Sukses

WHO: Remdesivir Tak Punya Efek Substansial Terhadap Kematian Pasien COVID-19

Remdesivir digunakan untuk mengobati Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang terkena COVID-19.

Liputan6.com, Washington - Uji klinis yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan bahwa remdesivir dari Gilead Sciences tidak memiliki efek atau pengaruh terhadap lamanya pasien COVID-19 menjalani perawatan atau peluang untuk bertahan hidup.

Remdesivir menerima izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat (AS) pada 1 Mei 2020. Dan, sejak itu telah diizinkan untuk digunakan di beberapa negara.

Remdesivir adalah salah satu obat antivirus yang baru-baru ini digunakan untuk mengobati Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang terkena COVID-19.

Saat melakukan uji coba solidaritas, WHO mengevaluasi efek dari empat rejimen obat yang potensial, termasuk remdesivir, hydroxycholoroquine, kombinasi obat anti-HIV lopinavir/ritonavir, dan interferon pada 11.266 pasien dewasa COVID-19 di lebih dari 30 negara.

Hasilnya, WHO menemukan tidak ada pengobatan yang secara substansial memengaruhi kematian atau mengurangi kebutuhan pasien COVID-19 akan ventilasi. Pun pengaruhnya terhadap berapa lama pasien harus tinggal di rumah sakit sangat kecil.

 

Simak Video Berikut Ini

Videografis Remdesivir Pengobatan COVID-19

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Remdesivir untuk Pengobatan Pasien COVID-19

Awal bulan ini, data dari penelitian remdesivir oleh Gilead di Amerika Serikat, yang melibatkan 1.062 pasien, menunjukkan bahwa pengobatan memangkas waktu pemulihan bagi pasien COVID-19 sebanyak lima hari dibandingkan menggunakan plasebo.

Pada Rabu, 13 Oktober 2020, Kepala Ilmuwan WHO, Soumya Swaminathan, mengatakan, selama penelitian, hydroxycholoroquine dan lopinavir/ritonavir dihentikan pada bulan Juni setelah terbukti tidak efektif.

Akan tetapi uji coba lain masih berlanjut di lebih dari 500 rumah sakit dan 30 negara.

"Kami sedang mencari apa selanjutnya. Kami sedang melihat pada anti-body monoklonal, kami melihat pada imunomodulator dan beberapa obat anti-virus baru yang telah dikembangkan dalam beberapa bulan terakhir," kata Swaminathan dikutip dari situs Channel News Asia pada Jumat, 16 Oktober 2020.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.