Sukses

Selain Mitos Ikan Mas, Ini 2 Kisah Mengejutkan Danau Toba yang Tak Banyak Diketahui

Liputan6.com, Jakarta - Danau Toba tengah menjadi sorotan setelah KM Sinar Bangun tenggelam di sana pada Senin, 18 Juni 2018. Hingga berita ini diturunkan, 170 dari 192 penumpang masih dinyatakan hilang. 

Proses evakuasi dan penyelidikan terkait penyebab kecelakaan masih dilakukan. Namun, sejumlah spekulasi beredar, dari soal over kapasitas hingga dugaan kelalaian. Bahkan, ada yang menyinggung soal mistis. 

Belakangan, desas-desus yang tak terbukti kebenarannya beredar, yakni soal legenda ikan mas. Binatang air seberat 14 kilogram itu disebut-sebut sebagai "penunggu" Danau Toba.

Dugaan itu berawal dari tulisan Rismon Sirait yang juga mengunggah foto ikan mas ukuran besar yang disebut hasil tangkapan pemancing di Danau Toba, tepatnya di kawasan Tao (Danau) Silalahi, Desa Paropo,

Pria bernama lengkap Rismon Raja Mangatur Sirait yang dikenal sebagai budayawan muda Batak dan menyebut dirinya sebagai Guru Spiritual Danau Toba menuturkan, ia percaya bahwa penangkapan ikan mas itu berbuah malapetaka.

"Dengan bangganya para pemancing tidak mengindahkan saran orang tua disana langsung membawa ikan Mas ini kerumahnya untuk di masak dan dimakan," tulis dia di laman Facebooknya.

Berikut ini posting-an lengkapnya:

Ikan hasil pancingan ini cukup menghebohkan warga sekitar karena ukurannya yang luar biasa.

Selain ikan mas tersebut, berikut ini dua keanehan lain dari Danau Toba yang Liputan6.com kutip dari beragam sumber:

 

 

Saksikan juga video berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

1. Nenek Moyang Manusia Jadi Saksi Letusan Toba

Komunitas ilmu pengetahuan yang mendalami sejarah manusia purbakala pernah dikejutkan dengan temuan terbaru yang didapat dari Indonesia.

Sekelompok arkeolog berhasil menemukan fosil yang mampu menambah fakta ilmiah mengenai eksistensi awal Homo sapiens di Asia Tenggara.

Temuan terbaru itu juga menambah fakta sains mengenai kondisi ekosistem terkait letusan gunung berapi super di Toba, Sumatera, pada 69.000 - 77.000 tahun lalu.

Erupsi super itu merupakan penyebab terbentuknya kawah besar yang kemudian terisi air, atau yang kini kita kenal sebagai Danau Toba.

Namun, erupsi masif itu juga menimbulkan efek bencana mahadahsyat. Diperkirakan, sekitar 60 persen makhluk hidup binasa pada saat itu.

Meski begitu, sebelum bukti baru ditemukan, ilmuwan meyakini bahwa manusia belum eksis kala letusan katastropik itu terjadi. Namun, cara pandang itu mungkin akan mengalami perubahan.

Berdasarkan temuan teranyar, tim peneliti dari Australia menyimpulkan bahwa sekelompok manusia telah hadir di kawasan Asia Tenggara dan Sumatera pada periode yang sama dengan letusan gunung berapi super Toba terjadi.

Ini berarti, kala erupsi mahadahsyat itu berlangsung, Homo sapiens diduga turut menjadi saksi.

Terobosan hipotesis itu diperoleh setelah tim peneliti menemukan sejumlah fosil baru berupa gigi manusia di Gua Lida Ajer, Dataran Tinggi Padang, Sumatera Barat. Demikian seperti yang dilansir dari Newsweek, Kamis 10 Agustus 2017.

"Ada kemungkinan kecil bahwa sekelompok manusia yang bermigrasi berhasil tiba di Sumatera tepat sebelum super erupsi Toba terjadi. Namun, besar kemungkinan pula mereka tiba di sana setelah bencana itu," ujar Kira Westaway, anggota tim peneliti dari Macquarie University Australia.

Telaah itu juga merombak hasil temuan sebelumnya yang menyebut bahwa manusia homo sapiensbaru ada di kawasan Sumatera dan Asia Tenggara sekitar 45.000 - 60.000 tahun lalu. Temuan terbaru itu mendorong jauh periode eksistensi manusia di Indonesia hingga sekitar 20.000 - 30.000 tahun lamanya.

"Temuan awal menunjukkan bahwa Homo sapiens tiba di Kalimantan pada 45.000 tahun yang lalu. Namun, temuan terkini mendorong jauh kehadiran mereka hingga 20.000 tahun lamanya," jelas Kira Westaway. Atau dengan kata lain, nenek moyang manusia tiba di nusantara sekitar 65.000 tahun lalu.

Analisis fosil gigi teranyar itu juga menunjukkan bahwa homo sapiens yang kala itu hidup di kawasan Asia Tenggara, tinggal di lingkungan hutan hujan lebat seperti Sumatera dan Borneo (Kalimantan).

Hipotesis teranyar dianggap dapat merombak perspektif tradisional mengenai pola gaya hidup dan migrasi manusia.

Perspektif tradisional menyebut bahwa manusia melakukan pola migrasi melalui jalur pesisir pantai yang dianggap lebih aman ketimbang kawasan hutan. Rute yang diambil oleh nenek moyang manusia kala itu adalah bertolak dari Afrika Selatan untuk menyisir pesisir pantai timur Benua Hitam menuju ke utara.

Saat tiba di Tanduk Afrika di utara, nenek moyang homo sapiens kemudian melintas dan menyebar ke Eropa, Timur Tengah, Asia Barat, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, hingga ke Australia.

Pola migrasi yang panjang itu membuat manusia lebih sering tinggal di wilayah pesisir. Kawasan itu juga diyakini lebih aman dan penuh dengan penyokong hidup ketimbang wilayah hutan.

Akan tetapi, temuan fosil di Gua Lida Ajer menunjukkan bahwa ada sekelompok manusia yang hidup di dan bermigrasi melalui jalur hutan. Temuan itu menjadi kejutan tersendiri bagi para ilmuwan.

"Hutan hujan memerlukan keahlian hidup yang sulit, karena membutuhkan inovasi dan teknologi yang canggih," tambah Westaway.

"Menemukan bukti kehidupan mereka di hutan menunjukkan betapa telah sangat berkembangnya Homo sapiens kala itu dari segi keahlian dan kecerdasan," pungkasnya.

Hasil temuan dirilis dalam jurnal ilmiah Nature, International Weekly Journal of Science pada 9 Agustus 2017.

Ada Kekuatan Tersembunyi di Bawah Toba?

Menurut sejumlah ilmuwan, danau itu terbentuk karena erupsi hebat Gunung Toba yang terjadi pada 74.000 tahun lalu. Dilansir dari Daily Mail, letusan tersebut membinasakan sekitar 60 persen makhluk hidup pada saat itu.

Kala meletus, Gunung Toba memuntahkan 2.500 kilometer kubik lava, setara dua kali volume Gunung Everest. Erupsinya 5.000 kali lebih mengerikan dari letusan Gunung St Helens pada 1980 di Amerika Serikat.

Menurut situs Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), dalam waktu sekitar dua minggu, ribuan kilometer kubik puing dimuntahkan dari puncaknya. Aliran piroklastik--awan yang merupakan campuran gas panas, serpihan batu, dan abu--mengubur wilayah sekitar 20.000 kilometer persegi di sekitar kaldera.

Pasca-letusan, Gunung Toba meninggalkan kaldera modern yang dipenuhi air--menjadi Danau Toba. Sementara, Pulau Samosir terangkat oleh magma di bawah tanah yang tidak meletus.

Walaupun telah terjadi puluhan ribu tahun lalu, para peneliti memprediksi erupsi dahsyat Danau Toba akan terjadi lagi. Namun menurut mereka, peristiwa tersebut tampaknya tak akan terjadi dalam waktu dekat.

3 dari 3 halaman

2. 'Misteri' Danau Toba Bergolak Saat Gempa Aceh 2012

Bumi Aceh berguncang dua kali pada Rabu, 11 April 2012. Gempa pertama dengan kekuatan 8,5 skala Richter terjadi pada pukul 15.38 WIB, dua jam kemudian, giliran lindu 8,1 SR yang bikin hati nyeri.

Warga di wilayah pesisir Sumatera, khususnya Aceh, berlarian ke luar rumah. Mobil, motor, dan orang-orang memenuhi jalanan, semua ingin cepat-cepat menuju area yang lebih tinggi. Mencari selamat.

"Saya sungguh takut. Aku tak ingin kehilangan keluarga lagi," kata Aisyah Husain, sambil memeluk anak-anaknya. Ia kehilangan ayah, ibu, dan seorang putra dalam bencana tsunami Aceh 2004.

Guncangan juga dirasakan warga yang tinggal di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, danau vulkanik terbesar di dunia.

Selama sekitar 5 menit, Bumi berguncang kuat. Warga Parapat dan Pulau Samosir berhamburan ke luar rumah. Mereka yang kebetulan berada di tepi danau menjadi saksi dari peristiwa yang tak biasa.

Air Danau Toba yang biasanya tenang, bergolak dan membentuk pusaran, laiknya aliran sungai deras. Meski tak mungkin terjadi, tak sedikit warga menduga bakal ada tsunami dari tengah danau. 

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut, pusaran Danau Toba bisa saja terjadi karena episentrum gempa tak jauh dari wilayah Sumatera Utara. 

Namun, guncangan tak sampai mengganggu aktivitas magma di dasar Danau Toba--yang dilindungi batuan setebal 30-40 km. 

Sekitar 70.000 tahun lalu, di wilayah yang kini menjadi Danau Toba, terjadi letusan dahsyat gunung api purba, yang diyakini terbesar dalam kurun waktu 2 juta tahun terakhir. 

Toba sebelumnya adalah gunung purba.

Seperti dimuat situs Badan Antariksa AS, NASA, dalam waktu sekitar dua minggu, ribuan kilometer kubik puing dimuntahkan dari Kaldera Toba di Sumatera Utara. Aliran piroklastik--awan yang merupakan campuran gas panas, serpihan batu, dan abu--mengubur wilayah sekitar 20.000 kilometer persegi di sekitar kaldera.

Di Pulau Samosir, tebal lapisan abu bahkan mencapai 600 meter. Abu Toba juga menyebar ke seluruh dunia. Di India misalnya, ketebalan abu sampai 6 meter.

Pascaletusan, Gunung Toba kolaps, meninggalkan kaldera modern yang dipenuhi air--menjadi Danau Toba. Sementara, Pulau Samosir terangkat oleh magma di bawah tanah yang tidak meletus. Gunung Pusuk Buhit di dekat danau itu juga terbentuk pascaletusan.

Awalnya ilmuwan menduga, letusan Toba menyebabkan penurunan suhu global hingga 10 derajat Celsius selama hampir satu dekade dan membinasakan makhluk hidup, termasuk nenek moyang manusia. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.