Sukses

Epidemiolog: Kami Mampu Kendalikan Ebola dan MERS tapi COVID-19 Berbeda

Ada perbedaan signifikan antaran Virus Corona COVID-19 dengan Ebola dan MERS.

Liputan6.com, Jakarta - Semenjak pandemi COVID-19 melanda, sepertinya orang-orang mulai mempertimbangkan untuk mencuci tangan dengan benar dan memakai masker jika sedang tidak enak badan.

Namun, tentu masih ada saja yang menyangkal COVID-19 dengan menolak memakai masker dengan alasan apa pun.

Seorang ahli epidemiologi dan dokter penyakit menular di Atrium Health, Katie Passaretti MD, sempat membahas sistem perawatan kesehatan terhadap COVID-19. Dia bertukar ide untuk mengendalikan penyebaran virus SARS-CoV-2 di rumah sakit dan bagaimana melindungi serta merawat pasien yang membutuhkan pertolongan, sekaligus terus mengikuti informasi terbaru terkait Corona COVID-19.

Virus yang sangat menular bukanlah hal baru bagi Dr. Passaretti, karena dia mengetahui epidemi atau pandemi lain seperti Ebola dan MERS, tapi menurutnya di antara Ebola, MERS, dan COVID-19 adalah jenis infeksi yang sangat berbeda.

Dia mencatat dua perbandingan berbeda antara Ebola dan MERS dengan COVID-19.

"Ebola dan MERS sangat merusak individu yang terinfeksi, tetapi kami mampu menahan virus tersebut agar tidak menyebar di dalam komunitas. Sementara COVID-19 ini tidak mematikan bagi individu. Jelas kami kurang berhasil dalam mengendalikan penyebaran," katanya seperti dikutip Health pada Jumat, 18 September 2020.

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Penyebaran komunitas

Penyebaran komunitas itu adalah masalah besar dalam hal COVID-19, lanjut Passaretti. "COVID-19 dapat menyebar dengan sangat mudah di masyarakat, bahkan dari orang-orang yang sebelum mereka tahu bahwa mereka memiliki gejala atau tanpa gejala sama sekali."

"Sehingga (pengendaliannya) benar-benar membutuhkan tanggapan masyarakat untuk menekan penyebarannya, tidak bisa hanya rumah sakit saja yang fokus pada orang sakit," tambahnya.

Dalam hal ini, Dr. Passaretti mengatakan pentingnya memakai masker dan tinggal di rumah saat sakit dengan gejala ringan untuk menjaga virus tetap terkendali.

Namun, praktik yang digunakan untuk mengendalikan wabah COVID-19 juga sulit ditangani. “Seiring waktu, saat orang menyadari penyebaran virus ini bak maraton, bukan sprint, tentu melelahkan. Mengejar sambil mengontrol penyebaran sulit dilakukan untuk jangka waktu yang sangat lama," kata Dr. Passaretti.

Bahkan Dr. Passaretti sempat meremehkan dampak emosional dari virus tersebut. "Sebenarnya itu menguras emosi saya melihat betapa para penyedia layanan kesehatan sampai takut pulang ke rumah dan menanggalkan pakaian kotor mereka karena mereka khawatir anak-anak atau keluarga di rumah menjadi sakit, sembari tanpa henti merawat pasien dan terkadang sampai sakit sendiri. Namun melihat semangat dan kemauan untuk menempatkan diri mereka pada risiko untuk melakukan yang terbaik bagi pasien, itu memberi saya harapan."

Hal lain yang memberi harapan bagi Dr. Passaretti yaitu dengan sedikit perubahan perilaku, kita bisa mulai mengubah kurva COVID-19.

"Ada banyak harapan yang dapat ditemukan dari tanggapan orang-orang, dan orang-orang yang bekerja di rumah sakit dan komunitas untuk mencoba mencegah penyebaran," katanya. Maka itu penting untuk menyadari keberadaan orang-orang untuk berusaha berbuat baik dengan menggunakan masker)."

3 dari 3 halaman

Infografis Gebrakan Denda Tidak Pakai Masker

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.