Sukses

Irwan Hidayat: Nenek Saya Tak Sekolah, Tapi Resep Jamunya Bertahan Sejak 1940

Di tahun yang sama, sang nenek mulai meracik jamu masuk angin yang kini dikenal sebagai Tolak Angin. Pada 1951, Sido Muncul pun didirikan.

Liputan6.com, Jakarta Lahir di tengah kondisi ekonomi keluarga yang tak bisa dikatakan berkecukupan dan hanya menamatkan pendidikan setingkat SMA, siapa sangka Irwan Hidayat kini masuk jajaran orang terkaya di Indonesia. Presiden Direktur PT Sido Muncul ini dinobatkan sebagai orang Indonesia terkaya ke-17 versi Majalah Forbes tahun 2020.

Irwan Hidayat merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Yahya Hidayat dan Desy Sulistyo. Pria kelahiran Yogyakarta pada 23 April 1947 ini menghabiskan banyak masa remajanya di Semarang. Lulusan SMA Kesatrian Semarang pada 1964 ini kemudian bergabung dengan perusahaan keluarganya, Sido Muncul mulai tahun 1969 sebagai staf bagian marketing.

Irwan mengatakan, awal mula bisnis keluarganya terbentuk dari bisnis susu perah Melkrey milik kakek dan neneknya di Ambarawa. Pada 1940, pasangan ini merintis toko roti dengan nama Roti Muncul. Di tahun yang sama, sang nenek mulai meracik jamu masuk angin yang kini dikenal sebagai Tolak Angin. Pada 1951, Sido Muncul pun didirikan.

Awalnya, Sido Muncul tidaklah terlalu istimewa, sama saja seperti industri jamu lain yang ribuan jumlahnya dengan beragam merek. Yang istimewa, logo perusahaan semenjak berdiri hingga kini tak pernah berubah, berisi foto Irwan Hidayat dengan neneknya.

Singkat cerita, pada 1970, Rakhmat Susilo yang merupakan pendiri sekaligus pemilik Sido Muncul mewariskan perusahaan tersebut kepada orangtua Irwan, Yahya Hidayat. Namun, hanya berselang setahun, Sido Muncul diwariskan kepada Irwan lantaran Yahya meninggal akibat penyakit kanker liver. Pada 1972, Sido Muncul dipimpin Irwan yang ketika itu berusia 25 tahun.

Irwan tak akan pernah lupa pada apa yang diterimanya pada 1972. Ini bukanlah warisan yang menyenangkan, sebab perusahaan jamu Sido Muncul tengah terlilit utang besar. Tak ada aset yang berarti selain sebuah pabrik yang hanya seluas 600 meter persegi, itu pun tanpa memiliki satu mesin pun. Namun, sebagai generasi ketiga Sido Muncul, Irwan tak punya pilihan.

Sebagai bisnis keluarga yang dikelola turun-temurun, Irwan Hidayat mencoba tetap bertahan menghadapi pasang surut bisnis jamu. Dia percaya akan ada titik terang yang akan mencerahkan harapan dan kepercayaannya kepada industri jamu, sebuah produk tradisional khas Indonesia yang berfungsi menjaga kesehatan dan merawat kecantikan tubuh manusia.

Karena jamu merupakan warisan nenek-moyang, yang sudah mendarah-daging di hati segenap warga masyarakat, wajar jika Irwan berharap masyarakat masih akan memberikan kepercayaan kepada produk jejamuan. Hingga tahun 1993 terang itu masih belum ditemukan.

Dewi keberuntungan nampaknya cukup berbaik hati pada perusahaan ini. Berkat kerja keras Irwan dan saudara-saudaranya, Sido Muncul bisa bangkit perlahan-lahan. Di tangan Irwan, Sido Muncul menjelma menjadi industri jamu yang setara dengan industri farmasi.

Tahun 1997 ketika banyak industri dan pelaku usaha terseok-seok karena hantaman badai krisis, Sido Muncul justru membangun pabrik jamu modern dengan sertifikasi industri farmasi. Selain pabrik, laboratorium Sido Muncul juga distandarkan dengan laboratorium farmasi.

Sekalipun terbilang mengalami kerugian yang cukup mencekik, Irwan pun memtik buah positifnya beberapa tahun kemudian. Tahun 2000 Departemen Kesehatan memberikan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) kepada PT Sido Muncul, sertifikat yang biasanya diberikan hanya kepada industri farmasi.

Dengan CPOB, lisensi pembuatan jamu Sido Muncul disetarakan dengan lisensi obat-obatan produksi industri farmasi. Karenanya, jika Sido Muncul yang industri jamu dapat memperoleh sertifikat CPOB, ini adalah sebuah lompatan besar. Dengan CPOB terbuka pula pasar yang seluas-luasnya bagi setiap jamu produksi Sido Muncul yang kini memiliki 150 item produk jamu, baik yang bermerek maupun yang generik.

Irwan juga telah melakukan banyak hal untuk memupuk kepercayaan pasar dalam negeri. Irwan mulai mengembangkan produk berdasarkan brand atau merek terutama untuk minuman kesehatan dalam bentuk serbuk. Irwan juga mulai gencar mengembangkan produk lain karena yakin potensi pasarnya masih besar, seperti permen kesehatan dan minuman kesehatan dalam bentuk cair.

Keseriusan Irwan membuahkan beragam penghargaan, seperti Kehati Award 2001, Bung Hatta Award 2002 sebagai perusahaan teladan, Produk Terbaik dari ASEAN Food Conference ke-8, Penghargaan Merek Dagang Indonesia tahun 2003, dan penghargaan dari Departemen Perhubungan dan Departemen Tenaga Kerja sebagai pelaku bisnis peduli lingkungan, karena telah menyelenggarakan program mudik Lebaran gratis buat para pedagang jamu yang telah dilakukan sejak 1995.

Pada 2020, Sido Muncul justru mencetak keuntungan saat bisnis lain malah terpuruk. Hal tersebut memberikan sumbangsih peningkatan kekayaan Irwan dan keluarganya hingga 41 persen. Kesuksesan mencetak keuntungan di masa pandemi karena larisnya produk Sido Muncul, terutama Tolak Angin pada saat pandemi Covid-19.

Dilansir Forbes, Sido Muncul menguasai 43 persen pangsa pasar jamu Indonesia dengan merek terbesarnya Tolak Angin. Pada 2021, Irwan dan keluarga menjual 21 persen sahamnya kepada Affinity Equity Partners, namun pihak keluarga masih mengendalikan perusahaan.

Irwan dan keluarga juga telah mengembangkan bisnisnya dengan mendirikan tiga hotel di Pulau Jawa dan sebuah perusahaan manajemen hotel. Kini Irwan dan keluarga memiliki kekayaan bersih sejumlah USD 1,58 miliar dan masuk ke dalam jajaran 50 Orang Terkaya di Indonesia versi Forbes 2021.

Kini, pria berusia 76 tahun ini tengah serius ingin mendirikan tennis sport center di Semarang agar anak-anak Indonesia ada yang menjadi juara Grand Slam.

Berikut petikan wawancara Irwan Hidayat dengan Ratu Annisaa Suryasumirat dalam program Bincang Liputan6.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Ketika Lulusan SMA Mengelola Sido Muncul

Kenapa keluarga Bapak, khususnya Kakek dan Nenek tertarik untuk membuat produk yang bahan dasarnya jamu?

Kakek-Nenek saya itu orang kaya dari Semarang, ya termasuk orang kaya sekali. Terus pindah ke Ambarawa dan jatuh miskin. Kemudian karena jatuh miskin dia pindah ke Solo, buka toko roti, dikasih nama Muncul, makanya Muncul itu pertama kali di Solo, toko roti.

Kemudian nggak berhasil lagi, tahun 1935 dia pindah ke Jogja, tahun 1940 itu nggak tahu kenapa dia buat usaha jamu, jadi jualan jamu, jualan rempah-rempah itu. Makanya ini Tolak Angin yang pertama kali diformulasi tahun 1940.

Kenapa akhirnya tidak melanjutkan usaha lainnya dan fokus ke jamunya?

Wah, saya nggak tahu, ya memang jalan Tuhan ya seperti itu. Saya nggak tahu kenapa ya, tahun 1940 terus tahun 1949 pindah Semarang karena perang. Tahun 1951 diriin pabrik jamu. Dan saya di antara 44 cucunya saya yang ikut, saya nomor enam. Saya ikut karena saya itu sakit-sakitan waktu kecil. Jadi waktu dari kecil saya ikut Nenek saya karena sakit-sakitan.

Bapak akhirnya bergabung dengan Sido Muncul karena keinginan sendiri atau diminta sama Nenek?

Oh nggak, itu tahun 1969, saya lulus SMA tahun 1965 kemudian nggak sekolah lagi. Karena nggak sekolah, nggak punya pekerjaan gitu, satu-satunya Sido Muncul yang ada, ya sudahlah sama Papa-Mama saya dibilangin, sudah kerja sini saja bantuin, gitu.

Waktu Bapak akhirnya masuk ke Sido Muncul, kondisinya sedang tidak baik saat itu dan Bapak bisa membuatnya menjadi lebih baik?

Saya dari awal dari tahun 1969 saya mulai kerja, baru belakangan ini saja, sekitar tahun 90-an, tahun 2000 itu Sido Muncul mulai dikenal gitu. Selama hampir berapa tahun ya, dari tahun 1969, hampir 32 tahunlah kami nggak dikenal, Sido Muncul nggak ada apa-apanya.

Ini benar ya, coba saja dicek. Jadi kami ini sukses sejak tahun 1998 ketika krismon itu, ya mulai dikenallah.

Jadi memang ada suka dukanya membangun Sido Muncul ya, Pak?

Oh saya sih suka terus, ha...ha... Pokoknya saya itu dari muda, meskipun waktu itu nggak punya uang ya, keluarga saya, Nenek saya ya, tidak punya uanglah. Tapi saya nggak pernah merasa kekurangan, nggak pernah.

Ya kalau sekarang saya bandingin dulu, saya bilang, wah dulu kenapa ya saya kok nggak merasa miskin gitu, padahal sebenarnya tidak punya apa-apa.

Karena kuncinya bersyukur mungkin ya, Pak?

Ya saya sih bersyukur juga nggak, saya ngomel terus, nggak bersyukur. Kurang terus tiap hari, tapi yang penting di dalam perjalannya saya nggak pernah merasa miskin, nggak pernah merasa nggak punya apa-apa meskipun nggak punya apa-apa.

Jadi momen apa yang menjadi titik balik dari Sido Muncul?

Itu tahun 1994, ketika tahun 90-an saya merasa kenapa ya pabrik jamu itu tidak bisa hebat gitu. Nah, saya sadar, saya mencontohnya itu pabrik farmasi. Pabrik farmasi itu bisa sukses karena mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Makanya dari tahun 1984, 1985, 1986, 1987, saya berusaha bagaimana bisa orang bisa percaya sama Sido Muncul. Nah, saya berusaha untuk membangun kepercayaan, terus saya niru saja pabrik farmasi. Pabrik farmasi itu kan dia bisa hebat karena scientifically based, jadi berbasis ilmiah. Saya berusaha untuk masuk ke situ.

Saya punya referensi, jadi saya bisa mulai masuk, harus berbasis ilmiah, semuanya harus pakai riset. Pabrik farmasi kan dipercaya orang. Jadi yang saya lakukan adalah bagaimana membuat produk-produk yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Makanya dari tahun 1985 coba berapa tahun? 38 tahun? Nggak gampang itu. Tapi referensi saya pabrik farmasi, saya niru saja. Karena saya kan nggak sekolah, saya cuma SMA. Paling gampang kan meniru ya, meniru oh ini seperti ini, ya sudah saya ikut-ikut gitu, jadi niru aja. Sebenarnya kalau mau sukses niru saja, paling gampang itu.

ATM ya kita bilangnya, amati, tiru, modifikasi gitu ya, Pak?

Ya itulah bahasa seminarnya. Tapi, logika saya ngomong saya harus persis seperti pabrik farmasi. Itu saya lakukan terus bagaimana produk kami harus berbasis ilmiah, harus berdasarkan riset.

Makanya ketika tahun 1997, ketika pertama kali saya pindah pabrik ya dari Semarang ke Ungaran itu, yang saya buat pertama kali pabrik itu harus punya laboratorium. Laboratoriumnya yaitu laboratorium RND, laboratorium quality control dan laboratorium quality assurance.

Jadi kami bangun pabrik, bangun lab itu karena pada waktu tahun 1997 kami mikir masa depan itu masyarakat ini akan lebih maju, sehingga dia itu nanti percaya kepada segala sesuatu yang berbasis ilmiah.

Makanya saya buat labnya, labnya gede waktu itu 2.500 meter. Sampai hari ini yang kerja di lab itu 24 jam selama satu minggu, jumlahnya hampir 230 orang dari berbagai disiplin ilmu. Jadi lab itu adalah jantungnya perusahaan Sido Muncul.

 

3 dari 5 halaman

Formula Jamu Tak Berubah Sejak 1940

Jadi Bapak ingin memastikan bahwa masyarakat mengetahui kalau produk jamu yang dibuat memang benar-benar berdasarkan ilmiah?

Karena bisa dijelaskan mekanisme kerjanya bagaimana. Kami juga menjelaskan berbahaya atau tidak. Makanya lab kami lengkap, kami juga melakukan setelah itu uji-uji ilmiah, seperti Tolak Angin ini uji toksisitas.

Di dunia farmasi kan ada itu clinical trial, fase pertama, dua, tiga, empat. Tapi karena ini jamu kami melakukannya cuma fase pertama yaitu clinical trial untuk uji toksisitas. Jadi untuk tahu ya produk ini sebenarnya berbahaya atau tidak untuk diminum jangka panjang, merusak apa tidak.

Terus kemudian kami juga melakukan uji khasiat. Nah ini saya kasih contoh satu ya, kalau Tolak Angin itu uji toksisitasnya diminum selama 212 bulan, kami melakukannya secara independen dengan researcher Sanata Dharma, itu tidak ada kerusakan, mulai dari lambung, ginjal, lever, di usus dan lain tidak ada iritasi.

Terus yang kedua dengan Fakultas Kedokteran Undip saya melakukan tes bermanfaat meningkatkan daya tahan atau tidak. Ini kan klaimnya untuk masuk angin, masuk angin itu definisinya gejala awal menurunnya daya tahan tubuh.

Maka itu hasil penelitian kami judulnya Apakah Tolak Angin Dapat Meningkatkan Daya Tahan Tubuh? Dan terbukti meningkatkan. Indikatornya adalah limfosit T itu meningkat signifikan kalau diminum dua kali sehari selama tiga hari, satu minggu, tergantung masing-masing orang.

Apa lagi inovasi yang akan Bapak buat ke depannya?

Sampai hari ini selama hampir 54 tahun, bidang yang saya tekuni itu pemasaran. Nah, saya selalu membayangkan begini, membayangkan masa depan, makanya kan saya buat tujuh tahun yang lalu kami mengembangkan food suplemen. Food suplemen itu di Indonesia itu orang masih sedikit yang menggunakan.

Kalau di Amerika yang terbanyak, yang kedua di Cina dan negara-negara Eropa. Jadi di Indonesia tuh masih kecil sekali. Nah kami buat suplemen, suplemen itu ya ada vitamin C, vitamin D3, Q10, macam-macam.

Tapi karena kami ini berangkat dari pabrik herbal, kami ini punya pengalaman untuk mengolah herbal-herbal itu. Jadi suplemen kami ini ada sambiroto, ada daun katuk untuk meningkatkan ASI ya. Kemudian ada tanaman-tanaman, itu kelebihan dari Sido Muncul food suplemennya adalah kami punya suplemen herbal dan suplemen yang pharmaceutical base.

Kalau Tolak Angin, bagaimana ceritanya dari tak dikenal menjadi mendunia seperti sekarang?

Ya idenya kan tahun 1994, saya itu mikir kalau Tolak Angin waktu itu laku lah, tapi nggak banyak. Nah, salah satu yang membuat Tolak Angin itu terhambat adalah karena rasanya, selain pastinya kan orang mesti nyeduh dulu, nggak semua orang suka.

Maka itu saya mikir, bagaimana ya menginovasi Tolak Angin ini dibuat cair dicampur dengan madu sehingga semua orang bisa minum. Itu tahun 1994. Dan memang pada waktu itu teknologi memungkinkan untuk menginovasi seperti itu.

Ya saya sendiri juga kalau minum Tolak Angin dulunya juga waduh pahit. Makanya saya bayangin, pasti semua orang, pasti ada yang nggak suka, ada yang merasa pahit gitu. Makanya kami buat Tolak Angin yang cair tahun 1994 itu.

Kemudian, bagaimana kiat Bapak meningkatkan laba perusahaan yang awalnya bergelut dengan tumpukan utang?

Kalau saya itu cuma ada lima hal yang mesti dilakukan. Sebagai pemasar ya saya cuma punya konsep produknya harus baik, yang kedua harus baik, yang ketiga harus baik, sampai keseratus harus baik. Jadi nggak ada teori-teori, harganya mesti murah, distribution-nya harus bagus atau promosinya harus menarik.

Tapi yang penting produknya harus baik dan sesuai dengan apa yang kita janjikan. Jadi pada intinya nomor satu ya nggak lebih dari pokoknya kita jujur sajalah, kejujuran itu mendahului kesuksesan.

Lantas bagaimana caranya agar produk jamu tetap bisa digemari oleh generasi berikut?

Anak-anak sekarang pintar sih. Kan sekarang informasi itu bisa didapat begitu gampang, sehingga anak-anak sekarang itu lebih mencintai yang natural daripada yang nggak, daripada dulu.

Sehingga ya kelirulah kalau bilang anak-anak sekarang itu nggak suka jamu, anak-anak sekarang yang penting jamunya mesti baik, rasanya mesti bisa diterima oleh mereka. Ya kalau seperti itu, anak-anak itu pasti nerima. Kalau jamunya diseduh dulu, itu nggak mungkin mereka nerima.

Formula jamu yang dibuat Sido Muncul apakah tetap sama sejak pertama dibuat atau ada perubahan?

Nggak, justru itu ketika tahun 1940 Nenek saya buat resep, terus tahun 1985 kami mulai meneliti. Menelitinya pakai referensi ya, kan kita baca jurnal-jurnal, referensi-referensi, itu semua bahan-bahan yang dipakai Tolak Angin itu tidak ada yang bertentangan.

Jadi semuanya meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan stamina. Maka itu saya juga heran, bagaimana ya kok bisa tahun 1940 dia buat resep, setelah saya teliti di jurnal-jurnal dan referensi-referensi yang kami baca itu tidak ada yang bertentangan.

Semuanya bagus dan memang untuk orang sakit masuk angin gitu. Padahal Nenek saya itu juga nggak sekolah, dari mana dia dapat resep saya nggak sempat tanya, belum sempat tanya darimana dapat resep ini. Tapi ini tahun 1940 diformulasikan ketika Nenek saya buka toko jamu di Ketandan nomor 8.

 

4 dari 5 halaman

'Pengangguran' yang Hobinya Nonton YouTube

Dengan semua kesibukan mengelola Sido Muncul dan sejumlah unit usaha lainnya, apakah Bapak masih punya waktu senggang?

Saya senggang terus kok tiap hari, ha...ha... Tiap hari saya nganggur, saya itu paling suka tuh nonton YouTube. Nonton musik, yang cerita-cerita aneh-aneh di YouTube gitu. Satu hari 10 jam, jadi nggak kerja lagi saya. Karena nonton YouTube terus setiap hari, makanya saya tahu banyak hal yang orang nggak tahu.

Bapak suka melakukan apa lagi selain nonton YouTube?

Tenis, saya suka tenis. Saya suka traveling, tapi traveling saya cuma Jakarta-Semarang, gitu. Saya jarang ke luar negeri, saya nggak suka jalan-jalan.

Saya sekarang nonton YouTube saja, menghemat nonton YouTube itu. Mau lihat Switzerland, nonton YouTube Switzerland, mau lihat Tokyo nonton YouTube Tokyo, sudah bisa sekarang. Saya itu hidupnya praktis sekali.

Bapak kabarnya punya gagasan menjadikan Semarang sebagai salah satu destinasi wisata unggulan. Seperti apa itu Pak gagasannya?

Oh ya, saya itu dari dulu tuh paling suka pariwisata. Makanya di marketing saya buat iklan-iklan saya bentuknya pariwisata. Mulai dari Irian, Maluku, Sumba Barat, Waikabubak, kemudian Labuan Bajo, Kalteng, Semarang, Jogja, Nias, Bali gitu.

Jadi saya buat iklan karena saya itu meyakini begini, iklan itu bisa membuat rakyat itu sejahtera ya, ekonominya membaik dan lingkungannya jadi terjaga. Padahal kenapa? Karena Indonesia ini kekayaannya luar biasa dan kalau kita lihat kalau di Indonesia itu semua God made, buatan Tuhan semua.

Kemudian saya kan homebase-nya di Semarang. Terus saya kepikir Semarang ini sebenarnya bagus sih pada waktu Covid-19 selama dua tahun, hotel saya di Semarang, Tentrem laris sekali. Coba saya bangun di Bali, di Bali karena dia pulau, jadi orang mesti lewat laut.

Yang pertama, Semarang itu kota industri. Coba, industrial assets-nya gede-gede di Batang sama di Kendal. Yang kedua, Semarang itu kota sejarah. Lihat pertempuran lima hari di Semarang, bangunannya kuno. Kalau kita lihat Kota Lama ya kota lama yang terbesar itu mungkin Semarang, dibandingin Jakarta gedean Semarang.

Terus kemudian sebagai kota budaya, budayanya itu Semarang juga bukan, budayanya ada Jawa, ada Cina, ada Arab, ada budaya macam-macam. Karena etnisnya juga banyak, makanannya juga banyak.

Kalau seperti Bali, makan banyak di Bali, kenapa? Karena investor masuk dan Semarang saya itu punya pengalaman membangun hotel di Semarang itu paling enak, gampang, tidak ribet, tidak ribet. Dan pada waktu covid saya membuka Hotel Tentrem itu pada tanggal 13 Agustus 2020, persis covid yang hebat-hebatnya, saya buka.

Saya cuma rugi bulan pertama, bulan kedua, habis itu saya dapat profit dari operasional. Terus saya sadar kalau gitu Semarang itu punya potensi, punya captive market dari Surabaya, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Jogja, Solo.

Apa lagi kelebihan Kota Semarang?

Dan ini kota pelabuhan, terus Semarang itu juga kota pendidikan. Ada Unnes, Undip, Soegijapranata, Wahid Hasyim dan Akpol. Terus Semarang itu juga punya wisata gunung ya, wisata gunungnya wisata air. Rawa Pening itu 2.800 hektare, jaraknya cuma 28 kilometer dari Semarang.

Sayangnya memang banyak eceng gondok, tapi kalau tempat itu misalnya nih ya pemerintah terus dikeruk ya ditertibkan yang membuat sedimentasi terus kemudian, nggak kalah sama St Moritz yang di Switzerland.

Sekarang banyak dibuat bendungan, ada 60 bendungan yang dibuat Pak Jokowi. Rawa Pening itu adalah bendungan yang dibuat Belanda. Itu kalau dibersihin ya eceng gondoknya kemudian dibangun, wah di situ bisa dibuat wisata. Pinggirnya dibuat vila-vila seperti di Lake Como, Bellagio, yang ada kota-kota di sepanjang danau di Itali.

Kalau budaya asli Semarang sendiri bagaimana?

Maka itu saya berusaha partisipasi di Kota Lama, wayang, ikut sponsorin. Mensponsori wayang itu 12 kali, pertama kali nggak ada yang mau Wayang on the Street. Nggak ada perusahaan yang mau. Yang gerakin Ibu Kris namanya, dokter gigi, dentist, ya saya cuma sponsorin, tapi ya minimal di mana orang nggak ada, saya mau.

Maka itu kan pada waktu yang ke-12 kali pagelaran wayang tahun ini, saya itu dapat award sebagai pencinta wayang. Yang membuat kota itu hebat adalah investor, dan sekarang sudah banyak.

Makanya saya mau invest itu, salah satunya saya mikir gini, di Indonesia ini kan penduduknya 270 juta, masa sih nggak ada satu orang saja yang bisa jadi juara Grand Slam, tenis, nggak ada. Terus orang bilang wah nggak cocok, yang cocok itu badminton, pingpong, nggak.

Kalau tenis kalau ada fasilitasny menurut logika saya pasti nanti ada yang dilahirkan sebagai juara. Makanya saya buat, saya punya tanah di Klipang, saya kepengin membuat hotel, terus saya kasih sport center apa? Tenis.

Kalau badminton sudah ada Djarum di Kudus, ya saya mau buat sport center. Terus saya mikir-mikir gimana ya caranya, ya sudahlah pokoknya saya yakin kalau ada fasilitasnya nanti pasti suatu hari akan lahir juara Grand Slam dari Indonesia.

Masa 270 juta nggak ada satu pun. Selama merdeka hampir 78 tahun, nggak ada satu pun juara Grand Slam.

 

5 dari 5 halaman

Mimpi Melahirkan Juara Grand Slam dari Indonesia

Jadi menurut Bapak apa yang membuat tak ada juara Grand Slam dari Indonesia?

Ya itu, menurut saya kenapa nggak ada juara karena nggak ada fasilitas yang memadai.

Bapak ingin membuat fasilitas itu?

Semua sudah saya desain, desainnya sudah ada, sudah jadilah. Ini cuma tinggal nunggu. Satu uangnya, yang kedua gimana ya caranya masuk? Tapi saya waktu itu saya nggak mikir, wah nanti masuk gampanglah, pokoknya yang penting kalau saya publikasi pasti suatu hari ada orang yang akan menghubungi kami. Indonesia nggak ada fasilitas tenis.

Di mana Bapak mau bangun fasilitas tenis?

Di Klipang? Klipang itu Semarang Timur. Nah, di situ kami bangun fasilitas tenis, hotel, lengkap dengan gym khusus untuk tenis semua dan stadion. Supaya nanti bisa diadakan pertandingan-pertandingan internasional.

Bapak memang ingin total di tenis sepertinya?

Oh iya, hidup saya tenis terus, teman saya dari tenis, golf, balik lagi tenis. Saya nggak, tenis terus sejak saya mulai tenis umur 25, jadi berarti 51 tahun.

Sudah 51 tahun sudah main tenis, Pak?

Tapi nggak bagus. Makanya klub saya namanya Pro Tennis, Problem Tennis Club, ha...ha.... Ya namanya Pro Tennis Club. Bukan profesional, problem, mainnya jelek-jelek. Ya saya sih tenisnya jelek, tapi saya yakin punya teori bagaimana membuat orang itu bisa bermain tenis.

Menurut Bapak kenapa di Indonesia orang-orang kurang tertarik dengan olahraga tenis?

Ya salah persepsi. Saya pernah ketemu sama orang dibilang gini, nggak cocok kalau tenis, karena tenis itu berat, yang cocok di Indonesia tuh pingpong, pingpong juga nggak ada yang jadi juara meskipun bolanya enteng, lha iya pingpong enteng coba ada nggak yang jadi juara pingpong, nggak ada.

Terus, badminton ada ya, kalau tenis nggak ada. Tenis itu olahraga yang yang mungkin nggak cocok ya yang full body contact, karena orang Indonesia ini kan kecil-kecil, tapi kalau negeri ini nanti maju, pendapatan perkapitanya banyak, nggak mungkin kecil-kecil semua. Satu hari jadi tinggi-tinggi semua.

Tenis itu kan bukan full body contact, jadi musuhnya di sebelah sana, pasti bisa. Cuma nggak ada lapangannya, nggak ada fasilitasnya. Nah, saya bercita-cita tempat ini akan menarik minat para orangtua untuk memberikan modal kepada anak-anaknya. Bukan cuma pendidikan sekolah, nyanyi, tapi juga olahraga tenis, karena bisa jadi penghasilan.

Untuk nilai investasinya sendiri berapa, Pak?

Saya belum bisa ngomong, nanti saja dicari duitnya dulu. Duitnya belum ada, lagi dicari ini. Kan bertahap kita juga punya proyek lain. Tapi sebenarnya kalau uangnya ada, kami merencanakan tahun ini kami mulai, karena gambarnya sudah lengkap semua.

Lapangan tenisnya yang outdoor enam, indoor-nya 12, outdoor-nya enam, stadionnya satu, nah 2.500 orang yang nonton. Terus ya itu, saya ketemu sama Dmitry yang punya Liga Tennis itu. Ketemu sama Dmitry dikasih tahu, Pak ini kegedean kalau 2.500. Makanya saya senang sekali saya bisa ketemu sama pemilik Liga Tennis yang di Bali. Nah kemudian kita juga sama gila tenis, sama kaya saya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini