Sukses

HEADLINE: Waspada COVID-19 Varian Lambda Terdeteksi di 29 Negara, Seberapa Bahaya?

Varian Lambda masuk dalam jajaran variants of interest WHO. Pertama kali diidentifikasi di Peru, lalu menyebar ke banyak negara. Seberapa mengerikan varian ini?

Liputan6.com, Jakarta Belum selesai kita menghadapi serangan varian Delta virus penyebab COVID-19 yang dianggap cepat menular, kini muncul jenis mutasi lain. Kehadiran varian Lambda jelas meningkatkan kekhawatiran.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memasukkan varian Lambda sebagai salah satu varian SARS-CoV-2 atau virus Corona penyebab COVID-19. WHO mengkategorikannya ke dalam variants of interest (VOI) pada 14 Juni 2021.

Secara keseluruhan sudah ada 7 variants of interest (VOI) COVID-19 yang dilaporkan WHO. Selain Lambda, varian yang masuk kategori VOI lainnya adalah Epsilon, Zeta, Eta, Theta, Iota, dan Kappa.

Virus Corona varian Lambda memiliki nama ilmiah C.37. Pertama kali varian ini diidentifikasi di Peru pada Desember 2020. Dan, sejak itu telah dilaporkan di 29 negara di Amerika Selatan, Eropa, dan Australia.

Menurut WHO juga, 81 persen kasus COVID-19 di Peru yang diurutkan sejak April 2021 telah dikaitkan dengan Lambda. Sementara di Chili, varian Lambda menyumbang sekitar sepertiga dari kasus berurutan yang dilaporkan dalam 60 hari terakhir.

Variants of Interest 

WHO mengkategorikan varian Lambda ke dalam VOI. Artinya, mutasi tersebut diyakini memengaruhi penularan dan tingkat keparahan penyakit. Serta menyebabkan penularan komunitas yang signifikan atau beberapa klaster COVID-19 di banyak negara. Perkembangannya menjadi risiko yang muncul untuk kesehatan masyarakat di seluruh dunia.

Meski begitu, para ilmuwan tidak dapat mengatakan bahwa varian ini lebih menular dari Delta meskipun Lambda meningkat di Peru.

"Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan itu lebih agresif daripada varian lain. (Lambda) Mungkin saja memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi, tetapi dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk memastikannya," lapor penasihat Organisasi Kesehatan Pan-Amerika (PAHO) Jairo Méndez Rico mengutip Health.

WHO menyebutkan, garis keturunan Lambda memiliki mutasi yang dapat mungkin bisa meningkatkan penularan atau memperkuat ketahanan virus terhadap antibodi.

Namun, bukti mengenai dua hal tersebut masih sangat terbatas. Sehingga diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami varian Lambda dengan lebih baik seperti disampaikan WHO.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

Varian Lambda Dikhawatirkan Naik ke Variants of Concern

Ketua Pokja Genetik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, Gunadi mengatakakan ada kekhawatiran bahwa varian ini bisa menjadi variant of concern (VOC) dari WHO.

"Yang mungkin sekarang lagi dibicarakan ini varian Lambda. Varian ini dikhawatirkan bisa naik statusnya menjadi variant of concern," jelas Gunadi saat dialog virtual, Rabu (7/7/2021).

Naik atau tidaknya status menjadi VOC atau tidak, Gunadi menegaskan, harus menunggu keputusan WHO.

"Kita harus menunggu dulu dari WHO, apakah nanti varian Lambda meningkat statusnya, dari variant of interest menjadi variant of concern," tegasnya.

Gunadi juga menyebut, variant of interest (VOI) yang sudah masuk daftar WHO, antara lain, Epsilon, Eta, Iota, Kappa, Lambda, dan Zetta. Adapun VOC yang masuk WHO, yakni Alpha, Beta, Gamma, Delta.

"Sampai sekarang yang terdeteksi di Indonesia itu Alpha, Beta, dan Delta. Gamma belum terdeteksi di Indonesia," ujarnya.

Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof Amin Soebandrio, menegaskan bahwa hingga saat ini virus Corona varian Lambda belum terdeteksi di Indonesia.

"Saya tidak bilang bahwa itu tidak ada, tapi belum terdeteksi. Dengan pendekatan yang kita lakukan saat ini, saya menyatakan bahwa belum terdeteksi adanya varian Lambda di Indonesia," kata Amin saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Rabu, 6 Juli 2021.

Menurut Amin, Eijkman baru bisa melaporkan atau menyatakan adanya suatu varian atau mutasi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 setelah dilakukannya sequencing.

"Sama halnya kayak waktu kasus COVID-19 pertama kali di Maret 2020 juga begitu. Walaupun kita sudah memprediksi ada di Indonesia, tapi secara bukti kita belum mendapatkannya. Sekarang juga begitu," kata Amin.

"Di dalam data WHO, varian Lambda masuk VOI, bukan VOC. Dan, dari sekian banyak atau dari 2.600 sekian virus yang dideteksi di Indonesia, yang Lambda belum terdeteksi," Amin melanjutkan.

Meski begitu, Amin menekankan bahwa Eijkman terus memantau hal tersebut.

Amin, menjelaskan, di lapangan atau di luar itu sama sekali tidak bisa membedakan apakah seseorang yang terkonfirmasi COVID-19 pasti karena varian Alpha, Beta, Delta, atau Lambda sekali pun. Termasuk varian lokal, sama sekali tidak bisa dibedakan. Baik dari penyebaran maupun gejala penyakitnya.

"Jadi, begini, orang yang saat ini terkena COVID-19 belum tentu disebabkan varian tertentu. Bahkan, varian Delta yang katanya lebih berat, lebih cepat menular, tapi kenyataannya tidak semuanya karena varian Delta," katanya.

"Sebab, ada varian-varian lain yang juga menyebabkan fenomena yang sama," katanya.

Sehingga, untuk langkah antisipasi atau pencegahan antara varian Alpha, Beta, Kappa, Delta, Lambda, atau varian lokal, tindakannya harus sama.

"Dulu 5M dan 3T, sekarang ada M yang ke-6, yaitu menghindari makan bersama," katanya.

"Termasuk tindakan di pintu masuk, apakah pelabuhan dan bandara, sama. Dan, kita mesti menyadari bahwa varian yang dulu-dulu, yang belum ada mutasi atau sebagainya itu, tetap berpotensi menyebabkan masalah kesehatan," Amin melanjutkan.

Meski belum diketahui keberadaan varian Lambda, tidak berarti seseorang yang terinfeksi virus Corona jadi menganggap remeh. Sebab, mau apa pun 'jenis' virus Corona yang masuk ke dalam tubuhnya, tetap berpotensi menjadi berat. 

Kasus COVID-19 di Indonesia saat ini tengah mencapai puncaknya. Dalam sehari saja, 31.000 orang terkonfirmasi COVID-19. 

Menurut Amin, dari sekian banyak kasus COVID-19, tidak selalu karena varian-varian yang beredar saat ini. Walau memang saat ini varian Delta tengah mendominasi.

Menentukan seseorang tertular virus Corona varian Delta maupun varian lainnya harus melewati proses squence. Amin, menjelaskan, yang di-squence adalah kasus-kasus pilihan. Artinya, kasus-kasus yang diutamakan untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.

"Yang diutamakan untuk sequence misalnya dia kasusnya secara klinis berbeda atau lebih berat, lebih cepat, atau dia berasal dari klaster yang muncul tiba-tiba, atau sudah divaksinasi ternyata kena, atau sudah pernah terinfeksi kemudian terinfeksi lagi. Kasus-kasus ini yang kita dahulukan untuk di-sequence," katanya.

"Bagaimana dengan kasus lain? Kita belum punya datanya. Termasuk yang OTG, ringan, itu mungkin tidak termasuk kriteria yang diprioritaskan. Itu baru kelihatan kalau kita melakukan sequencing yang positif, tapi itu kan satu hal yang tidak visible, artinya membutuhkan anggaran yang sangat besar. Di negara maju pun tidak 100 persen dilakukan sequencing," Amin menambahkan.

 

3 dari 7 halaman

Mutasi, Hal Alamiah pada Virus

Ahli imunologi dan virologi, dr. Yordan Khaedir menyebutkan, mutasi suatu virus menjadi sesuatu yang natural dan dipastikan akan terjadi. Mutasi ini bertujuan agar virus bisa beradaptasi dengan sel inang dan juga sebagai bagian untuk bertahan hidup (survive).

"Jadi terkait munculnya varian baru Lambda, merupakan hal yang alamiah dan sangat mungkin terjadi. Hanya saja apakah mutasi itu akan bermakna atau tidak bagi perkembangan sakit COVUD-19, masih perlu diteliti lebih lanjut," ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu (7/7/2021).

Terkait dengan bahaya varian Lambda, Yordan menyebut penelitian awal ada menyebutkan varian ini memang diduga memiliki potensi lebih mudah menular dibandingkan varian Delta dan variants of concern lain seperti Beta. Varian Lambda juga diduga lebih infeksius atau berimplikasi medis berat atau serius pada individu atau orang yang terpapar virus.

"Hingga kini, WHO masih memasukkan varian Lambda termasuk kategori varian of interest, apabila nantinya memang Lambda berpengaruh pada COVID-19, termasuk penyeberannya yang masif, berpengaruh pada keparahan penyakit dan lainnya, mungkin saja akan menjadi variants of concern (VOC)," kata dia.

4 dari 7 halaman

Lokasi Mutasi

Menurut penelitian yang diterbitkan pekan lalu tetapi belum ditinjau oleh peneliti lainnya, varian Lambda memiliki tujuh mutasi protein lonjakan yang unik. Sebuah tim ilmuwan di Chili menganalisis sampel darah dari petugas kesehatan di Santiago yang telah menerima dua dosis vaksin CoronaVac yang dikembangkan oleh Sinovac Biotech di China.

Mereka menemukan varian Lambda memiliki mutasi yang disebut L452Q, yang mirip dengan mutasi L452R yang terlihat pada varian Delta dan Epsilon. Karena mutasi L452R dianggap membuat varian Delta dan Epsilon lebih menular dan tahan terhadap vaksinasi, tim menyimpulkan bahwa mutasi L452Q Lambda mungkin juga bisa membuat penyebarannya jauh dan luas.

Meskipun kemungkinan varian Lambda memang lebih menular daripada varian lain, masih terlalu dini untuk mengetahui dengan pasti, kata Kirsty Short, ahli virologi di University of Queensland, Australia, mengutip ABC News. 

"Ini sangat awal," kata Dr. Short, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

"Ini adalah titik awal yang baik, tetapi saya pasti tidak akan menyimpulkan apa pun dari itu ke dalam klinik," jelasnya.

5 dari 7 halaman

Belum Ada Bukti Sebabkan Kondisi Lebih Parah

Pada 23 Juni 2021, Badan Kesehatan Inggris, Public Health England mengklasifikasikan varian Lambda sebagai 'varian yang sedang diselidiki', setelah enam kasus infeksi terdeteksi di Inggris hingga saat ini, yang semuanya terkait dengan perjalanan ke luar negeri.

Inggris mengatakan bahwa belum ada bukti varian Lambda menyebabkan penyakit yang lebih parah atau membuat vaksin COVID-19 jadi kurang efektif. 

"Saat ini tidak ada bukti bahwa varian ini menyebabkan penyakit yang lebih parah atau membuat vaksin yang saat ini digunakan menjadi kurang efektif," tulis laman pemerintah Inggris, gov.uk, Public Health England (PHE) pada 25 Juni 2021 lalu.

Mereka juga menyatakan telah melakukan studi laboratorium untuk lebih memahami dampak mutasi pada perilaku virus.

"Semua intervensi kesehatan masyarakat yang tepat akan dilakukan, termasuk pelacakan kontak tambahan dan pengujian yang ditargetkan," kata PHE.

Amerika Serikat juga tengah mengamati varian ini. Mereka menyebut bahwa varian ini amat menarik. Penyelidikan terus dilakukan untuk mengetahui varian ini.

Sasar Semua Usia

Sementara itu, Ahli imunologi dan virologi, dr. Yordan Khaedir mengimbuhkan, varian Lambda ini menyasar kepada semua usia. Bahkan juga terhadap mereka yang tidak memiliki penyakit bawaan sekalipun.

"Lambda ternyata lebih mudah menginfeksi manusia tanpa memandang usia dan komorbiditas. Artinya baik yang memiliki sakit bawaan atau tidak, terancam, juga lebih mudah terinfeksi varian lambda," jelas Yordan.

6 dari 7 halaman

Varian Lambda Pengaruhi Efektivitas Vaksin?

Ilmuwan di Amerika Serikat telah melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 mRNA efektif terhadap varian Lambda.

Para peneliti menemukan bahwa sementara pseudotype yang mengekspresikan protein lonjakan dari varian Lambda kurang rentan terhadap antibodi penetral yang ditimbulkan oleh vaksin, pengurangan netralisasi hanya kecil.

Protein lonjakan adalah struktur permukaan utama yang digunakan SARS-CoV-2 untuk mengikat dan menginfeksi sel inang.

Domain pengikatan reseptor (RBD) dari lonjakan ini memediasi tahap awal proses infeksi ketika berikatan dengan reseptor sel inang angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2).

Tim dari New York University Grossman School of Medicine mengatakan, temuan penelitian juga menunjukkan bahwa koktail antibodi monoklonal REGN-COV2 Regeneron harus efektif melawan varian Lambda.

"Hasilnya menunjukkan bahwa vaksin yang digunakan saat ini akan tetap protektif terhadap varian Lambda dan terapi antibodi monoklonal akan tetap efektif," tulis Nathaniel Landau mengutip news-medical.net.

7 dari 7 halaman

Belum Jadi Ancaman Indonesia tapi Harus Waspada

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta meminta pemerintah segera mengetatkan semua akses masuk ke wilayah Indonesia. Tujuannya mengantisipasi varian baru COVID-19 Lambda yang telah menyebar di 29 negara, terutama Amerika Latin. 

"Pemerintah perlu segera mengantisipasi dengan adanya kebijakan pengetatan akses masuk Indonesia. Hal ini untuk mencegah varian baru COVID-19 yang berkembang di luar negeri masuk ke Indonesia," kata Sukamta di Jakarta, dilansir Antara.

Kepala Epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menilai varian Lambda yang ditemukan di Peru dan puluhan negara lain memiliki penularan yang cepat.

Mengingat varian Lambda masuk dalam variant of interest, masih ada potensi untuk bermutasi lagi. Namun Miko menyebut varian ini tidak perlu dikhawatirkan lantaran belum ditemui kasusnya di Indonesia.

"Jadi menurut saya, karena varian Lambda ini belum ditemukan di Indonesia, jadi belum jadi ancaman," kata dia.

Meski begitu, upaya pencegahan harus dilakukan. Miko meminta pemegang kebijakan untuk memutus penerbangan dari negara-negara yang telah terjangkit varian Lambda tersebut.

"Menurut saya, diblok negara yang punya varian Lambda, jangan boleh masuk. Tapi kalau tidak bisa blok, harus karantina 14 hari dari negara yang ada varian Lambdanya, jadi jangan cuma Peru saja," ujar dia.

"Kemudian 10 hari karantina, diperiksa PCR lalu di akhir hari karantina, dites lagi," imbuh Miko.

Senada dengan Miko, Yordan mengingatkan Indonesia agar tetap waspada. Skrining ketat terhadap WNI maupun WNA dari negara tempat yang sudah teridentifikasi Lambda.

"Lakukan screening bagi WNA/WNI terutama yang baru pulang atau berasal dari negara dengan potensi varian Lambda," terang dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.