Sukses

Beras Premium Langka, Mendag Bantah Ada Permainan Mafia

Kementerian Pertanian (Kementan) memprediksi jumlah produksi beras pada Maret 2023 sebesar 6,1 juta ton gabah, kering, giling (GKG) dan April akan lebih tinggi lagi dibandingkan Maret.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan memastikan bahwa kenaikan harga beras yang terjadi saat ini bukan karena adanya permainan mafia beras. Ia membantah bahwa langkahnya beras kualitas medium dan premium ini karena adanya penimbun beras.

Zulkifli Hasan mengatakan, kenaikan harga beras premium disebabkan kemunduran masa panen raya. "Nggak ada. Ya memang barangnya (beras) nggak ada, gimana? Barangnya belum panen," ujar dia kepada media, di Pasar Klender, Jakarta, Senin (26/2/2024).

Permintaan beras premium lokal yang tinggi, mengakibatkan kenaikan harga di pasaran saat ini. Bukan berartinya adanya mafia beras atau penimbun.

 

"Kalau itu diminta terus pasti akan naik," imbuhnya.

 

Sehingga, kata Zulhas diharapkan masa panen raya padi akan jatuh pada Maret hingga Mei 2024.

Diketahui, Kementerian Pertanian (Kementan) memprediksi jumlah produksi beras pada Maret 2023 sebesar 6,1 juta ton gabah, kering, giling (GKG) dan April akan lebih tinggi lagi dibandingkan Maret.

"Salah satunya di Jawa Timur misalnya di Ngawi sudah mulai memasuki musim panen dan siap berproduksi. Ngawi salah satu sentra produksi nasional," kata Direktur Serelia Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan, Ismail Wahab, beberapa waktu lalu.

Reporter: Ayu

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Beras Langka dan Mahal Ternyata Bukan Ulah Mafia, Tapi Gara-Gara Ini

Sebelumnya, pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menyoroti ketentuan harga eceran tertinggi (HET) beras sebagai dalang dibalik beras langka dan mengalami kenaikan harga. Bukan karena mafia yang belum ada bukti jelasnya, ia lebih melihat HET sebagai faktor utama yang membuat perdagangan beras saat ini bermasalah.

Menurut catatannya, harga gabah kering panen di Jawa Timur saat ini sudah berada di angka Rp 8.400-8.700 per kg. Sementara untuk jadi produk beras harganya berada di kisaran Rp 15.750-16.600 per kg, dengan proses penggilingan dari padi menjadi beras (rendemen) 53 persen.

Sementara pemerintah mengatur HET beras untuk zona 1 (Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, NTB, dan Sulawesi) di angka Rp 10.900 untuk beras medium, dan Rp 13.900 untuk beras premium.

"Di Jalur Sumsel, harga gabah kering panen hari-hari ini Rp 7.500 per kg. Untuk jadi beras sudah di harga Rp 14.200 per kg. Sementara HET beras premium jauh di bawah itu, Rp 13.900 per kg. Ini yang membuat pedagang beras dan penggilingan padi menjerit," jelas Khudori kepada Liputan6.com, Senin (19/2/2024).

Oleh karenanya, ia mengatakan, pedagang dan penggilingan padi tidak lagi memasok ke ritel-ritel modern karena merugi. Sebab pengelola supermarket tidak berani melanggar HET.

Jika pedagang dan penggilingan tetap ingin menjual produknya di ritel atau pasar modern, rata-rata pengelola ritel meminta harga di bawah HET Rp 13.900 per kg agar tidak merugi.

"Kalau peritel modern ambil untung Rp 200 per kg, berarti terima dari pedagang atau penggilingan Rp 13.700 per kg. Jika untung peritel lebih gede dari itu, harga dari pedagang atau penggilingan lebih rendah lagi. Alias kerugian pedagang/penggilingan lebih besar lagi," kata Khudori.

3 dari 3 halaman

Beras di Pasar

Ketimbang merugi, sambungnya, pedagang dan penggilingan saat ini lebih banyak menjual beras di pasar tradisional. "Karena itu, kalau diperiksa di pasar tradisional sepertinya tidak ada masalah pasokan. Juga tidak ada pembatasan pembelian seperti di pasar modern. Karena di pasar tradisional sejak ada HET, beleid itu tak pernah dipatuhi," ungkapnya.

Khudori lantas mendesak Badan Pangan Nasional untuk menimbang ulang kebijakan HET beras yang sudah berlaku sejak September 2017. Tak hanya dari sisi hilir, tapi juga termasuk dampaknya terhadap industri perberasan secara keseluruhan.

"Dalam waktu yang sama, tidak ada salahnya buat Badan Pangan Nasional untuk menghitung ulang biaya produksi padi. Jangan-jangan harga gabah yang tinggi dan terus naik itu lantaran struktur ongkos produksi memang sudah berubah," pinta dia. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini