Sukses

Polisi Israel Tembak Kakak-Adik Palestina di Yerusalem

Tiga orang tewas dalam insiden penembakan oleh polisi Israel.

Tim Global, Yerusalem - Kakak-beradik Palestina tewas di Yerusalem akibat ditembak polisi Israel. Insiden ini terjadi di tengah gencatan senjata sementara di Gaza.

Dilaporkan Wafa, Kamis (30/11/2023), penembakan terjadi di wilayah barat laut Yerusalem. Dua kakak-adik itu adalah Murad Nimr (38) dan Ibrahim Nimr (30). Murad pernah dipenjara selama tujuh tahun di penjara Israel karena menolak pendudukan Israel.

Media Israel menyebut polisi melakukan penembakan karena pemuki Israel diserang di stasiun bus yang berada di koloni ilegal Ramot. Kakak-adik itu disebut melakukan penyerangan. Totalnya, ada tiga orang meninggal di insiden itu dan tujuh orang lainnya terluka.

Nimr bersaudara itu berasal dari Yerusalem Timur. Kepolisian Israel juga menggeledah rumah kakak-adik tersebut dan menangkap anggota keluarga mereka untuk diberikan pertanyaan. 

Setelah insiden penembakan, polisi Israel menutup pintu masuk di Yerusalem, termasuk checkpoint Qalandia sehingga mencegah masyarakat untuk keluar-masuk.

BBC melaporkan bahwa sehari sebelumnya dua anak Palestina berusia delapan dan 14 tahun ditembak mati di kota Jenin, Tepi Barat. Konflik dilaporkan mencuat di Tepi Barat sejak perang di Jalur Gaza terjadi pada 7 Oktober lalu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Hari Terakhir Gencatan Senjata di Gaza: Hamas Bebaskan 16 Sandera, Israel Lepas 30 Tahanan Palestina

Hamas membebaskan 16 sandera pada Rabu (29/11/2023) malam, menandai pertukaran terakhir di bawah kesepakatan gencatan senjata yang berlaku saat ini.

Militer Israel mengonfirmasi bahwa 10 perempuan dan anak-anak warga Israel dan empat warga Thailand telah dibebaskan. Sebelumnya, dua perempuan berkewarganegaraan ganda Rusia-Israel dibebaskan Hamas dalam momen terpisah.

Sebagai imbalan pembebasan 16 sandera tersebut, Israel melepaskan 30 tahanan Palestina pada Kamis (30/11). Demikian seperti dilansir AP.

Sementara itu, pihak-pihak terkait dilaporkan tengah berupaya untuk memastikan perpanjangan gencatan senjata demi memungkinkan pertukaran lebih lanjut. Namun, perundingan dinilai akan semakin sulit mengingat sebagian besar perempuan dan anak-anak yang ditahan Hamas telah dibebaskan.

Hamas diperkirakan akan mengupayakan pembebasan tahanan Palestina dalam jumlah yang lebih besar sebagai imbalan atas pembebasan sandera laki-laki dan tentara.

Tekanan internasional meningkat agar gencatan senjata terus berlanjut selama mungkin pasca hampir delapan pekan pengeboman mematikan oleh Israel. Namun, Israel jelas mengatakan bahwa mereka akan mempertahankan gencatan senjata jika Hamas terus berkomitmen membebaskan sandera.

Setelah itu, seperti yang kembali disampaikan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Rabu (29/11), Israel akan melanjutkan perang untuk melenyapkan Hamas, yang telah memerintah Gaza selama 16 tahun.

"Setelah fase pengembalian korban penculikan ini habis, akankah Israel kembali berperang? Jawaban tegas saya 'ya'," ujarnya, seperti dikutip AP.

"Tidak mungkin kami tidak akan kembali berjuang sampai akhir."

Pernyataan Netanyahu muncul menjelang kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken ke wilayah tersebut untuk mendesak perpanjangan lebih lanjut gencatan senjata dan pembebasan sandera. Blinken dijadwalkan tiba di Israel pada Rabu malam.

3 dari 4 halaman

Israel Dimarahi Uni Eropa dan AS Akibat Ingin Tambah Permukiman Ilegal

Amerika Serikat memberikan respons negatif pada kebijakan Israel untuk menambah permukiman di Tepi Barat, Palestina. Permukiman Israel di daerah Palestina itu bersifat ilegal. 

Tak hanya AS, Uni Eropa bahkan memberikan pernyataan yang sangat keras terhadap kebijakan Israel tersebut. 

Berdasarkan laporan Middle East Monitor, Kamis (30/11/2023), Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield berkata negaranya "secara tegas" menolak ekspansi permukiman Israel. Rencana Israel itu dianggap melemahkan kebersamaan dengan Palestina.

Linda Thomas-Greenfield juga berkata bahwa AS sangat prihatin terhadap meningkatnya kekerasan yang dilakukan para pemukim ekstremis terhadap rakyat Palestina di Tepi Barat.

"Para ekstremis yang menyerang rakyat sipil di Tepi Barat harus dibuat tanggung jawab, dan kekerasan ini harus dihentikan. Dan Presiden Biden telah memperjelas bahwa Amerika Serikat siap untuk mengambil tindakan, termasuk dengan pencekalan visa untuk para ekstremis itu," ujar Linda Thomas-Greenfield.

Sementara, Wakil Presiden Komisi Eropa Josep Borrell menyebut ia muak dengan kebijakan permukiman Israel di tengah peperangan.

"Saya muak saat mengetahui bahwa di tengah peperangan, pemerintah Israel ingin menyalurkan pendanaan baru untuk membangun lebih banyak permukiman ilegal," ujar Borrell di situs Twitter.

Pejabat tinggi Uni Eropa itu lantas menegaskan bahwa kebijakan itu bukanlah "pertahanan diri" serta justru tidak akan memberikan keamanan ke Israel.

"Permukiman-permukiman itu adalah pelanggaran berat Hukum Kemanusiaan Internasional, dan mereka adalah beban keamanan terbesar Israel," tegas Borrell.

4 dari 4 halaman

WHO soal Jalur Gaza: Penyakit Terancam Lebih Mematikan Dibanding Pengeboman Israel

Ada lebih banyak orang di Jalur Gaza dapat meninggal karena penyakit dibanding pengeboman jika sistem kesehatan wilayah itu tidak diperbaiki. Hal tersebut ditegaskan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (28/11/2023), seraya menggarisbawahi lonjakan penyakit menular dan diare pada anak-anak.

"Pada akhirnya kita akan melihat lebih banyak orang meninggal karena penyakit daripada yang kita lihat akibat pengeboman jika kita tidak mampu mengembalikan (menyatukan) sistem kesehatan ini," kata Margaret Harris dari WHO dalam briefing PBB di Jenewa, seperti dilansir Reuters pada Kamis (29/11/2023).

Dia mengulangi kekhawatirannya mengenai peningkatan penyakit menular, khususnya diare pada bayi dan anak-anak, dengan kasus diare pada anak-anak berusia lima tahun ke atas melonjak hingga lebih dari 100 kali lipat dari tingkat normal pada awal November.

"Semua orang di mana pun kini mempunyai kebutuhan kesehatan yang sangat mendesak karena mereka kelaparan karena kekurangan air bersih dan (mereka) berdesak-desakan," ujar Margaret.

Mengutip Reuters, otoritas kesehatan Gaza mengatakan bahwa lebih dari 15.000 orang dipastikan tewas akibat pengeboman Israel. Dari jumlah tersebut, sekitar 40 persennya adalah anak-anak, sementara masih banyak yang diperkirakan berada di bawah reruntuhan.

Israel telah bersumpah untuk memusnahkan Hamas, kelompok militan yang menguasai Gaza, setelah mereka menyerbu perbatasan di Israel selatan pada 7 Oktober. Peristiwa itu disebut Israel menewaskan sekitar 1.200 orang dan membuat 240 orang ditawan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.