Sukses

UNICEF Sesalkan Tindakan Taliban yang Halangi Pendidikan Perempuan

UNICEF mengingatkan dampak kebijakan Taliban yang menjegal pendidikan perempuan.

Liputan6.com, Kabul - UNICEF mengingatkan Afghanistan bahwa menghalangi perempuan mendapat pendidikan justru bisa berpengaruh pada kesejahteraan. Pasalnya, ekonomi ikut terdampak jika pendidikan perempuan dihambat. 

Dilaporkan VOA Indonesia, Senin (15/8/2022), keputusan Taliban awal tahun ini untuk menghalangi pendidikan bagi anak-anak perempuan menghilangkan 2,5% produk domestik bruto (PDB) Afghanistan, kata Dana Anak-Anak PBB (UNICEF).

Selain itu, UNICEF mengatakan analisisnya “mengindikasikan bahwa Afghanistan tidak akan mampu meraih kembali PDB yang hilang selama transisi dan mencapai produktivitas potensialnya yang nyata tanpa memenuhi hak-hak anak perempuan untuk mengakses dan menyelesaikan pendidikan sekolah menengah.”

UNICEF Senin mengatakan, “Jika kelompok tiga juta anak perempuan yang sekarang ini dapat menyelesaikan pendidikan sekolah menengah mereka dan terjun ke pasar kerja, perempuan remaja dan dewasa akan berkontribusi sedikitnya $5,4 miliar bagi ekonomi Afghanistan.”

UNICEF mengatakan penghitungannya tidak memasukkan dampak nonfinansial dari menghalangi akses anak-anak perempuan ke pendidikan, yang mencakup kurangnya perempuan yang menjadi guru, dokter dan perawat. Ini, kata UNICEF, akan menyebabkan penurunan kehadiran anak-anak perempuan di sekolah dasar dan meningkatkan biaya kesehatan yang terkait dengan kehamilan remaja.

Keputusan Taliban “mengejutkan dan sangat mengecewakan,” kata Perwakilan UNICEF Afghanistan Dr. Mohamed Ayoya dalam sebuah pernyataan. Ini melanggar hak-hak dasar anak-anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, dan ini “membuat mereka terpapar pada kecemasan yang meningkat, serta risiko eksploitasi dan pelecehan yang lebih besar, termasuk perdagangan anak-anak, pernikahan dini dan pernikahan paksa,” lanjutnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Peringati Setahun Berkuasa, Taliban Umumkan Libur Nasional 15 Agustus

Taliban Afghanistan menyatakan hari Senin (15/8) sebagai “hari libur nasional” untuk menandai satu tahun pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah yang didukung internasional tahun lalu, di tengah penarikan mendadak pasukan Amerika dan NATO.

Pengambilalihan Taliban berlangsung cepat dan hampir tidak menghadapi perlawanan apapun dari pasukan keamanan Afghanistan yang sebelumnya dilatih Amerika sehingga memungkinkan mereka memasuki ibu kota Kabul dan kemudian menguasai seluruh negara itu. 

Pengumuman singkat Taliban hari Minggu (14/8) menyatakan, “Tanggal 15 Agustus adalah hari libur nasional untuk menandai ulang tahun pertama kemenangan jihad Afghanistan melawan pendudukan Amerika dan sekutunya.”

Pasukan asing pimpinan Amerika menarik diri dari negara itu setelah hampir 20 tahun berperang melawan Taliban, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Senin (15/8/2022).

Kelompok Islamis itu setuju untuk tidak mengizinkan Afghanistan digunakan oleh teroris transnasional, termasuk Al Qaeda, untuk menarget Amerika dan sekutunya. Taliban juga berjanji mereka akan menghormati hak-hak semua warga Afghanistan, termasuk perempuan dan tidak memberlakukan kembali kebijakan keras yang pernah diterapkan pada era 1996-2001.

Tetapi sejak merebut kekuasaan, pemerintahan kelompok garis keras yang khusus diisi oleh laki-laki itu telah secara signifikan membatalkan hak-hak perempuan untuk bekerja dan menempuh pendidikan, serta memberlakukan pembatasan kebebasan sipil dengan mengatakan hal itu sejalan dengan budaya Afghanistan dan hukum Islam.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 5 halaman

Taliban Dianggap Tak Buktikan Komitmen pada Kebebasan Pers

Satu tahun setelah Taliban merebut kekuasaan, media Afghanistan menghadapi sensor, kekerasan dan kesulitan ekonomi, dan suara perempuan sebagian besar dibungkam.

Ketika peringatan pengambilalihann kekuasaan semakin dekat, para jurnalis dan kelompok kebebasan media termasuk Wartawan Tanpa Batas atau Reporters Without Borders (RSF) dan Komite Perlindungan Wartawan (CPJ) memberikan penilaian tentang situasi media yang pernah berkembang pesat di negara itu.

Secara terpisah, wartawan yang berbicara dengan VOA menggambarkan arahan yang membatasi. Sedangkan mereka yang berada di provinsi terpencil mengatakan kondisinya lebih keras, termasuk media harus meminta izin sebelum menerbitkan berita, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (14/8).

Jurnalis perempuan dilarang bekerja di outlet media yang dikelola pemerintah. Mereka yang berada di sektor swasta dapat muncul di TV hanya jika wajah mereka ditutupi. Yang lain mengatakan mereka diintimidasi agar berhenti bekerja.

Karena media tidak lagi dapat menyiarkan musik atau sinetron populer dan program hiburan, dan sumber pendapatan iklan terputus, banyak outlet terpaksa berhenti beroperasi.

Aturan Taliban membatasi kebebasan pers dan membuka jalan bagi “penindasan dan penganiayaan,” kata pemantau media RSF dalam sebuah laporan baru.

Taliban “tidak menunjukkan komitmen sama sekali pada kebebasan pers,” kata Pauline Ades-Mevel, juru bicara RSF yang berbasis di Paris, kepada VOA.

4 dari 5 halaman

Jelang 1 Tahun Taliban Berkuasa di Afghanistan, Kisah Wartawan Kabur Terkuak

Tanggal 15 Agustus adalah peringatan satu tahun kembalinya Taliban berkuasa di Afghanistan pada 2021. Kisah ini mencakup laporan saksi mata pada hari jatuhnya Kabul, kisah-kisah pengungsi Afghanistan di seluruh dunia, dan analisis yang berdasarkan data tentang catatan pemerintahan dan hak azasi manusia di pemerintahan Taliban, di antara topik-topik lain.

Ketika sebuah stasiun berita televisi lokal di negara bagian New York menampilkan kisah seorang wartawan Afghanistan yang melarikan diri dari kekuasaan Taliban, wartawan itu - Esmatullah Bilal Ahmadzai tidak hanya sekadar mendapat liputan, namun juga pekerjaan di kantor berita televisi.

“Ketika saya meninggalkan Afghanistan, saya tidak percaya pada akhirnya saya akan menjadi wartawan lagi,” katanya. 

Pada waktu yang sama tahun lalu, Esmatullah menjadi pembawa berita untuk TV Shamshad, Afghanistan.

Ia selamat dari serangan terhadapnya dan stasiun TV tempatnya bekerja. Ia bahkan pernah melompat dari jendela lantai dua, untuk melarikan diri dari orang-orang bersenjata. Namun ia tetap berencana tinggal di negaranya, bahkan ketika Taliban sedikit demi sedikit merebut bagian-bagian Afghanistan tahun lalu.

Tetapi ketika para militan mencapai Kabul, ia dengan enggan memutuskan untuk pergi.

“Ketika saya meninggalkan Afghanistan, saya meneteskan air mata. Saya membayangkan hal-hal yang mengerikan. Saya tahu ketika saya masuk pesawat, Afghanistan memasuki zaman kegelapan,” ujar Ahmadzai.

Ratusan wartawan telah melarikan diri dari Afghanistan, tetapi banyak yang merasa kesulitan mendapat pekerjaan di media.

5 dari 5 halaman

Ulama Afghanistan Beri Dukungan

Ulama Afghanistan menegaskan dukungan mereka terhadap Taliban. Komunitas internasional pun diminta ikut mendukung pemerintahan Taliban di Afghanistan. 

Dilaporkan VOA Indonesia, Senin (4/7), dukungan itu ditegaskan pada sebuah pertemuan ulama Islam dan tetua suku yang berlangsung selama tiga hari dan berakhir Sabtu (2/7). Pihak yang hadir sepakat memberikan dukungan bagi Taliban dan menyerukan masyarakat internasional untuk mengakui pemerintahan Afghanistan yang dipimpin Taliban.

Pertemuan di Kabul itu dirancang sesuai dengan Loya Jirga Afghanistan – yaitu semacam dewan yang terdiri dari para tetua suku, pemimpin dan tokoh terkemuka – dan membahas masalah kebijakan di Afghanistan. Tetapi mayoritas yang hadir dalam pertemuan kali ini adalah pejabat dan pendukung Taliban, kebanyakan ulama Islam.

Tidak seperti Loya Jirga terakhir yang dilangsungkan di bawah pemerintah sebelumnya yang didukung Amerika, kali ini perempuan tidak diizinkan hadir.

Bekas kelompok gerilyawan yang telah sepenuhnya berkuasa untuk mengambil keputusan sejak mengambilalih negara itu pertengahan Agustus 2021 lalu, menyebut pertemuan itu sebagai forum untuk membahas masalah-masalah yang dihadapi Afghanistan.

Ansari mengatakan lebih dari 4.500 ulama dan tokoh terkemuka Islam yang menghadiri forum itu telah memperbarui kesetiaan dan kepatuhan pada pemimpin tertinggi dan kepala spiritual Taliban, Haibatullah Akhundzada.

Mengutip 11 poin pernyataan yang dirilis di akhir pertemuan itu, ulama Mujib-ul Rahman Ansari mendesak negara-negara di kawasan dan di dunia, PBB, bersama organisasi Islam dan lainnya untuk mengakui Afghanistan yang dipimpin Taliban. Ia juga menyerukan dihapusnya semua sanksi yang diberlakukan sejak Taliban berkuasa dan dicairkannya aset-aset Afghanistan di luar negeri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.