Sukses

Bentuk Lain FOMO, Apa itu FOSO dan Dampaknya Bagi Pekerja

Banyak pekerja merasa harus terus bisa terhubung pada perangkat kerja mereka ketika mereka sedang melakukan perjalanan wisata.

Liputan6.com, Jakarta - Seorang berasal dari Thailand, Jasper Chan, berjalan-jalan menyusuri kuil Wat Arun di Bangkok. Namun, satu yang menjadi perhatian, pikirannya tidak tertuju pada mosaik-mosaik dan keindahan bangunan kuil tersebut. Sebaliknya, pikirannya malah tertuju kepada beban pekerjaannya di laptop yang ia tinggalkan di rumah.

Ketika penasihat hukum berusia 30 tahun ini hendak melangkah pelewati pintu, ketenangannya justru terganggu karena ia sedang berjuang untuk tetap terhubung dengan panggilan Whatsapp oleh rekan kerjanya melalui koneksi data yang tidak stabil.

"Hakim menghentikan sidang dan menginginkan jawaban atas pertanyaannya secepatnya? Saya tidak membawa laptop saya sekarang!" katanya kepada rekannya dengan kesal.

Menurut penelitian dari Collinson's Priority Pass, orang-orang seperti Chan merupakan sepertiga dari wisatawan yang merasa sulit untuk melepaskan diri dari kehidupan sehari-hari saat berlibur.

Sebagian besar responden survei menghadapi tekanan konstan untuk selalu terhubung dengan perangkat kerja mereka, dengan 73% yang menyatakan kekhawatiran akan kehilangan pesan dan informasi jika mereka tidak mengecek ponsel.

"Kegigihan kerja jarak jauh pasca pandemi telah memperburuk koneksi yang terus-menerus ke perangkat kerja, karena batas antara kehidupan profesional dan pribadi semakin kabur," kata Todd Handcock, Kepala Komersial Global dan Presiden Asia Pasifik di Collinson melansir CNBC, Selasa (6/11/2023)

Perasaan seorang pekerja untuk terus bisa terhubung pada perangkat kerja mereka ketika mereka sedang melakukan perjalanan wisata.

Hal ini bisa membuat pekerja merasakan takut yang berlebihan ketika mereka tidak terkoneksi. Inilah yang disebut dengan FOSO atau Fear of Switching Off.

Hal ini secara longgar mirip dengan rasa takut ketinggalan atau FOMO (Fear of Missing Out), yang biasanya dilambangkan sebagai kekhawatiran tidak diikutsertakan dalam pengalaman atau kegiatan menarik yang sedang marak diikuti oleh orang lain.

FOSO dapat dilihat sebagai perpanjangan dari FOMO, kata Handcock. "Ketakutan untuk tidak terhubung dengan perangkat sebagian berasal dari rasa takut ketinggalan informasi tentang pekerjaan dan update terbaru," jelasnya.

Dan kegelisahan yang mengganggu ini dapat mengganggu kualitas liburan para pelancong.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pengertian Lain FOSO

"Ada banyak turis yang berseliweran dan mengambil foto, sementara saya adalah satu-satunya orang yang sibuk menelepon sambil mencari sudut yang sepi untuk menerima telepon," kata Chan.

Cortney Warren seorang psikolog klinis bersertifikat, mengasosiasikan FOSO sebagai pengalaman orang-orang yang ingin bersantai, namun kesulitan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab sehari-hari untuk menikmati momen saat ini.

Lebih dari separuh penduduk dunia kini menggunakan media sosial, menurut data dari perusahaan konsultan Kepios. Sebagian besar orang dewasa memeriksa setidaknya satu platform setiap hari dan hal ini dapat membuat ketagihan, kata Warren kepada CNBC.

Psikolog ini mengatakan bahwa seiring dengan semakin cepatnya kehidupan sehari-hari, mengesampingkan perangkat elektronik di masa sekarang terutama saat bepergian, mungkin bukan hal yang mudah.

"Perjalanan wisata itu sendiri dapat membuat stres karena Anda keluar dari rutinitas harian Anda dan mungkin ada kegiatan di rumah yang membutuhkan perhatian Anda untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar," tambahnya.

3 dari 4 halaman

FOSO Banyak Terjadi Pada Generasi Muda

Menurut survei yang dilakukan oleh Priority Pass, FOSO lebih banyak terjadi di kalangan pekerja yang lebih muda.

Sebanyak 51% responden Gen Z (usia 18-27 tahun) mengaku memeriksa pesan pekerjaan saat bepergian. Angka yang jauh melebihi kecenderungan generasi baby boomer (usia 59-77 tahun) untuk melakukan hal yang sama, hanya 29% dari mereka yang mengaku melakukannya.

Generasi baby boomer menjadi dewasa jauh sebelum teknologi handphone dan media sosial hadir, jelas Tovah Klein, seorang asisten profesor di Barnard College.

"Dulu Anda membatalkan pengiriman koran, menaruh pesan di luar kantor pada pesan suara telepon kantor, dan pergi berlibur," ujar Klein.

Generasi yang lebih muda, seperti Gen Z dan milenial (usia 27-42 tahun), telah tumbuh dengan teknologi dan cenderung selalu terhubung, demikian ungkap Handcock dari Collinson.

Awal Maret lalu, Jefferson Low, 29 tahun, menghabiskan waktu seminggu untuk bermain snowboarding di lereng Niseko yang bersalju, salah satu resor ski paling populer di Jepang.

Setiap selesai bermain, ketika teman-temannya membersihkan gumpalan salju dan bergegas menuju lift ski untuk putaran berikutnya, Low mengambil ponselnya untuk mengecek pergerakan pasar saham.

"Ini sudah menjadi gaya hidup untuk bekerja, tetapi juga karena penasaran," kata Low, seorang pedagang mata uang di sebuah bank. Ia mengatakan bahwa ia pernah memperhatikan pertemuan kebijakan Bank of Japan yang akan datang ketika berada di lereng gunung.

"Ini sebenarnya tidak terlalu bagus, mengingat saya seharusnya mengisi ulang tenaga dengan liburan, tetapi masih terfikirkan hal lain," akunya dengan malu-malu.

4 dari 4 halaman

Atasi Dengan Menetapkan Pembatasan

Ada juga yang lebih tegas dalam menetapkan kebijakan "tidak bekerja" saat berlibur.

Tan De Xun, seorang tenaga penjualan di sebuah perusahaan perangkat lunak di Singapura mengatakan bahwa setiap kali dia berada di luar negeri, selain untuk keperluan navigasi, dia berusaha untuk tidak menyentuh ponselnya sama sekali.

"Saya sangat jelas dalam menarik garis batas. Tidak ada yang berhubungan dengan pekerjaan yang akan ada di ponsel pribadi saya," katanya kepada CNBC. "Masalah nomor satu yang dilakukan banyak orang adalah mereka memperluas aplikasi bisnis mereka ke ponsel pribadi mereka sendiri, seperti Teams dan Outlook."

Meskipun demikian, dia mencatat bahwa sifat pekerjaannya memungkinkannya untuk memutuskan hubungan dengan baik dan kembali bekerja hanya ketika liburannya berakhir.

Tetapi tidak semua orang memiliki pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk bersantai sepenuhnya.

Chan, seorang penasihat hukum, mengingat bagaimana dia menyimpan akses ke email pekerjaannya di semua perangkatnya di pekerjaan sebelumnya, dan memeriksa serta menyetujui dokumen kapan pun dia punya waktu, bahkan melakukan rapat melalui zoom pada hari libur jika perlu.

"Beberapa tenggat waktu dan jadwal sangat ketat dengan konsekuensi. Saya hanyalah roda penggerak, dan jika respons saya tertunda, pekerjaan orang lain di bagian hilir akan terpengaruh," ujarnya.

Dia mengatakan bahwa selalu terhubung dengan internet berkontribusi pada ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari pekerjaan. "Jika saya benar-benar ingin melepaskan diri, saya harus lebih ketat dalam menetapkan batasan-batasan saya," tambahnya.

Meskipun demikian, hal ini masih merupakan kasus yang berbeda bagi setiap orang dalam hal rasa takut untuk mematikannya.

"Beberapa orang mungkin menemukan bahwa FOSO membantu mereka untuk tetap termotivasi dan produktif, bahkan ketika mereka sedang berlibur, sementara yang lain melihatnya sebagai hal yang membuat stres," kata Handcock.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini