Sukses

Gurun Sahara Dahulu Sabana Hijau? Penelitian Ini Menjelaskan Alasannya

Hasil penelitian terkini mengungkap misteri di balik transformasi Gurun Sahara dari sabana hijau menjadi gurun tandus.

Liputan6.com, Jakarta - Taman nasional terbesar di Afrika, Dataran Tinggi Tassili N'Ajjer di Aljazair, memamerkan koleksi seni batu pasir yang luar biasa. Lebih dari 15.000 etsa dan lukisan, beberapa berusia 11.000 tahun, mencatat sejarah etnis dan iklim wilayah ini dengan detail unik.

Meskipun Tassili N'Ajjer kini merupakan daerah gersang, gambar-gambar tersebut memperlihatkan kehidupan di sabana masa lalu, dengan gajah, jerapah, badak, dan kuda nil sebagai subyeknya. Seni kuno ini penting sebagai catatan lingkungan di Sahara, menunjukkan kondisi yang sangat berbeda dari yang ada saat ini.

Gambar-gambar tersebut merekam periode 6.000-11.000 tahun yang lalu, dikenal sebagai Sahara Hijau atau periode lembab di Afrika Utara. Hal tersebut menegaskan bukti bahwa Sahara dahulu mendukung ekosistem yang lebih subur dengan hutan sabana, sungai, dan danau di wilayah yang sekarang menjadi Libya, Niger, Chad, dan Mali.

Melansir dari Phys.org, Selasa (19/12/2023), penghijauan di Sahara tidak terjadi sekali saja. Melalui analisis sedimen laut dan danau, para ilmuwan telah mengidentifikasi lebih dari 230 periode penghijauan yang terjadi setiap 21.000 tahun selama delapan juta tahun terakhir.

Setiap kejadian penghijauan menciptakan zona tumbuhan yang memengaruhi bagaimana spesies berkembang dan berpindah, termasuk migrasi manusia kuno keluar dari Afrika.

Penghijauan yang dramatis ini memerlukan perubahan besar dalam pola cuaca untuk membawa hujan ke daerah yang sangat kering ini. Namun, sebagian besar model iklim masih belum dapat sepenuhnya mensimulasikan seberapa dramatisnya peristiwa tersebut.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sensitivitas Gurun Sahara Terhadap Perubahan Iklim

Sebagai tim peneliti dalam bidang pemodelan iklim dan antropologi, mereka berhasil mengatasi tantangan tersebut. Mereka mengembangkan model iklim yang lebih akurat untuk mensimulasikan pergerakan sirkulasi atmosfer di wilayah Sahara dan dampaknya terhadap pola hujan.

Dalam penelitian ini, mereka mengungkap alasan di balik penghijauan di Afrika utara yang terjadi kira-kira setiap 21.000 tahun selama delapan juta tahun terakhir. Fenomena ini dipicu oleh perubahan presesi orbit Bumi, yang menghasilkan sedikit pergeseran dalam poros rotasi planet ini.

Perubahan tersebut mendorong belahan bumi utara mendekati matahari lebih dalam bulan-bulan musim panas. Akibatnya, terjadi peningkatan suhu musim panas di belahan bumi utara, yang memungkinkan udara lebih hangat menahan lebih banyak kelembaban.

Ini menguatkan sistem Monsun Afrika Barat dan mengalihkan sabuk hujan Afrika ke arah utara. Dampaknya adalah peningkatan curah hujan di Sahara, yang menyebabkan perluasan sabana dan padang rumput berhutan dari daerah tropis hingga wilayah Mediterania, menciptakan habitat yang luas bagi flora dan fauna.

Temuan mereka mengungkap sensitivitas Gurun Sahara terhadap perubahan iklim di masa lalu dan bagaimana sensitivitas ini memengaruhi pola hujan di seluruh Afrika utara. Pengetahuan ini krusial dalam memahami implikasi perubahan iklim saat ini, yang dipicu oleh aktivitas manusia.

Mereka juga menyoroti potensi peningkatan kekuatan musim monsun di masa depan akibat suhu yang lebih tinggi, dengan dampak lokal dan global yang signifikan.

3 dari 4 halaman

Menyelusuri Jejak Periode Kelembaban Afrika Utara

Fakta bahwa periode kelembaban di Afrika utara terjadi setiap 21.000 tahun atau lebih merupakan petunjuk besar terhadap penyebabnya adalah variasi dalam orbit Bumi. Orbit Bumi sekitar matahari tidak stabil karena pengaruh gravitasi dari bulan dan planet lain dalam tata surya kita.

Hal tersebut menghasilkan variasi siklus yang berlangsung ribuan tahun yang disebut siklus Milankovitch, yang memengaruhi jumlah energi yang diterima Bumi dari matahari.

Dalam siklus 100.000 tahun, bentuk orbit Bumi bervariasi antara melingkar dan oval, sementara dalam siklus 41.000 tahun kemiringan sumbu Bumi berubah. Siklus-siklus tersebut memainkan peran penting dalam memicu periode zaman es selama 2,4 juta tahun terakhir.

Siklus Milankovitch yang ketiga adalah presesi, yang melibatkan goyangan poros Bumi dan bervariasi dalam rentang waktu 21.000 tahun. Kesamaan antara siklus presesi dan waktu periode kelembaban menunjukkan bahwa presesi adalah faktor utama yang mempengaruhinya.

Presesi memengaruhi perbedaan musiman secara intens, meningkatkan musim panas di salah satu belahan bumi dan mengurangi di belahan bumi lainnya. Peningkatan curah hujan musim panas di utara Afrika selama musim panas di Belahan Bumi Utara yang lebih hangat memulai periode kelembaban, yang mendukung pertumbuhan vegetasi di seluruh wilayah.

4 dari 4 halaman

Menelusuri Keterkaitan Es, Gurun, dan Periode Kelembaban

Dalam penelitian ini, peneliti juga mengidentifikasi bahwa periode lembab tidak terjadi selama zaman es, ketika lapisan es glasial besar menutupi sebagian besar daerah kutub. Ini karena lapisan es yang luas ini mendinginkan atmosfer.

Pendinginan ini melawan pengaruh presesi dan menghambat perluasan sistem monsun di Afrika. Zaman es dipicu oleh siklus eksentrisitas, yang menentukan seberapa oval orbit Bumi mengelilingi matahari. Oleh karena itu, temuan ini menunjukkan bahwa eksentrisitas secara tidak langsung memengaruhi durasi masa lembab melalui pengaruhnya terhadap lapisan es.

Temuan ini juga menggarisbawahi hubungan penting antara wilayah kutub dan daerah tropis untuk pertama kalinya. Sahara bertindak sebagai gerbang yang mengontrol pergerakan spesies antara Afrika utara dan sub-Sahara, terbuka ketika Sahara menjadi lebih hijau dan tertutup ketika menjadi gurun.

Hasil penelitian mengungkapkan kepekaan gerbang ini terhadap orbit Bumi mengelilingi matahari, serta kemungkinan bahwa lapisan es di wilayah kutub mungkin telah membatasi pergerakan spesies selama 800.000 tahun terakhir.

Kemampuan para peneliti untuk memodelkan masa lembab di Afrika memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perubahan antara fase lembab dan kering.

Hal tersebut memiliki implikasi besar terhadap distribusi dan perkembangan spesies, termasuk manusia, di dalam dan di luar Afrika. Lebih dari itu, penelitian ini memberikan alat untuk memahami bagaimana penghijauan di masa depan dapat merespons perubahan iklim dan dampak lingkungannya.

Di waktu yang akan datang, model yang lebih disempurnakan berpotensi untuk mengungkap bagaimana perubahan iklim akan memengaruhi pola hujan dan tumbuhan di daerah Sahara, serta dampaknya yang lebih besar bagi masyarakat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini