Sukses

Peneliti: Biaya Pengobatan Gangguan Jiwa di Indonesia Capai Rp87,5 Triliun Setahun

Satu dari empat orang di seluruh dunia akan terkena masalah kesehatan mental dalam perjalanan hidup mereka. Pandemi COVID-19 telah meningkatkan risiko kita terkena masalah kesehatan jiwa.

Liputan6.com, Jakarta Pandemi COVID-19 bukan hanya memporak-porandakan perekonomian negara, melainkan juga kesehatan mental seorang individu.

Seperti dimuat laman the Conversation, satu dari empat orang di seluruh dunia akan terkena masalah kesehatan mental dalam perjalanan hidup mereka. Pandemi COVID-19 telah meningkatkan risiko kita terkena masalah kesehatan jiwa.

Pada 2018, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia, depresi merupakan kasus terbanyak (300 juta orang) di seluruh dunia. Lalu disusul gangguan kecemasan (200 juta orang), gangguan bipolar (60 juta), serta skizofrenia dan psikosis lainnya (23 juta).

Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar menyatakan gangguan jiwa pada penduduk berusia 15 tahun ke atas naik dari 6% pada 2013 menjadi 9,8% pada 2018.

Dari angka tersebut, 6% adalah depresi, sementara sisanya termasuk gangguan bipolar dan kecemasan. Dengan angka kasus skizofrenia pada usia 15 tahun ke atas mencapai 7 per mil, maka 7 dari 1.000 rumah tangga memiliki anggota dengan skizofrenia atau setara dengan sekitar 470.000 orang.

Masalahnya selain jumlahnya besar biaya pengobatannya tidak murah

Sebuah riset yang dilakukan the Conversation bekerjasama dengan Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran memperkirakan biaya pengobatan secara nasional untuk keempat jenis gangguan jiwa (skizofrenia, gangguan bipolar, depresi, dan gangguan kecemasan) di negeri ini mencapai Rp 87,5 triliun (US$ 6,2 miliar) setahun.

Walau saat ini biaya pengobatan untuk gangguan jiwa dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan, pasien dan keluarga tetap harus menanggung biaya transportasi dan biaya lainnya untuk menuju ke tempat layanan kesehatan.

Untuk mengurangi risiko masalah kesehatan mental, setiap individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah perlu meningkatkan deteksi dini gangguan kesehatan mental. Pasien perlu dibantu untuk berobat sampai sampai sembuh.

"Penelitian kami memperkirakan biaya pengobatan yang berdasarkan pada biaya langsung per tahun, dengan anggapan bahwa pasien patuh pada pengobatan," tulis penulis Irma Melyani Puspitasari selaku Associate professor dari Universitas Padjadjaran.

Biaya langsung mengacu pada biaya yang terkait dengan diagnosis dan pengobatan. Sedangkan hilangnya pendapatan akibat kematian, kecacatan, dan pencarian perawatan, termasuk kerugian produktivitas karena absen kerja atau pensiun dini kerap disebut sebagai biaya tidak langsung.

Dengan menggunakan data dari rumah sakit rujukan nasional di Indonesia pada 2016-2018, riset ini menentukan profil pengobatan dan memperkirakan biaya pengobatan pasien skizofrenia, gangguan bipolar, depresi dan gangguan kecemasan di Indonesia.

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Perawatan gangguan jiwa yang mahal

Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan kompleks yang ditandai dengan perubahan perilaku, pola pikir kacau, delusi, halusinasi, dan disfungsi psikososial. Sedangkan depresi merupakan penyakit mental yang ditandai dengan suasana hati yang menurun, kehilangan minat, perasaan bersalah, nafsu makan menurun, tidur terganggu, dan konsentrasi rendah.

Adapun gangguan bipolar merupakan gangguan mood yang ditandai dengan episode mania atau hipomania yang muncul secara bergantian atau bersamaan dengan episode depresi. Sedangkan gangguan kecemasan melibatkan rasa takut yang berlebihan dan tidak rasional. Gangguan ini dianggap sebagai gangguan kejiwaan yang paling umum, dan ditandai dengan gejala fisik seperti kelelahan.

Dari data riset ini tampak bahwa setiap pasien mengunjungi rumah sakit hanya 2-3 kali setahun. Temuan ini sesuai dengan data Riset Kesehatan Dasar 2018 yang melaporkan hanya 9% pasien depresi di Indonesia yang berobat.

Dari sistem informasi rumah sakit, data menunjukkan rata-rata biaya pengobatan per pasien per tahun adalah Rp 3.307.931 (US$ 236) untuk skizofrenia. Lalu Rp 17.978.865 (US$ 1.284) untuk gangguan bipolar, Rp 1.601.850 (US$ 114) untuk depresi, dan Rp 1.190.563 (US$ 85) untuk gangguan kecemasan.

Di antara semua gangguan jiwa, biaya pengobatan gangguan bipolar paling mahal, yaitu Rp 17.978.865 (US$1.284) per pasien.

Dengan asumsi bahwa semua pasien mengikuti perawatan medis dalam 1 tahun, biaya langsung yang tertinggi secara nasional adalah pengobatan gangguan bipolar, mencapai Rp 62,9 triliun (US$ 4,5 miliar).

Biaya pengobatan untuk kondisi depresi juga tinggi, yakni Rp 18,9 triliun (US$ 1,3 miliar). Sedangkan biaya untuk mengatasi gangguan kecemasan dan skizofrenia, masing-masing Rp 4,2 triliun (US$ 297 juta) dan Rp 1,5 triliun (US$ 110 juta).

Dari angka-angka itu, total biaya adalah Rp 87,5 triliun (US$ 6,2 miliar) per tahun.

Beban Dunia

Menurut World Economic Forum pada 2011, beban ekonomi gangguan kejiwaan di seluruh dunia diperkirakan akan mencapai US$ 6 triliun pada 2030.

Gangguan kesehatan mental merupakan salah satu penyebab utama dari keseluruhan beban penyakit (burden of disease atau BOD) sedunia.

BOD juga dikenal sebagai biaya penyakit (cost of illness atau COI), mencakup berbagai aspek dampak penyakit pada hasil kesehatan di suatu negara, wilayah tertentu, komunitas, dan bahkan individu.

Sekitar sepertiga dari BOD kesehatan mental menjadi penyebab hilangnya produktivitas, termasuk yang terkait dengan pengangguran, kecacatan, dan kinerja kerja yang rendah.

Dalam konteks Indonesia, kurangnya wawasan mengenai pentingnya penanganan kesehatan jiwa yang berkelanjutan, stigma negatif terhadap pasien, dan biaya yang mahal merupakan masalah yang menyulitkan untuk mengatasi gangguan jiwa.

Pada level individu, faktor-faktor ini juga mempengaruhi kepatuhan pengobatan pasien. Dampaknya, banyak pasien yang tidak patuh terapi sehingga masalahnya berlarut-larut. Bahkan banyak dari mereka yang tidak mencari pertolongan untuk mengatasi kondisi tersebut.

Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat harus bekerja sama dalam upaya pencegahan dan penguatan pelayanan kesehatan jiwa dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang sifatnya menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

Butuh terapi berkelanjutan

Pengobatan gangguan jiwa membutuhkan terapi berkelanjutan. Pada terapi skizofrenia, obat golongan antipsikotik adalah pilihan utama.

Selain itu, terapi perilaku kognitif (CBT) adalah salah satu intervensi non-obat pertama yang termasuk dalam pedoman pengobatan untuk skizofrenia.

CBT membantu mengubah pola pikir, perasaan, dan perilaku yang tidak diinginkan, serta dapat mengurangi perilaku tidak teratur yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

Untuk gangguan bipolar, pengobatan bertujuan untuk memperbaiki gejala mania atau depresi pada pasien, sehingga memungkinkan tercapainya suasana hati yang stabil (euthymia).

Terapi utama untuk episode mania maupun episode depresi pada gangguan bipolar adalah obat untuk menstabilkan mood, agen antipsikotik, atau kombinasi keduanya.

Sementara itu, depresi biasanya diobati dengan antidepresan, psikoterapi, atau kombinasi keduanya. Bagi pasien gangguan kecemasan, terapi lini pertama yang disarankan adalah antidepresan, dengan tujuan mencegah kekambuhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Secara keseluruhan, mengingat kasus-kasus gangguan kesehatan jiwa yang semakin meningkat setiap tahun dan biaya yang tinggi, maka pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia harus terlibat untuk mengatasi masalah ini.

3 dari 3 halaman

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.