Sukses

Erdogan: PM Israel Benjamin Netanyahu Akan ke Turki di Akhir 2023

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berkata Presiden Israel Benjamin Netanyahu akan mengunjungi negaranya.

Liputan6.com, Ankara - Pemimpin Israel dipastikan akan datang ke Turki pada akhir tahun 2023 ini. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berkata bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan berkunjung ke Turki dalam dua bulan ke depan.

Kedua pemimpin juga baru saja berbincang di sela Sidang Majelis Umum PBB 2023 di New York beberapa waktu lalu. The Times of Israel mencatat bahwa itu adalah pertemuan pertama Erdogan-Netanyahu.

Menurut laporan The Times of Israel, Rabu (26/9), Netanyahu diperkirakan datang ke Turki sekitar Oktober-November 2023. Pembicaraan masih berlanjut antara kedua pihak.

"Saya berpikir kunjungan Netanyahu ke Turki, yang dulu tertunda karena penyakit, akan terjadi sekitar Oktober-November, dan kontak-kontak masih berlanjut agar dapat menggelarnya di saat yang paling layak," ujar Presiden Erdogan.

Sebelumnya, kunjungan Netanyahu pada Juli 2023 batal karena Benjamin Netanyahu melakukan pemasangan alat pacu jantung (pacemaker).

The Times of Israel menyebut rencana kunjungan itu terjadi di tengah menghangatnya hubungan Israel dan Turki setelah bertahun-tahun cekcok.

Erdogan turut memiliki rencana untuk melakukan kunjungan balik setelah Netanyahu datang ke negaranya.

Presiden Israel Isaac Herzog juga sempat mengunjungi Turki pada Maret lalu di Ankara. Kunjungan itu adalah pertemuan tingkat tinggi pertama antara Turki-Israel sejak tahun 2008.

Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen juga bertemu Presiden Erdogan pada Februari lalu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Rencana Normalisasi Israel-Arab Saudi Masih Jalan, Tahun 2024 Jadi Momen Penting

Sebelumnya dilaporkan, upaya Israel dan Arab Saudi untuk menjalin hubungan ternyata masih berjalan. Amerika Serikat terlibat untuk membuat normalisasi diplomatik ini terjadi.

2024 menjadi tahun penting dalam finalisasi kerangka normalisasi hubungan antara Saudi dan Israel.

Berdasarkan laporan Middle East Monitor, Jumat (22/9), Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen optimistis bahwa kerangka hubungan diplomatik itu dapat beres di awal 2014.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden bahkan optimistis pada prospek normalisasi ini. Ia telah berbicara dengan Presiden Israel Benjamin Netanyahu di sela Sidang Majelis Umum PBB di New York baru-baru ini.

Middle East Monitor mencatat ada hal-hal yang memberatkan normalisasi ini. Arab Saudi ingin ada program nuklir sipil. Sebelumya, AS enggan mendukung rencana pengembangan uranium domestik Arab Saudi.

Sementara, Israel mungkin enggan jika Palestina meraih untung dari kesepakatan Saudi-Israel.

Akan tetapi, Menlu Eli Cohen berbicara ke Army Radio di Israel bahwa perbedaan-perbedaan yang terjadi "bisa dijembatani".

"Itu akan butuh waktu. Tapi akan ada progres,"ujar Cohen.

Selain itu, ia percaya diri bahwa di awal 2024 detail normalisasi akan beres.

"Saya pikir tentunya ada kemungkinan hal itu, pada kuartal awal 2024, empat atau lima bulan dari sekarang, kami akan bisamencapai di titik di mana detail-detailnya difinalisasi," ujarnya.

Upaya normalisasi Arab Saudi dan Israel telah dikritik oleh Iran karena dianggap sebagai pengkhianatan ke rakyat Palestina.

Presiden Iran Ebrahim Raisi dalam pidatonya di Majelis Umum PBB menegaskan bahwa hubungan dengan "rezim Zionis adalah penusukan dari belakang kepada rakyat Palestina."

3 dari 3 halaman

Benjamin Netanyahu Usung Peta Timur Tengah Tanpa Palestina Saat Pidato di Majelis Umum PBB

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menunjukkan peta bertuliskan "The New Middle East" atau "Timur Tengah Baru" saat berpidato di Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat (AS), pada Jumat (22/9/2023). Ironinya, tidak ada Palestina di dalam peta itu, meski dalam pidatonya Netanyahu menyinggung soal perdamaian.

"Saya sudah lama berupaya berdamai dengan Palestina. Namun, saya juga percaya bahwa kita tidak boleh memberikan hak veto kepada Palestina atas perjanjian perdamaian baru dengan negara-negara Arab," ujar PM Netanyahu dalam pidatonya, seperti dilansir The Times of Israel, Sabtu (23/9).

"Palestina bisa mendapatkan manfaat besar dari perdamaian yang lebih luas. Mereka harus menjadi bagian dari proses tersebut, namun mereka tidak boleh mempunyai hak veto atas proses tersebut. Saya juga percaya bahwa berdamai dengan lebih banyak negara Arab akan meningkatkan prospek perdamaian antara Israel dan Palestina."

Netanyahu melanjutkan, "Warga Palestina hanya dua persen dari seluruh dunia Arab. Selama mereka percaya bahwa 98 persen penduduk lainnya akan tetap berperang dengan Israel maka dunia Arab yang lebih besar itu pada akhirnya akan mencekik, membubarkan, dan menghancurkan negara Yahudi."

"Jadi, ketika masyarakat Palestina melihat sebagian besar negara-negara Arab telah berdamai dengan negara Yahudi, mereka juga akan cenderung meninggalkan fantasi menghancurkan Israel dan akhirnya mengambil jalan perdamaian sejati," tutur Netanyahu.

Dikutip dari Middle East Eye, dimasukkannya wilayah Palestina dan kadang-kadang Suriah dan Lebanon dalam peta Israel adalah hal biasa di kalangan penganut konsep Eretz Yisrael atau Israel Raya, yang merupakan bagian penting dari zionisme ultranasionalis yang mengklaim seluruh tanah di wilayah itu milik negara zionis.

Awal tahun ini, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich dalam kunjungannya ke Paris, Prancis, juga menunjukkan peta yang tidak hanya mencakup Palestina, namun juga Lebanon dan Suriah sebagai bagian dari Israel Raya. Dalam kesempatan yang sama dia mengatakan bahwa tidak ada namanya orang Palestina.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.