Sukses

Panas Ekstrem dan Banjir Makan Korban, 4 Negara Produsen Garmen Rugi Rp 998 Triliun

Cuaca panas ekstrem dan banjir diperkirakan memberikan pukulan besar terhadap industri mode global, dengan empat negara produsen garmen terbesar di dunia berisiko kehilangan pendapatan sebesar USD 65 miliar atau setara Rp. 998,1 triliun pada tahun 2030.

Liputan6.com, Jakarta Cuaca panas ekstrem dan banjir diperkirakan memberikan pukulan besar terhadap industri mode global. Akibat cuaca panas ekstrem ini, empat negara produsen garmen terbesar di dunia berisiko kehilangan pendapatan sebesar USD 65 miliar atau setara Rp. 998,1 triliun pada tahun 2030.

Hal itu diungkapkan dalam studi dari Cornell University dan manajer investasi Schroders.

Mengutip CNN Business, Kamis (14/9/2023) studi dari Cornell University dan Schroders mengungkapkan bahwa negara produsen garmen seperti Bangladesh, Pakistan, Vietnam dan Kamboja diprediksi akan menjadi negara yang paling terdampak, dengan penurunan pendapatan ekspor sebesar 22 persen.

Keempat negara itu juga berisiko menghadapi dampak ekonomi yang lebih luas, yang diperkirakan akan terjadi pada akhir dekade ini.

Studi itu menyarankan, ritel mode yang banyak melakukan pasokan produk fesyen dari negara-negara tersebut harus mengubah jam kerja dan memastikan para pekerja mendapatkan cukup istirahat dan hidrasi sebagai respons terhadap gangguan yang diperkirakan terjadi.

“Hampir lebih dari 1 juta pekerjaan akan terdampak secara kolektif karena produktivitas melambat akibat dampak cuaca buruk,” kata peneliti.

Kekuatan Industri

Keempat negara Asia dipilih untuk studi ini karena peran mereka sebagai kekuatan industri.

Secara keseluruhan, mereka menyumbang 18 persen dari ekspor pakaian jadi global, sekitar 10.000 pabrik pakaian dan alas kaki, dan lebih dari 10,6 juta pekerja manufaktur.

Namun lokasi-lokasi tersebut juga sangat rentan terhadap krisis iklim.

Para penulis menyoroti, pusat-pusat manufaktur garmen utama termasuk Dhaka, Phnom Penh, Karachi, Lahore, Kota Ho Chi Minh dan Hanoi sudah menghadapi panas dan kelembapan yang ekstrim.

“Semua kota ini juga kemungkinan besar akan mengalami banjir besar,” kata mereka.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pakistan

Pakistan, khususnya, tidak asing dengan cuaca ekstrem, karena lebih dari sepertiga negaranya terendam air pada tahun lalu saat terjadi banjir terburuk dalam sejarah.

Pakistan dan Bangladesh juga mengalami gelombang panas dalam beberapa bulan terakhir, dengan suhu melonjak hingga di atas 40°C (104°F) selama beberapa hari selama musim semi dan musim panas.

Dengan menggunakan data banjir pesisir dan sungai, serta pembacaan suhu, tim peneliti dari Cornell dan Schroders mengatakan mereka telah memproyeksikan bagaimana berbagai skenario akan mempengaruhi pekerja manufaktur.

Para peneliti itu mengatakan perkiraan biaya sebesar USD 65 miliar pada tahun 2030 didasarkan pada skenario “bisnis seperti biasa” di tengah panas tinggi dan banjir, jika tidak ada tindakan yang diambil.

“'Kerugian dan kerusakan' iklim bagi produsen dan pekerja diperlakukan oleh merek sebagai eksternalitas – masalah orang lain,” sebut Jason Judd, direktur eksekutif di Cornell’s Global Labor Institute, dalam pernyataannya.

“Pekerja membutuhkan investasi ini sekarang karena standar terhadap panas ekstrim dan perlindungan terhadap banjir belum ada,” pungkasnya.

3 dari 4 halaman

Industri Tekstil Indonesia Menjerit! Ekspor Anjlok, Malah Diserbu Produk Impor Ilegal

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, mengungkapkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak baik-baik saja. Melainkan terdapat beberapa tantangan yang dihadapi industri TPT.

Jemmy menyebut, pada kuartal pertama dan kedua tahun 2023 ini, kendala terbesar terjadi karena berkurangnya permintaan ekspor. Lantaran, mayoritas anggota API di lini garmen skala manufaktur berorientasi ekspor, sehingga sangat terpengaruh oleh situasi perdagangan internasional.

Sementara di kancah domestik, TPT berhadapan langsung dengan maraknya produk-produk import baik legal ataupun illegal.

"Thrifting juga sangat mengganggu, dan sudah mulai ditangani oleh penegak hukum," kata Jemmy dalam acara CEO Gathering API di Jakarta, Sabtu (2/9/2023).

Masalahnya, muncul dalam diskusi tanya jawab antara Ketua Umum API dengan para pelaku UKM mengenai potensi ketiadaan bahan atau baju untuk jualan jika thrifting dihapus. Namun, pihaknya menegaskan bahwa produk-produk IKM garmen sudah sangat mampu bersaing baik dari segi harga ataupun kualitas dengan produk-produk import.

Sejumlah tantangan yang dihadapi industri TPT di dalam negeri yakni produk-produk impor legal dan illegal membanjiri pasar domestik. Data menunjukkan bahwa kenaikan impor secara volume sebesar 2,16 juta ton, secara value senilai USD 10 miliar di tahun 2022, laju kenaikan impor produk TPT sejak 2020 sampai 2022 di angka 40 persen per tahun.

 

4 dari 4 halaman

Penurunan Ekspor

Pihaknya mencatat, penurunan ekspor TPT terjadi sejak 2022 sampai dengan Maret 2023 dengan laju penurunan secara volume sekitar minus 10,78 persen.

Selanjutnya, permasalahan yang dialami industri TPT terkait utilisasi permesinan di manufacture TPT dari hulu ke hilir, sampai ke level terendah yaitu sekitar 65 persen.

"Rata-rata utilisasi mesin mesin di pabrik-pabrik tekstil dan produk tekstil dari hulu ke hilir, mengalami penurunan sekitar 40 persen. Jumlah mesin dan lini produksi berkurang drastis," ujarnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.