Sukses

Waspadai COVID-Somnia, Gangguan Mental yang Mengintai Penyintas COVID-19

Merebaknya varian Omicron yang penyebarannya dinilai lebih cepat, yakni post-covid syndrome dapat menyerang tak hanya fisik, tetapi juga mental.

Liputan6.com, Jakarta Merebaknya varian Omicron yang penyebarannya dinilai lebih cepat, yakni post-covid syndrome dapat menyerang tak hanya fisik, tetapi juga mental.

Seperti disampaikan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RS Pondok Indah dr. Leonardi A. Goenawan, Sp.KJ bahwa dalam sebuah studi observasional terhadap lebih dari 230.000 rekam medis pasien yang dimuat dalam jurnal The Lancet Psychiatry (April 2021) menyatakan bahwa satu dari tiga orang penyintas COVID-19 akan mengalami gangguan saraf atau gangguan psikiatri dalam kurun waktu enam bulan setelah terinfeksi virus COVID-19.

"Gangguan psikiatri yang paling umum ditemukan menurut studi tersebut adalah insomnia dan gangguan kecemasan. Sebanyak 13 persen dari pasien COVID-19 terdiagnosis mengalami keluhan ini," katanya.

Diagnosis tersebut menjadi diagnosis pertama kali, artinya mereka tidak pernah memiliki riwayat gangguan tersebut sebelumnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

COVID-somnia

Istilah “COVID-somnia” atau “Corona-somnia” mulai dikenal sekitar musim panas 2020 untuk menggambarkan dampak pandemi global terhadap pola tidur seseorang.

Data yang diperoleh dari hampir seluruh belahan dunia memperlihatkan adanya jumlah besar populasi yang mengalami kesulitan tidur. Pada 2020, British Sleep Society melaporkan bahwa kurang dari separuh penduduk Inggris mendapatkan tidur yang menyegarkan.

Sementara di Amerika Serikat, masalah kurang tidur sudah dianggap sebagai epidemi oleh CDC (Centers for Disease Control). Sejak berlangsungnya pandemi, kasus insomnia semakin meningkat hingga mencapai 40 persen.

Gangguan tidur selama pandemi COVID-19 ini disebut sebagai “tandemic” (epidemi yang disebabkan oleh, diperburuk oleh, dan berjalan beriringan dengan pandemi) oleh Dr. Abinav Singh, seorang direktur medis The Indiana Sleep Center.

Pandemi COVID-19 telah mengubah hampir semua aspek kehidupan sehari-hari. Anak-anak dan orangtua menyesuaikan diri dengan sekolah jarak jauh. Jutaan pekerja beralih pada pekerjaan jarak jauh,dirumahkan, atau kehilangan pekerjaan sama sekali. Banyak orang yang mengalami penyakit dankehilangan anggota keluarganya karena COVID-19.

Belum lagi adanya ketidakpastian sosial ekonomi yang berkesinambungan. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila seseorang mengalami kesulitan tidur, dengan begitu banyak beban dan kecemasan yang datang secara simultan.

 

3 dari 3 halaman

Tiga hal yang dianggap sebagai penyebab gangguan tidur:

1. Meningkatnya stres

Stres emosional akibat pandemi dapat mengubah arsitektur tidur, memperpendek durasi gelombang lambat yang bersifat restoratif, meningkatkan REM (rapid eye movement), dan cenderung membuat seseorang lebih sering terbangun di malam hari.

Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa kondisi ini dapat tetap terjadi selama dua tahun setelah seseorang mengalamitekanan emosional yang berat seperti pada pandemi ini.

"Stres juga akan meningkatkan kadarkortisol, suatu hormon yang bekerja berlawanan dengan melatonin – hormon yang bertanggung jawab untuk kualitas tidur. Selama hormon kortisol kita tetap dalam konsentrasi yang tinggi, maka produksi melatonin akan terganggu, sehingga kualitas tidur juga akan terganggu," jelas dr Leonardi.

"Terjebak di rumah karena menjalankan “lockdown” juga memberikan tekanan tersendiri. Tidak bisa keluar rumah selama berhari-hari, melakukan segalanya dari rumah-–bersama seluruh anggota keluarga yang juga sedang berusaha menyesuaikan diri untuk belajar/bekerja secara daring, kurangnya paparan sinar matahari, selain menimbulkan stres, juga akan mengganggu irama sirkadian (proses alami yang mengatur siklus tidur-bangun setiap harinya)."

2. Hilangnya rutinitas harian

Protokol untuk “menjaga jarak”, mengubah banyak aspek dalam menjalankan kesenangan pribadi hingga kehidupan sosial, kata dr Leonardi.

"Hilangnya berbagai aktivitas ini akan menimbulkan perasaan terisolasi dan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental," ujarnya.

Sementara berbagai aktivitas yang normal memiliki kontribusi yang besar untuk menjaga kestabilan irama sirkadian, karena berfungsisebagai penanda waktu.

Sejak pandemi, seluruh aktivitas ini menjadi sangat minimal bahkan hilang. Ketiadaan aktivitas rutin tersebut cenderung membuat tidur lebih larut dan bangun lebih siang. Di samping kualitas tidur menjadi buruk, gangguan pada irama sirkadian tersebut juga akanb erdampak pada fungsi biologis lainnya, termasuk pencernaan, respons imunitas, dan lainnya.

3. Peningkatan konsumsi informasi

Terlalu banyak mengonsumsi informasi akan secara bermakna meningkatkan tekanan mentald alam bentuk kecemasan dan ketakutan. Belum lagi berhadapan dengan disinformasi dan hoaks.

"Durasi kita berada di depan monitor (screen time), dikaitkan dengan menurunnya kualitas tidur, terutama apabila dilakukan pada malam hari. Sinar biru dari monitor akan merangsang tubuh kita untuk mempertahankan kadar kortisol tetap tinggi dan menekan produksi melatonin," katanya.

"Tidur adalah bagian paling sentral dalam kehidupan kita untuk memastikan seluruh fungsi tubuh dapat melakukan tugasnya dengan baik melalui keteraturan iramasirkadian yang akan menjaga tubuh kita tetap sehat, produktif, dan sejahtera," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.