Sukses

Gizi Buruk Bikin Kerja Otak Tak Maksimal dan Turunkan Kemampuan Kognitif

Penyebab stunting serta gizi buruk dari pola asuh tidak sesuai dan pola hidup yang tidak bersih.

Liputan6.com, Jakarta Prevalensi stunting atau bertubuh pendek pada balita di Indonesia sebesar 37,2 persen atau sekitar sembilan juta anak bertubuh pendek. Data ini dikulik dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013. Kementerian PPN/Bappenas menyebut berdasarkan data Global Nutrition Report pada 2014, Indonesia termasuk ke dalam 17 negara yang mengalami beban ganda permasalahan gizi buruk.

Saat ini terdapat 15 provinsi dengan angka stunting di atas 40 persen, lima provinsi dengan angka stunting kurang dari 30 persen, dan tidak ada provinsi dengan angka stunting yang kurang dari 20 persen.

Dewan Pembina Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI), Prof dr Fasli Jalal, mengatakan stunting karena kekurangan gizi pada usia dini dapat meningkatkan kematian untuk bayi dan anak, kerja otak tidak maksimal, dan menurunkan kemampuan kognitif.

Presiden, Wakil Presiden, bersama 13 kementerian, dan lembaga bersama dengan pemerintah daerah hingga ke tingkat desa, melakukan intervensi terhadap permasalahan stunting.

"Anggaran dikeroyok dan diberikan kepada keluarga yang mempunyai risiko maupun yang punya anak kerdil," ujar Fasli, seperti dikutip dari AntaraNews, Selasa (3/4/2018).

Fasli mengatakan stunting terjadi baik di kalangan berpendapatan rendah maupun tinggi dan disebabkan oleh kekurangan gizi dalam waktu yang lama pada periode seribu hari pertama kehidupannya. Penyebabnya mulai dari pola asuh yang tidak sesuai, sehingga menyebabkan kurangnya asupan gizi dan juga pola hidup yang tidak bersih (seperti buang air besar sembarangan) sehingga menyebabkan infeksi bakteri atau kuman.

Menurut dia, kekerdilan bisa dicegah dalam dua tahun pertama kehidupan anak yang memiliki risiko stunting, sehingga bisa kembali ke garis normal. Namun jika sudah terlambat, bisa dilakukan stimulasi perbaikan baik asupan gizi maupun stimulasi agar sel otak bekerja maksimal.

"Bahkan kalau optimal, bisa lebih pintar dibanding anak normal, tapi kurang diperhatikan asupan gizi pada tahun berikutnya," katanya.

Stunting tersebut bisa dipantau dari kehamilan, yakni kehamilan yang kenaikan berat badannya kurang dari 12 kilogram. Saat hamil juga perlu diperhatikan asupan zat besi karena ibu hamil rentan anemia. Begitu anak lahir, ujarnya, maka harus diberikan Air Susu Ibu (ASI). ASI yang pertama itu yang wajib karena banyak mengandung zat yang bermanfaat bagi bayi tersebut.

Ia menjelaskan, infeksi juga turut mempengaruhi stunting, sehingga tak heran jika anak yang lahir normal tapi mengalami kekerdilan karena asupan gizi yang kurang diperhatikan pada dua tahun pertama kehidupannya.

Uniknya, kasus kekerdilan tidak hanya terjadi pada keluarga miskin, tetapi juga keluarga menengah ke atas. Terutama ketika urusan makanan anak diserahkan sepenuhnya pada pengasuh yang cenderung memberikan makanan yang hanya disukai anak seperti yang manis maupun gurih tanpa memperhatikan kecukupan gizinya.

"Pemberian makanan yang instan-instan pada dua tahun pertama kehidupan anak juga turut mempengaruhi," papar Fasli.

Meskipun demikian, tak semua yang bertubuh pendek identik dengan gangguan kecerdasan. Fasli menyebut seperti BJ Habibie dan juga Jusuf Kalla meskipun bertumbuh pendek namun cerdas. Hal itu tak lepas dari pola asuh dari orang tuanya.

Menurut dia, kalau kehilangan 30 persen kecerdasan pada 1.000 hari pertama kehidupan tidak masalah, jika yang 70 persen berjalan dengan baik karena otak anak terus berkembang hingga usia delapan tahun.

 

Simak juga video menarik berikut:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Signifikansi stunting dan peringkat PISA

Saat disinggung apakah ada kemungkinan kekerdilan tersebut berdampak pada rendahnya peringkat Programme for International Student Assessment (PISA), Fasli mengatakan jika hal itu mungkin saja ada kaitannya.

Bila anak mengalami kekerdilan pada kelas awal, maka kemampuan membaca dan memahami bacaannya sangat rendah. Hal itu terjadi di kelas satu dan dua sekolah dasar (SD). Saat dia kelas tiga, mata pelajarannya mulai serius, yakni Sains, Matematika dan IPS, maka anak tersebut akan kesulitan belajar. Jika mengalami kendala memahami bacaan, maka mata pelajaran lain akan rendah pula.

Begitu pula ketika kelas empat. Hasil penilaian dari Balitbang Kemdikbud menyebutkan 76 persen anak mengalami kesulitan memahami mata pelajaran IPA dan tidak sampai delapan persen yang baik nilainya.

Menurut dia, di sejumlah negara seperti Jamaika dan Guatemala sudah dibuktikan pengaruh antara peringkat PISA dan kekerdilan itu.

"Kekerdilan ini bukan kelainan, tetapi keterlambatan dalam kemampuan intelektual," tukas mantan Wakil Menteri Pendidikan itu.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof Endang L Achadi, mengatakan stunting dan permasalahan gizi mempengaruhi status kesehatan dan kecerdasan di setiap tahap kehidupan, mulai dari kandungan, dilahirkan, masa balita, sekolah, remaja dan muda serta saat seorang perempuan hamil.

Dia memaparkan, stunting berdampak pada terhambatnya perkembangan otak dan fisik, rentan terhadap penyakit. Saat dewasa, anak tersebut mudah menderita kegemukan sehingga rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, jantung dan lainnya, serta sulit berprestasi sehingga daya saing individu rendah.

Sementara pada tingkat masyarakat dan negara, stunting menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan angka kemiskinan dan kesakitan sehingga beban negara meningkat, ketimpangan sosial dan menurunkan daya saing dengan negara lain.

Endang menjelaskan kemungkinan ada keterkaitan antara PISA dan tingginya kasus stunting di Tanah Air. PISA merupakan program untuk mengukur pencapaian pendidikan di seluruh dunia.

Survei yang dilakukan tiga tahun sekali itu mengukur kemampuan anak berusia 15 tahun dalam membaca, matematika dan sains.

Indonesia pertama kali ikut dalam PISA pada 2000 dengan anggota saat itu 41 negara. Indonesia saat itu menempati peringkat 39 dengan kemampuan membaca dengan skor 371, peringkat 39 untuk kemampuan matematika dengan skor 367 dan peringkat 38 untuk sains dengan skor 393. Sementara rata-rata internasional yakni 500.

Peringkat Indonesia tidak jauh berbeda pada 2003, yang mana peringkat kemampuan membaca anak Indonesia berada pada urutan 39 dari 40 negara, kemampuan matematika urutan 38 dan kemampuan sains pada pada urutan 38.

Untuk selanjutnya, pada 2006 saat negara yang berpartisipasi bertambah. Kemampuan membaca anak berada pada urutan 48 dari 56 negara, sementara kemampuan matematika dan sains urutan 50 dari 57 negara yang berpartisipasi.

Pada 2009, jumlah negara yang berpartisipasi dalam program tersebut meningkat menjadi 65. Hasil pengukuran dari program tersebut menunjukkan kemampuan membaca anak berada pada urutan 57, matematika pada urutan 61 dan sains pada urutan 60.

Kemudian pada 2012, urutan PISA justru merosot dari 2009. Kemampuan literasi anak berada pada urutan 61 dan kemampuan matematika dan sains berada pada urutan 64 dari 65 negara.

Urutan PISA Indonesia pada survei terakhir mengalami kenaikan pada skor dari survei sebelumnya, namun untuk peringkat belum mengalami kemajuan. Indonesia berada pada urutan 66 dari 72 negara untuk kemampuan literasi dengan skor 397. Urutan 65 dari 72 negara untuk kemampuan matematika dengan skor 386 dan urutan 64 untuk sains dengan skor 403.

(Indriani/AntaraNews)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.