Sukses

"Kata Siapa Negara Berkembang Krisis, Itu Cuma <i>Omdo</i>?"

Tudingan negara berkembang, termasuk Indonesia, tengah dilanda krisis langsung ditampik ahli investasi dari Coutts & Co. Apa pembelaannya?

Klaim investasi asing hengkang dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tak sepenuhnya benar. Calon negara besar di dunia ini justru tengah menjadi incaran pemodal yang ingin mengambil untung dari kondisi tersebut.

Unit bisnis pengelola kekayaan (wealth management) dari Royal Bank of Scotland Group Plc (RBS), Coutts & Co, mengungkapkan pihaknya sama sekali tak melihat krisis di negara berkembang.

Justru, para klien kaya kini tengah mencari kesempatan untuk memperbesar investasinya di tengah penurunan yang berlangsung beberapa bulan terakhir.

"Jika Anda melihat neraca perdagangan dari klien kami, mereka justru tengah melakukan aksi beli," tegas Chief Investment Officer Coutts untuk wilayah Asia dan Timur Tengah, Gary Dugan seperti dikutip laman Bloomberg, Senin (10/2/2014).

"Ada nafsu besar di Asia dan Rusia setelah aksi jual. Tak ada krisis yang ada hanya omongan doang," tegas Dugan.

Tudingan krisis yang menerjang negara berkembang telah membagi investor dalam beberapa kelompok.  Mark Mobius, Chairman dari Templeteon Emerging Market Group, pekan lalu mengatakan investor melakukan aksi jual dan pihaknya menahan diri untuk melakukan aksi beli.

Jim O'Neill, mantan Chairman dari Goldman Sachs Asset management yang menciptakan istilah BRIC mengatakan, penurunan yang terjadi di negara berkembang adalah peluang untuk membeli.

Nilai aset negara berkembang tahun ini mengalami kontraksi setelah ekonomi China mengalami perlambatan. Selain itu, kurs mata uang India hingga Turki juga melemah yang berdampak naiknya tingkat suku bunga acuan.

Dari Amerika Serikat, The Federal Reserves terus menekan pengurangan dana stimulus yang berdampak penarik lebih dari US$ 12 miliar dari negara berkembang.

Data EPFR Global mencatat penarikan investasi pemodal asing ini merupakan yang terbesar sejak Januari 2008.

Pada kenyataannya, defisit transaksi berjalan di sejumlah negara berkembang justru semakin pendek. Defisit neraca transajsu berjalan India saat ini berada di bawah US$ 50 miliar dari sebelumnya sempat mencapai US$ 88 miliar.

Perbaikan juga dialami Indonesia yang kemungkinan hanya mengalami defisit neraca transaksi berjalan di bawah 2% dari PDB pada kuartal terakhir 2013.

"Jika Anda melihat lebih dalam apa yang dialami India dan Indonesia, permasalahan ini telah muncul sejak pertengahan tahun lalu, namun

Diantara negara anggita BRIC, India dan China merupakan pasar investasi paling atrractive. Diluar kelompok tersebut, Taiwan, Korea Selatan dan Indonesia juga memiliki daya tarik tersendiri.

Investor kini justru menghindari negara-negara di Amerika latin, Afrika Selatan, dan Turki. (Shd)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.