Sukses

Produktivitas Pertanian Indonesia Kembali Normal 3 Tahun Mendatang

Saat ini produktivitas pertanian di Indonesia tengah mengalami penurunan. Hal itu disebabkan oleh berkurangnya lahan pertanian, alokasi pupuk, hingga faktor perubahan iklim.

Liputan6.com, Jakarta Saat ini produktivitas pertanian di Indonesia tengah mengalami penurunan. Hal itu disebabkan oleh berkurangnya lahan pertanian, alokasi pupuk, hingga faktor perubahan iklim.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), volume produksi gabah kering giling (GKG) Indonesia sebanyak 81,07 juta ton pada tahun 2017. Namun pada tahun 2018 produksinya anjlok menjadi 59,2 juta ton. Penurunan juga diikuti pada tahun 2019 menjadi 54,6 juta ton, dan jumlahnya stagnan hingga saat ini.

Namun Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menargetkan dalam 3 tahun mendatang setidaknya volume produksi petani bisa kembali di tingkatkan lewat beberapa instrumen kebijakan, seperti pemanfaatan lahan rawa, hingga peningkatan anggaran pupuk bersubsidi.

 

"Kalau ini bisa kita garap (lahan rawa) katakanlah 1 juta hektare perbulan, optimasi lahan rawa insyaallah kondisi pangan kita pulih 3 tahun kedepan, insyaallah kembali seperti semula," ujar Mentan Amran dalam acara Seminar Hasil Riset Ketahanan Pangan Nasional Nagara Institute, Selasa (20/2/2024).

Menurutnya, lahan rawa memiliki potensi sekitar 10 juta hektare untuk ditanami komoditas pertanian. Sehingga diharapkan mampu untuk meningkatkan produktivitas pertanian ditengah adanya konvergensi lahan pertanian.

"Pertama kita menggarap lahan rawa, Kota punya potensi 10 juta hektare, kita garap terus menerus setiap tahun," sambung Mentan.

Harga Pupuk

Selanjutnya, tingginya harga pupuk dunia juga menjadi faktor menurunnya produktivitas pertanian. Sebab pengadaan alokasi pupuk subsidi pemerintah juga harus dikurangi sebanyak 50% pada tahun 2024 jika dibandingkan dengan tahun 2014 karena mahalnya harga pupuk dunia.

"Tahun 2014 penyaluran pupuk 9,5 juta ton, tahun 2024 hanya 4,73 juta ton, sehingga kami mencoba mengkomunikasikan dalam ratas, melaporkan kepada Presiden untuk menambah alokasi pupuk subsidi, alhamdulillah ditambah Rp14 Triliun," sambungnya.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Subsidi Pupuk

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faizal menjelaskan, kebijakan subsidi pupuk yang difokuskan dari sisi jenis pupuk maupun jenis tanaman yang 'berhak' mendapatkan alokasi subsidi pupuk hanya menyasar komoditas pokok membuat petani yang menanam komoditas lain di luar prioritas merasa dianaktirikan.

Berdasarkan Permentan 10/2022, jenis pupuk subsidi meliputi Urea dan NPK tersedia bagi sembilan jenis komoditas yaitu: padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu, kakao, dan kopi.

 

3 dari 3 halaman

Penerima Subsidi

Selain itu, penerima subsidi adalah petani yang memiliki atau mengolah lahan tidak lebih dari 2 Ha untuk setiap masa tanam dan harus tergabung dalam kelompok tani (Poktan) dan terdaftar dalam Sistem Penyuluhan Pertanian (Simluhtan).

"Di sisi lain, subsidi pupuk menjadi permasalahan bagi kesuburan tanah dan lingkungan secara jangka panjang. Permasalahan juga terjadi pada kemampuan masyarakat untuk membeli hasil pertanian tersebut, dalam artian lain bahwa ketersediaan dan keterjangkauan masyarakat untuk membeli hasil bumi juga menjadi permasalahan yang harus diperhatikan," jelas Akbar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini