Sukses

Bocah SD Hamili Siswi SMP, Orangtua Seharusnya Awasi Pergaulan Anak

Dalam kasus bocah SD yang menghamili kekasihnya yang merupakan siswi SMP, peran orangtua dipertanyakan dalam perkembangan sang anak

Liputan6.com, Jakarta Kasus seorang bocah SD yang menghamili siswi SMP di Tulungagung, tidak bisa sepenuhnya menjadi kesalahan anak, bila dilihat dari sisi psikologis. Dalam hal ini, orangtua juga berperan dalam mengawasi pergaulan kedua anak tersebut, terutama karena mereka masih berada dalam masa pra-remaja.

"Mereka masih dalam transisi ke remaja. Biasanya anak-anak dalam usia ini, masih berkembang secara fisik, maupun secara psikologis dan mental, kognitif, juga sosial," jelas psikolog anak Personal Growth, Kantiana Taslim.

"Mereka masih ada di tahap puber-pubernya, jadi masih ingin tahu. Masa-masa ingin tahu, belajar, mengeksplorasi, termasuk eksplorasi dan belajar tentang hubungan sosial ke lawan jenis," kata Kantiana ketika dihubungi Health Liputan6.com pada Kamis (24/5/2018).

Kantiana mengatakan, masa-masa ketika remaja tertarik pada lawan jenis sesungguhnya wajar. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana di tahap tersebut, orangtua mampu memberikan pemahaman nilai-nilai masyarakat pada anak.

"Kalau dalam kasus ini bagaimana orangtua dari pihak anak- anak ini, mengenai pengasuhannya. Bagaimana mendampinginya, apakah dibiarkan saja, sama sekali tidak diberitahu apa yang boleh dilakukan apa yang tidak," kata Kantiana. 

 

Simak juga video menarik berikut ini:

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Orangtua Punya Pengaruh

Kantiana menjelaskan, sekalipun secara fisik keduanya sudah terlihat besar, namun sesungguhnya mereka masih butuh bimbingan.

"Biasa anak sampai 16,17,18 tahun itu masih pembimbing atau pengasuhan dari orangtua. Karena anak itu dikatakan matang, otaknya mampu berpikir secara baik, itu di usia antara 16 sampai 18 tahun," jelas psikolog lulusan Universitas Indonesia tersebut.

Dalam kasus ini, orangtua seharusnya lebih sering untuk memantau kehidupan sang anak.

"Orangtua yang paling punya pengaruh pada anak. Mereka yang bertanggung jawab, Anak harus diarahkan, bagaimana teman- temannya selama ini, kegiatannya apa saja, anaknya main kemana," jelas Kantiana.

Paparan media seperti film dan media sosial pada anak juga harus diketahui oleh orangtua. Ayah dan ibu pun harus paham pengaruh media seperti film dan media sosial pada anak.

 

3 dari 3 halaman

Edukasi Seks dan Pacaran

Belajar dari kasus ini, Kantiana mengatakan bahwa orangtua harus bisa mengenali anaknya sendiri.

"Selain dipantau, juga (orangtua) banyak sharing sama anak, ajak anak ngobrol, diskusi, intinya lebih mengenali anak Anda sendiri. Dengan mengenali anak sendiri, akan lebih mudah untuk memantau dan menjaga kegiatan dan paparannya," jelas Kantiana.

Yang terpenting harus diajarkan adalah edukasi seks. Pembelajaran seperti ini akan lebih mudah ketika hubungan orangtua dan anak lebih dekat dan akrab.

Kantiana menjelaskan, tidak ada batasan umur bagi anak untuk mendapat edukasi seks. Malah, hal tersebut memang harus diajarkan sejak dini.

"Begitu juga dengan pacaran. Usia berapa boleh pacaran, disepakati dengan orangtua, usia berapa anak boleh pacaran. Pacaran dengan siapa, di mana, kegiatan apa saja yang boleh dilakukan bersama pacar dan teman. Itu yang harus ditekankan sejak awal," kata perempuan yang kerap mengisi seminar dan workshop tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.