Sukses

Presiden Hollande: Prancis dalam Keadaan Perang

Perang tersebut bukan melawan peradaban sipil. Para teroris pembunuh itu tidak akan pernah mewakili peradaban mana pun.

Liputan6.com, Paris Di tengah makin memanasnya Prancis melawan ISIS, Presiden Francois Hollande bersumpah akan mengintensifikasikan serangan udara negaranya melawan grup teror itu.

ISIS adalah mastermind atau otak serangan teror Paris pada Jumat, 13 November 2015. Salah satu dedengkot perancang serangan itu adalah warga Belgia yang tinggal di Suriah.

Di depan parlemen di Istana Versailles, Hollande berpidato bahwa ia akan bersumpah membasmi ISIS.

"Prancis kini dalam keadaan perang... tapi kita tidak berperang dengan peradaban sipil karena para pembunuh teroris itu tidak mewakili perabadan mana pun," kata Hollande pada Senin, 16 November seperti dilansir dari The Guardian.

Sehari setelah jet-jet Prancis menggempur basis ISIS di Raqqa, Hollande menegaskan bahwa serangan udara akan terus ditingkatkan seiring dengan kedatangan kapal induk Charles de Gaulle di timur Laut Mediterania.

Hollande juga mengatakan dalam beberapa minggu ke depan ia akan bertemu Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Vladimir Putin demi memperkuat koalisi melawan ISIS.

Di Paris, menurut Menteri Dalam Negeri Bernard Cazeneuve, polisi telah berhasil menemukan ratusan senjata dan amunisi di 160 lokasi penggerebekan yang dilakukan polisi anti-teror. Sebanyak 23 orang telah diamankan, sementara 104 orang mendapat tahanan rumah.

Hollande mendeskripsikan serangan berdarah dan bom bunuh diri yang terjadi di bar, restoran, stadion serta gedung konser yang membunuh 129 orang adalah serangan 'mengajak perang'.

"Mereka memutuskan dan merencanakan teror di Suriah. Mereka menyiapkan dan mengatur rencana teror di Belgia lalu masuk ke tanah kami, Prancis," kata Hollande.

Hollande juga menetapkan status 'negara dalam keadaan bahaya' hingga tiga bulan mendatang. Ia pun menuntut perubahan undang-undang yang membuat pihak keamanan menambah kekuatan perang melawan teror.

Selain itu, kekuatan polisi ditambah hingga 5.000 personel. Sebanyak 2.500 staf hukum, termasuk hakim dan jaksa serta seribu petugas Bea Cukai, akan dipekerjakan dan pemotongan jumlah militer akan dihentikan.

Otoritas Prancis mengatakan bahwa 5 dari 7 bomber bunuh diri berhasil diidentifikasi. Empat di antaranya dari Prancis dan yang kelima kemungkinan dari Suriah.

Satu dari tiga penyerang meledakkan dirinya di gedung konser Bataclan adalah Samy Amimour. Pria 28 tahun itu berprofesi sebagai pengemudi bus di Drancy, Paris.

Pelaku yang lain, Ahmad Almohammad, diketahui dari Idlib, Suriah. Ia meledakkan dirinya di Stadion Stade de France. Sebuah paspor Suriah berada di sisa jasadnya. Sidik jari di paspor itu sama persis dengan seseorang yang transit di Pulau Leros Yunani pada Oktober, lalu ia meminta status pencari suaka di Serbia 4 hari kemudian.

Omar Ismail Mostefai yang diidentifikasi berusia 29 tahun diketahui berasal dari Charters, Prancis. Ia adalah bomber pertama yang berhasil diidentifikasi.

Sumber di kepolisian menyebut 2 nama bomber lainnya, yaitu Bilal Hadfi dan Brahim Abdeslam. Keduanya adalah saudara dari Salah Abdeslam, warga Prancis kelahiran Brusel yang kini tengah buron.

Media-media Prancis menyebut peneror itu telah menghabiskan waktunya di Suriah. Sebuah angka resmi pemerintah menyatakan bahwa ada 520 pria dan wanita warga negara Prancis menghabiskan waktu di Suriah dan Irak. Sebanyak 137 tewas di sana dan 250 lainnya kembali ke Prancis.

Rumah-rumah sakit di Prancis melaporkan mereka merawat 415 orang yang terluka atau trauma atas serangan paling mematikan di Prancis semenjak Perang Dunia Kedua itu. Sementara itu, 40 lainnya dalam keadaan kritis.

Sejauh ini, operasi penggerebekan Polisi Anti-Teror terus dilakukan hingga ke kota-kota lain di seluruh Prancis.

"Kita semua tahu bahwa operasi itu telah direncakan dan masih berjalan hingga kini. Prancis masih di bawah ancaman terorisme," kata Perdana Menteri Prancis Manuel Valls.

Menutup pidatonya, Hollande menegaskan bagaimanapun musuh-musuh dan pejahat berhasil memporakporandakan negerinya, Prancis tidak akan berubah.

"Para barbar itu boleh menyerang kami, tapi jiwa Prancis tidak akan berubah. Teroris tidak bisa menghancurkan Republik (Prancis). Tapi Republik bisa menghancurkan terorisme," ujar Hollande.

(Rie/Tnt)**

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.