Sukses

Studi: Pemisahan Negara dan Agama Memicu Kemakmuran Lebih Tinggi

Liputan6.com, London - Sebuah studi ilmiah terbaru menyebut pemisahan negara dan agama dapat membuat sebuah masyarakat lebih makmur.

Dengan menggunakan data dari berbagai negara, mulai dari Albania hingga Zimbabwe, para peneliti menganalisis hubungan antara nilai-nilai yang dipegang oleh berbagai negara dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Mereka menemukan bahwa sekularisasi cenderung terbentuk sebelum pertumbuhan ekonomi selama Abad ke-20, di mana hal itu menjawab sebagian menjawab pertanyaan lama tentang hubungan agama dan kesejahteraan ekonomi.

Di masa lalu, sebagaimana dikutip dari Independent.co.uk pada Kamis (19/7/2018), sosiolog telah memperdebatkan kedua hal, sekuler dan kekayaan (prosperity).

Beberapa menyebut kemajuan teknologi dan masyarakat pada dasarnya telah menggantikan banyak fungsi agama, sementara yang lain berpendapat apa yang disebut "etika kerja Protestan" berkontribusi pada perkembangan kapitalisme.

Hubungan antara agama dan kekayaan telah diketahui selama beberapa dekade, sebagaimana para peneliti telah mengamati bahwa negara-negara termiskin cenderung sangat religius.

Sementara penelitian baru tidak menunjukkan hubungan kausal antara kurangnya kesalehan dan pembangunan ekonomi, di mana menunjukkan bahwa kekayaan itu sendiri bukanlah penyebab dari sekularisasi.

"Temuan kami menunjukkan bahwa sekularisasi mendahului perkembangan ekonomi dan bukan sebaliknya," kata Damian Ruck, peneliti utama studi tersebut pada University of Bristol.

"Namun, kami menduga hubungan itu tidak langsung kausal. Kami melihat bahwa sekularisasi hanya mengarah pada pembangunan ekonomi ketika disertai dengan rasa hormat yang lebih besar untuk hak-hak individu."

 

Simak videi pilihan berikut: 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Toleransi Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi

Untuk penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances tersebut, para peneliti menggunakan data dari European Values ​​Survey dan World Values ​​Survey, yang telah diambil sejak 1990.

Selain itu, mereka juga mengajukan berbagai macam pertanyaan tentang segala hal, mulai dari nilai-nilai keluarga hingga pandangan tentang homoseksualitas.

Untuk mengetahui nilai-nilai kehidupan dari awal 1990, peneliti melihat pandangan orang-orang yang lahir di dekade sebelumnya, atas dasar bahwa sudut pandang tersebut akan menjadi perwakilan dari waktu mereka dilahirkan.

Dr Alex Bentley, seorang rekan penulis penelitian dari University of Tennessee mengatakan: "Selama Abad ke-20, perubahan dalam pentingnya praktik keagamaan tampaknya telah memprediksi dinamikan PDB di seluruh dunia."

"Ini tidak berarti bahwa sekularisasi menyebabkan pembangunan ekonomi, karena kedua perubahan itu mungkin disebabkan oleh beberapa faktor ketiga dengan jeda waktu yang berbeda, tetapi setidaknya kita bisa mengesampingkan pertumbuhan ekonomi sebagai penyebab sekularisasi di masa lalu," lanjut Dr Bentley menjelaskan.

Analisis statistik oleh tim peneliti terkait menyebut bahwa toleransi untuk hak individu sebenarnya memprediksi pertumbuhan ekonomi, bahkan lebih baik daripada sekularisasi.

Ini menunjukkan bahwa toleransi adalah pendorong utama keberhasilan suatu masyarakat, sebuah hasil yang masuk akal mengingat manfaat ekonominya.

Membiarkan wanita mengakses perceraian dan aborsi, misalnya, telah menyebabkan masuknya lebih banyak kaum Hawa dalam angkatan kerja selama bertahun-tahun.

"Sangat sering sekularisasi memang disertai dengan toleransi yang lebih besar terhadap homoseksualitas, aborsi, perceraian, dan lain-lain," kata Ruck.

"Tapi itu tidak berarti bahwa negara-negara beragama tidak bisa menjadi makmur. Lembaga agama perlu menemukan cara mereka sendiri untuk memodernisasikan dan menghormati hak-hak individu."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.