Sukses

Tak Selalu Mengabulkan Keinginan Anak, Wajar atau Pelit?

Selalu memberikan apa yang dinginkan anak bisa berdampak buruk. Tapi tak mengabulkan keinginan anak pun terkadang membuat orangtua dianggap pelit.

Liputan6.com, Jakarta Selalu memberikan apa yang dinginkan anak bisa berdampak buruk. Tapi tak mengabulkan keinginan anak pun terkadang membuat orangtua dianggap pelit. Jadi bagaimana sebaiknya perilaku orangtua ketika dihadapkan dengan keinginan anak? Simak pengalaman Mommy Tyniya Suteja dari Babyologist di bawah ini.

Weekend yang lalu saya berada di sebuah mal di Kota Tangerang, ada seorang anak sekitar usia 6-7 tahun yang menangis dan meronta-ronta terhadap Mom-nya tak jauh dari toko mainan. Dulu sebelum saya menikah, saya merasa kok Mom-nya pelit banget sih, kenapa 'gak beli satu saja yang agak murah biar anaknya tidak seheboh itu? Duit kan bisa dicari lagi, bisa ditabung lagi.

Tapi setelah saya menikah sambil bekerja, barulah saya sadar pentingnya menerapkan kedisiplinan kepada anak. Penting untuk mengajarkan si Kecil agar tidak selalu membeli mainan atau barang-barang lainnya yang tergolong sekunder atau tersier, setiap kali pergi ke mal. Memang, duit itu bukanlah segalanya dan bisa dicari. Namun apakah baik jika kita membolehkan anak untuk membeli barang apa pun yang dia sukai setiap kali pergi ke mal?

Saya jadi ingat dengan terapan kakak kandung saya terhadap 2 anak-anaknya, "Nanti saat kita semua jalan-jalan ke Kuala Lumpur, kalian boleh membeli barang yang kalian sukai apa pun itu barangnya, namun mami hanya sanggup membelikan 1 saja ya untuk kalian masing-masing. Mami sayang banget sama kalian."

Anak-anak begitu gembira dan tiba saatnya momentum belanja di KL, anak-anak dengan teliti dan sabar memilih-milih mainan yang mereka sukai saat ada di toko, hingga saatnya di kasir mereka hanya membawa 1 mainan di tangan mereka masing-masing.

Ajaran ini pun membuat saya tersadar, bahwa:

  • memilih barang itu harus sesuai dengan kebutuhan, tidak semua barang harus kita beli;
  • sambil menunggu momentum untuk membeli barang yang kita butuhkan, saat itu juga kita sambil menabung sedikit demi sedikit;
  • lambat laun akan tertanam rasa disiplin pada anak dan ia belajar untuk bersabar menunggu momentum.     

Saya pun dididik untuk selalu menyisihkan uang jajan, kebetulan dulu Mama saya lebih senang mencatat pemasukan dan pengeluaran saya di sebuah buku kecil. Hal ini ada bagusnya juga, karena apabila semua uang jajan langsung diserahkan ke saya, mungkin tidak sampai 14 hari semua uang jajan saya sudah habis. Boleh dicontoh ya Moms!

Jadi walaupun uang jajan merupakan hak anak-anak, namun Moms tetap bisa mengerem pembelian yang dianggap tidak perlu. Dan kalau sedang jalan-jalan sang anak ingin membeli sesuatu yang mahal, Moms bisa talangi dulu pembelian tersebut. Lalu dibuat 1 catatan bahwa biaya pembelian tersebut bisa dicicil melalui uang jajan, seperti memiliki bank sendiri. Hal ini terjadi lho pada saya, dan sekarang saya merasa bahwa ajaran dan terapan orang tua saya sangat berguna saat saya sudah menikah dan bekerja.

Memang ada plus minusnya, minusnya: awalnya anak akan merasa dunia tidak adil, akan meronta-ronta pada awal penerapan ini, dan anak akan merasa Moms sangat menyebalkan dan pelit, anak akan lebih menganggap Dads lebih royal.

Plusnya: Moms lebih bisa belajar bersabar karena tujuan dari ajaran ini baik untuk anak, sehingga Moms tidak mudah goyah saat melihat anak meronta-ronta bahkan sambil guling-guling di lantai, Moms juga akan belajar menyisihkan uang, dan Dads lama-kelamaan juga akan ikut irit.

Namun semua kembali lagi ya kepada Moms dan Dads, ajaran dan terapan kepada anak merupakan hasil diskusi dari kedua orang tua.

Semoga bermanfaat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini