Sukses

Update Perang di Jalur Gaza: 15.899 Warga Palestina Tewas dan Tank Israel Memasuki Gaza Selatan

Jumlah kematian bukan tidak mungkin lebih tinggi karena runtuhnya sistem kesehatan di Gaza telah mempersulit pengumpulan statistik dan ada lebih dari 6.000 warga Palestina yang dianggap hilang di wilayah tersebut.

Liputan6.com, Gaza - Otoritas kesehatan Gaza merilis total korban terbaru serangan Israel, yakni 15.899 warga Palestina di Jalur Gaza tewas sejak 7 Oktober. Adapun 70 persen dari mereka yang terbunuh adalah perempuan dan anak-anak.

Jumlah kematian bukan tidak mungkin dapat lebih tinggi karena runtuhnya sistem kesehatan di Gaza telah mempersulit pengumpulan statistik dan ada lebih dari 6.000 warga Palestina yang dianggap hilang di wilayah tersebut. Demikian seperti dilansir The Guardian, Senin (4/12/2023).

Israel melancarkan serangan pada 7 Oktober setelah Hamas menyerbu Israel selatan pada hari yang sama dan menewaskan sedikitnya 1.200 orang serta menyandera 240 orang. Israel meyakini Hamas masih menyandera lebih dari 130 orang di Gaza, sementara beberapa sandera lainnya dibebaskan melalui pertukaran dengan tahanan Palestina.

Dalam perkembangan lainnya, sejumlah saksi mata mengatakan kepada AFP bahwa tank-tank Israel telah memasuki Gaza Selatan, dekat Khan Younis, pada Senin. Selain tank, kendaraan lapis baja pengangkut personel dan buldoser juga terlihat.

Salah seorang saksi mata, Moaz Mohammed (34), mengatakan bahwa tank-tank Israel berada di bagian selatan Jalan Salah al-Din yang membentang dari utara ke selatan Jalur Gaza.

"Mereka mengendalikan Jalan Salah al-Din di kedua sisi dan sekarang memotong jalan antara Deir al-Balah dan Khan Younis, menembak ke arah mobil-mobil dan orang-orang yang mencoba melintas area tersebut," kata dia.

Militer Israel pada Senin kembali menyerukan evakuasi massal dari Khan Younis, tempat puluhan ribu pengungsi Palestina mencari perlindungan setelah terusir dari Gaza Utara, menyusul perluasan serangan darat Israel.

Dilansir AP, meningkatnya tekanan dari Amerika Serikat (AS) diduga membuat Israel berkejaran dengan waktu untuk melancarkan serangan terhadap Jalur Gaza, sebelum mereka "dipaksa" untuk kembali ke meja perundingan.

Serangan darat Israel telah mengubah sebagian besar Gaza utara, termasuk Kota Gaza, menjadi puing-puing. Dan Gaza Selatan, yang sebelumnya dilabeli sebagai zona aman oleh Israel, ditakutkan banyak pihak akan berujung serupa.

Nasib rakyat Palestina di Gaza kian nestapa karena negara tetangga seperti Mesir telah menolak menerima pengungsi.

Warga mengatakan mereka mendengar serangan udara dan ledakan di dalam dan sekitar Khan Younis pada Minggu (3/12) malam hingga Senin setelah militer menjatuhkan selebaran yang memperingatkan masyarakat untuk pindah lebih jauh ke selatan menuju perbatasan dengan Mesir.

Juru bicara militer Israel Laksamana Muda Daniel Hagari menuturkan pihaknya mengejar Hamas dengan kekuatan maksimum di utara dan selatan, dengan berusaha meminimalkan kerugian terhadap warga sipil. Dia merujuk pada peta yang membagi Gaza Selatan menjadi puluhan blok untuk memberikan instruksi yang tepat kepada warga di mana harus mengungsi.

Namun, banyak warga Palestina mengabaikan perintah evakuasi, dengan mengatakan bahwa mereka tidak merasa lebih aman di daerah tempat mereka diminta mencari perlindungan – yang juga telah berulang kali dibom. Sementara itu, militer melarang mereka yang melarikan diri dari Gaza Utara untuk kembali, bahkan selama gencatan senjata.

Perusahaan telekomunikasi Palestina, Paltel, dalam pernyataannya mengumumkan bahwa semua layanan telekomunikasi di Kota Gaza dan Gaza Utara padam menyusul terputusnya elemen utama jaringan mereka sehubungan dengan agresi Israel yang sedang berlangsung.

"Tim teknis kami bekerja tanpa henti dengan segala cara untuk memulihkan layanan," ujar Paltel.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tekanan AS

AS menekan Israel untuk menghindari lebih banyak pengungsian massal dan pembunuhan warga sipil, sebuah pesan yang digarisbawahi oleh Wakil Presiden Kamala Harris selama kunjungannya ke Dubai untuk menghadiri COP28. 

Kamala juga menegaskan bahwa AS tidak akan mengizinkan relokasi paksa warga Palestina keluar dari Gaza atau Tepi Barat yang diduduki atau perubahan perbatasan Gaza.

Namun, tidak jelas seberapa jauh pemerintahan Joe Biden bersedia atau mampu menekan Israel untuk mengendalikan serangannya, sekalipun ketika Gedung Putih menghadapi tekanan yang semakin besar dari sekutunya di Kongres.

AS telah menjanjikan dukungan yang tak tergoyahkan kepada Israel sejak serangan 7 Oktober, termasuk pengiriman amunisi dan bantuan lainnya.

Israel sendiri dilaporkan telah menolak saran AS agar kendali atas Gaza pasca perang diserahkan kepada Otoritas Palestina yang diakui secara internasional sebagai bagian dari upaya baru untuk menyelesaikan konflik secara keseluruhan dengan mendirikan Negara Palestina.

3 dari 3 halaman

Tidak Dapat Ditoleransi

Ketua Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Mirjana Spoljaric Egger menggambarkan penderitaan di Gaza sebagai hal yang tidak dapat ditoleransi saat mengunjungi wilayah tersebut.

"Tingkat penderitaan manusia tidak dapat ditoleransi. Tidak dapat diterima bahwa warga sipil tidak memiliki tempat yang aman untuk berlindung di Gaza dan dengan adanya pengepungan militer maka saat ini tidak ada respons kemanusiaan yang memadai," tutur Egger.

"Sebagai aktor netral, ICRC siap mendukung perjanjian kemanusiaan lebih lanjut yang mengurangi penderitaan."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.