Sukses

Dampak Perubahan Iklim ke Malaria, TBC, dan HIV

Perubahan iklim mempersulit upaya menangani tiga penyakit menular malaria, TBC, dan HIV.

Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim yang terjadi di planet Bumi tidak hanya merusak alam, tetapi bisa berefek ke penyakit-penyakit berbahaya. Penyakit seperti TBC, malaria, hingga HIV menjadi lebih sulit ditangani, salah satunya karena perubahan iklim memberikan dampak negatif ke dokter dan fasilitas kesehatan. 

Dilaporkan VOA Indonesia, Rabu (20/9/2023), inisiatif internasional untuk memerangi penyakit ini sebagian besar telah pulih setelah terdampak parah oleh pandemi COVID-19, menurut laporan GFATM tahun 2023 yang dirilis pada hari Senin (18/9).

Namun meningkatnya tantangan perubahan iklim dan konflik berarti dunia kemungkinan besar tidak berhasil mencapai target mengakhiri AIDS, TBC, dan malaria pada tahun 2030 tanpa “langkah luar biasa,” kata Peter Sands, direktur eksekutif GFATM.

Sands mencontohkan malaria yang kini menyebar ke wilayah dataran tinggi Afrika yang sebelumnya terlalu dingin bagi nyamuk pembawa parasit penyebab penyakit tersebut. Peristiwa cuaca ekstrem seperti banjir membebani layanan kesehatan, menggusur masyarakat, menyebabkan peningkatan infeksi dan mengganggu pengobatan di banyak tempat, kata laporan itu. Di negara-negara termasuk Sudan, Ukraina, Afghanistan dan Myanmar, upaya menjangkau komunitas rentan juga merupakan tantangan besar karena masalah ketidakamanan, tambahnya.

Meski demikian, kata Sands, GFATM juga mencatat adanya kemajuan. Contohnya, pada tahun 2022, 6,7 juta orang dirawat karena TBC di negara-negara tempat lembaga itu berinvestasi, atau 1,4 juta orang lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. GFATM juga membantu memberikan obat antiretroviral untuk HIV kepada 24,5 juta orang, dan mendistribusikan 220 juta kelambu nyamuk untuk mencegah penularan malaria. Sands menambahkan bahwa alat pencegahan dan diagnostik yang inovatif juga memberikan harapan.

Pekan ini, ada pertemuan tingkat tinggi mengenai TBC di Sidang Majelis Umum PBB. Banyak pihak berharap, pembicaraan itu akan memberi perhatian lebih pada penyakit tersebut.

GFATM menghadapi kritik dari beberapa pakar TBC karena tidak mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk penyakit ini. Mereka berargumentasi, TBC merupakan pembunuh terbesar dari tiga penyakit yang menjadi fokus lembaga tersebut.

"Tidak ada keraguan bahwa dunia perlu mencurahkan lebih banyak sumber daya untuk memerangi TBC… namun ini tidak sesederhana membandingkan kematian tahunan akibat masing-masing penyakit," kata Sands. Ia mengatakan, banyak negara dengan beban TBC tertinggi adalah negara-negara yang berpendapatan menengah yang mempunyai kapasitas lebih besar untuk mendanai layanan kesehatan di dalam negerinya sendiri.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Walhi Ingatkan Pentingnya Capres-Cawapres Punya Langkah Strategis soal Perubahan Iklim

Isu perubahan iklim sering kali terlupakan dalam kampanye calon presiden dan wakil presiden. Padahal, perubahan iklim semakin nyata.

Jelang pendaftaran bakal capres dan cawapres, belum ada calon yang memaparkan pandangannya mengenai isu perubahan iklim. 

Oleh karena itu, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, mengingatkan agar bakal capres-cawapres memahami dan memiliki langkah strategis untuk mengatasi climate change. 

"Sayangnya saya melihat para elite politik baik itu partai politik maupun kandidat-kandidat capres itu belum ada yang mempunyai pandangan strategis terhadap perubahan iklim," ujar Zenzi Suhadi ketika dihubungi Liputan6.com, Senin 4 September 2023.

Menurut dia, perubahan iklim merupakan isu mendesak dan harus segera diatasi.

Dia memaparkan dampak nyata perubahan iklim. Petani, kata dia, dalam 2 tahun terakhir menghadapi dampaknya. Misalnya, lada di Bengkulu yang mengalami kematian massal dalam 2 tahun terakhir.

"Yang kedua di wilayah timur Indonesia, sudah 2 tahun cengkeh tidak berbuah. Nah, dampak ini sebenarnya bencana besar terhadap manusia dalam hal ini petani semestinya negara itu menghitung kerugian besar ini ada beberapa ribu petani lada dan petani cengkeh yang sebenarnya mengalami kerugian belum lagi kampung-kampung yang mulai tenggelam seperti di pantai barat Sumatera dan di Jawa," kata Zenzi. 

 

3 dari 3 halaman

Saran WALHI

Untuk memahami secara dalam isu perubahan iklim, dia menyarankan agar bakal capres-cawapres memahami tentang Indonesia. Salah satu caranya, dengan bergaul bersama rakyat. 

"Bergaul dengan rakyat memahami Indonesia sebagai negara dan memahami rakyat Indonesia sebagai bangsa agraris, bangsa maritim," jelas Zenzi.

Namun, dia tak ingin perubahan iklim hanya menjadi retorika untuk mendulang suara rakyat. Bakal calon tersebut harus lah memahaminya. Hal ini juga bakal menunjukkan kualitas pemimpin Indonesia.   

"Supaya kita tahu para kandidat ini ketika dia bicara perubahan iklim bicara agenda lingkungan itu atas dasar kesadaran pengetahuannya begitu bukan kita menyaksikan seorang calon presiden bicara perubahan iklim itu karena dia melihat perubahan iklim ini akan berpengaruh dalam meraup suara," lanjut Zenzi.

Dia juga mengingatkan agar bakal capres-cawapres tidak takut kepada perusak alam.

"Berarti kalau melihat kondisi yang ada, sudah sangat urgent untuk capres-cawapres mengangkat isu-isu perubahan iklim sebagai bahan kampanye yang akan dijanjikan dan tentunya harus diselesaikan," lanjut dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.