harus vaksinasi dua kali menjadi syarat yang harus dipenuhi calon pelaku perjalanan dalam negeri agar tidak perlu lagi tes COVID-19 sebelum bepergian.

Dengan adanya syarat seperti itu, Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo, mengatakan, sudah sepatutnya pemerintah lebih kuat lagi dalam menggenjot program vaksinasi COVID-19 guna mencapai kekebalan komunal atau herd immunity.

Sehingga, kata Rahmad, kasus COVID di Indonesia terkendali.

"Vaksinasi kita meski secara nasional sudah cukup baik, tapi secara data statistika masih perlu digenjot lagi, masih ada sekitar 70 persen tahap kedua," kata dia.

"Ini yang harus kita gelorakan, yang harus kita semangatkan lagi untuk kepala daerah berinisiasi menjemput bola agar target vaksin lengkap tahap kedua mendekati vaksin yang (dosis) pertama," Rahmad menambahkan.

Nadia juga menekankan bahwa vaksinasi tetap memegang peran utama menekan laju penularan kasus COVID-19. Sehingga masyarakat diharapkan untuk segera vaksinasi.

"Yang paling penting adalah vaksinasi. Karena vaksinasi akan memegang kunci untuk mengendalikan laju penularan," Nadia menerangkan.

Berbicara mengenai vaksinasi, Dicky, mengatakan, yang diperlukan untuk mengakhiri pandemi COVID-19 adalah pemahaman realistis tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh vaksin.

Dunia memang sudah memiliki vaksin. Akan tetapi tidak berarti kita berhenti dalam upaya untuk melihat di mana virus itu berada.

"Sehingga kita dapat beradaptasi dengan cepat jika varian atau gelombang baru merebak," ujarnya.

Strategi tes di era cakupan vaksinasi yang semakin membaik akan lebih bersifat target oriented (surveilans). Tes juga harus dapat diakses dengan cepat, mudah, dan murah.

"Karena tes mewakili informasi yang dapat diakses secara real time tentang virus di dalam dan di sekitar kita,” katanya.

Dicky juga menyarankan untuk diadakan uji publik terlebih dahulu jika hendak dilakukan perubahan strategi tes.

"Ketika kita ubah strategi tes ini dalam aspek kesehatan masyarakat, sebaiknya ada uji publik dulu untuk melihat potensinya. Setidaknya di satu lokasi selama satu minggu supaya memiliki dasar data yang kuat, dalam konteks Indonesia," katanya.

Kombinasi vaksin dan tes akan menurunkan transmisi komunitas ke titik di mana virus dapat dikendalikan secara efektif.

Tanpa melakukannya dengan tepat, yang dapat terjadi adalah lebih banyak rawat inap dan kematian, dan terus memperpanjang atau memperburuk pandemi.

 

5 dari 5 halaman

Tes COVID Boleh Dihapus tapi Prokes Tetap Tak Boleh Kendur

Anggota Komisi IX DPR RI, Muchamad Nabil Haroen, menyambut baik keputusan pemerintah menghapus syarat wajib PCR atau antigen bagi pelaku perjalanan domestik yang telah menerima vaksin.

Menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) penghapusan syarat tersebut akan sangat membantu sektor perhubungan dan wisata Tanah Air. Nabil optimistis industri transportasi dan pariwisata akan lebih hidup dengan penghapusan syarat PCR atau antigen tersebut. 

"Pencabutan tes PCR dan antigen untuk perjalanan dalam negeri, saya mengapresiasi langkah ini karena membantu meringankan beban warga serta menggairahkan industri transportasi dan pariwisata," kata Nabil saat dikonfirmasi pada Selasa.

Meski demikian, Nabil mengingatkan agar pemerintah tetap terus mengingatkan penerapan protokol kesehatan pada masyarakat. Terutama saat berada di tempat umum atau transportasi umum.

"Namun, warga juga harus tetap menjaga protokol kesehatan dan tentu memakai masker dalam ruangan, atau dalam kendaraan umum," katanya.

Hal yang sama disampaikan Dicky yang sepakat bahwa memang betul harus ada pemulihan, tapi di sisi lain harus ada aspek yang memerkuat untuk mengecilkan risiko penularan Virus Corona.

Jika aturan perjalanan domestik tanpa tes memang perlu diterapkan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan di antaranya:

- Peningkatan deteksi dini di komunitas.

- Peningkatan surveilans.

- Penguatan literasi.

- Penguatan di aspek moda transportasi contohnya pengaturan ventilasi di kereta.

"Misalnya, boleh tanpa tes untuk naik kereta tertentu tapi maskernya harus HN95 untuk mengurangi risiko," ujar Dicky.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.