Sukses

Studi: Biaya Listrik Kepulauan Solomon Termahal di Dunia, Libya Jadi yang Termurah

Penjabat kepala eksekutif Solomon Power Martin Sam menuturkan bahwa penyebab tingginya biaya listrik rumit. Geografi negara itu, dengan populasi 700.000 yang tersebar di ratusan pulau adalah salah satunya.

 

Liputan6.com, Honiara - Peter Bae memiliki pekerjaan penuh waktu di bidang keuangan. Upahnya yang layak berada di atas rata-rata di Kepulauan Solomon.

Namun, ketika anak-anaknya pulang dari sekolah ke rumah mereka di pinggiran ibu kota Honiara, terkadang mereka terpaksa mengerjakan PR dalam kondisi gelap.

"Itu membuat anak-anak saya kesal," ungkap Peter seperti dikutip ABC News, Sabtu (15/4/2023). "Mereka menangis setiap kali gelap dan listrik rumah kami tidak menyala."

Peter tidak mampu berlangganan jaringan listrik negara. Keluarganya hanya mengandalkan panel surya untuk mengisi baterai dan memberi daya bagi kebutuhan lainnya.

Saat cuaca buruk, situasi yang sering terjadi, Peter membayar tetangganya US$ 1 dolar atau sekitar Rp14.820 untuk membantu mereka mengisi baterai ponsel.

"Ini memengaruhi belajar anak-anak kami, terutama menjelang masa ujian," tutur Peter.

Menurut situs web agregat Cable yang berbasis di Inggris, Kepulauan Solomon memiliki gelar negara dengan biaya listrik termahal di dunia.

Penelitian, yang dirilis pada Desember 2021 tersebut, menganalisis 230 negara dan menemukan rata-rata biaya listrik di Kepulauan Solomon 1,03 dolar Australia per kWh atau sekitar Rp10 ribu.

Sementara itu, negara dengan listrik termurah di dunia adalah Libya, yaitu US$ 0,01 sen per kWh atau sekitar Rp2.600 per kWh.

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Penyebab Tingginya Biaya Listrik di Kepulauan Solomon

Penjabat kepala eksekutif Solomon Power Martin Sam menuturkan bahwa penyebab tingginya biaya listrik "rumit". Geografi negara itu, dengan populasi 700.000 yang tersebar di ratusan pulau adalah salah satunya.

Alasan lainnya adalah sumber listrik.

"Sembilan puluh delapan persen pembangkit listri (negara) digerakkan oleh diesel," kata dia. "Itulah penyebab utama mahalnya biaya listrik di Kepulauan Solomon."

Menurut kelompok advokasi, selain biaya, hanya sekitar 15 hingga 20 persen penduduk Kepulauan Solomon memiliki akses ke listrik.

Anggota Parlemen Kepulauan Solomon Peter Kenilorea menilai bahwa situasi sekarang ini merupakan penghalang utama dalam pertumbuhan ekonomi negara dan bukan sesuatu yang bisa dibanggakan.

Kenilorea, seorang anggota parlemen oposisi dan pengkritik vokal pemerintah Perdana Menteri Manasseh Sogavare, menggarisbawahi bahwa dampak dari tingginya biaya listrik besar. Dan dia mengatakan "korupsi" dan kurangnya kemauan politik telah melumpuhkan kebijakan energi di negara tersebut.

"Ini komentar yang sulit untuk saya buat, tetapi ada pemain yang tidak melihat (keuntungan pribadi) untuk mereka di sektor energi, seperti yang mereka lihat dengan jelas dalam (sesuatu seperti) logging," tutur Kenilorea.

"Bila Anda memiliki biaya energi dan listrik tinggi maka itu berarti biaya hidup tinggi. Jadi, bisnis sulit untuk tumbuh dan berkembang... Listrik adalah penggerak besar di balik setiap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, meresap ke setiap lapisan masyarakat," sebut Kenilorea.

"Tanpa listrik, kita sebaiknya kembali ke Abad Kegelapan."

3 dari 3 halaman

Rencana Penurunan Tarif

Direktur divisi energi pemerintah Kepulauan Solomon John Korinihona menolak tuduhan korupsi atau kepentingan pribadi sebagai penyebab tingginya biaya listrik. Dia malah menyinggung pada rencana penurunan tarif.

Seorang pemilik bisnis, Craig Day, mengisahkan bagaimana tingginya biaya listrik membuatnya terpaksa menutup bisnisnya.

"Kami terpaksa melepas AC dan menutup mesin produksi es," ujarnya. "Mesin-mesin itu saja, menelan biaya US$ 9000 atau sekitar Rp 133 juta per bulan untuk memproduksi es."

Pemerintah Solomon mengklaim bahwa ada lebih banyak solusi yang sedang dikerjakan. Sekitar 20 kilometer di tenggara Honiara, proyek pembangkit listrik tenaga air Sungai Tina yang telah lama ditunggu-tunggu dikabarkan semakin dekat dengan penyelesaian.

Studi kelayakan untuk proyek tersebut dimulai pada tahun 2009. Namun, terjadi banyak penundaan atas proyek yang sebagian didanai oleh pemerintah Australia dan LSM seperti Dana Iklim Hijau dan Bank Pembangunan Asia.

Pemerintah Kepulauan Solomon kemudian mengatakan bahwa proyek itu diharapkan akan selesai dan beroperasi pada tahun 2025 atau 2026.

Ketika pembangkit listrik tenaga air Sungai Tina sudah beroperasi, Korinihona mengungkapkan, itu akan menyediakan 93 persen dari jaringan listrik Honiara atau 82 persen dari semua pembangkit listrik di negara itu, menggantikan "sejumlah besar" ketergantungan pada bahan bakar diesel.

"Ini merupakan pengurangan yang signifikan dalam konsumsi bahan bakar fosil tahunan Solomon Power dan pada gilirannya mengurangi tarif listrik," katanya.

Kembali ke Honiara, Peter hanya berharap perubahan akan memungkinkan dia mengakses listrik yang lebih murah, sehingga dia dapat membantu anak-anaknya mencapai impian mereka.

"Rencana saya Bridget jadi dokter, Shirwin jadi pengacara, Julius jadi pilot, Pius kerja di gereja... ini impian saya," ujar dia. "Memiliki akses ke listrik dapat memungkinkan anak-anak belajar di malam hari, sesuatu yang saya inginkan untuk mereka."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.